Untuk edisi kali ini, redaksi mengangkat tema “Gender
dalam Program KKBPK”. Ini tema yang sangat penting, karena coba menawarkan
suatu wacana pentingnya kesadaran dan sensitivitas gender dalam program KKBPK.
Sebab, betapa pun, kesetaraan gender dalam program KKBPK ini sesuatu yang harus
terus diarusutamakan, mengingat isu ini masih kurang mendapat porsi yang layak
dalam perbincangan publik.
Dalam rangka itu, redaksi mewawancarai secara langsung
Sekdin DP3AKBPMD Gunungkidul, Sri
Purwaningsih, MKes, di kantor kerjanya Jl Taman Bhakti Wonosari. Saya
sendiri (Sabrur Rohim), mewakili Cahaya
Keluarga, yang menghadap beliau di ruang kerjanya, berbincang langsung
dalam suasana yang hangat dan santai. Berikut ini hasil perbincangan kami.
CK:
Pertama-tama, kami ingin menanyakan bagaimana pandangan Ibu selama ini, pencermatan
Ibu dalam realitas keseharian, tentang peran dan fungsi laki-laki dan perempuan
di dunia soaial. Seperti apa gambaran umumnya? Apakah menurut Ibu masih ada
masalah, ataukah sudah ideal sebagaimana diharapkan?
Sri
Purwaningsih: Terimakasih untuk pertanyaanya. Saya
akan menjawab mengenai peran laki-laki dan perempuan. Di awal tadi, sebelum
kita ke sini, kita kan sudah menyinggung tentang gender. Akan tetapi, baiknya perlu
kita sepakati dulu, bersama-sama, bahwa yang namanya gender itu tidak sesempit
seperti yang umumnya kita gambarkan. Gender itu bukan sekadar peran psikologis
laki-laki atau perempuan, tetapi gender itu adalah perbedaan kontruksi sosial,
dan itu cakupannya bisa laki-laki perempuan, bisa tua muda, bisa sehat ataupun
sakit, bisa anak-anak ataupun dewasa. Jadi perlu kita beritahukan kepada
segenap masyarakat, bahwa gender tidak
sekadar perbedaan laki-laki dan perempuan itu. Gender bukan sebatas itu.
Dalam perspektif
sosiologi, misalnya, konsep gender dipahami sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Kaum sosiolog,
misalnya saja Eisenstein, melihat gender sebagai perilaku yang dipelajari dan
diproduksi sebagai kategori sosial yang tidak bersifat alamiah, tetapi
merupakan produk sosiokultural dan kekuatan historis yang secara potensial
dapat diubah. Berdasar pemikiran itu, mempelajari kehidupan perempuan,
misalnya, tidak dilakukan dalam posisi perempuan terisolasi dari kehidupan
laki-laki. Karena, dalam konteks budaya keduanya berfungsi sebagai pasangan.
Kemudian kalau tadi ditanya tentang peran laki-laki
dan perempuan untuk konteks saat ini dalam kaitannya dengan gender ini, saya
tegaskan dalam hal ini masih ada masalah. Artinya ya belum sesuai harapan kita
bersama. Gagasan kesetaraan peran sosial laki-laki dan perempuan saat ini sejatinya
sudah diawali dengan gerakan yang diinisiasi oleh RA Kartini. Sejak lama, apa
yang diinginkan oleh Kartini dengan pemikiran-pemikirannya itu adalah supaya
ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di ruang publik.
Gagasan tentang kesetaraaan ini memang sudah sejak
lama muncul dan tumbuh, yang dilatarbelakangi oleh stereotip atau anggapan yang
berkembang di masyarakat waktu itu, bahkan sejak zaman dahulu kala, bahwa yang namanya
wanita itu hanya sebatas kanca mburi,
yang hanya berkutat pada urusan: manak,
masak, lan macak, urusan dapur dan kasur. Kesan ini, kan, identik sekali dengan kaum Hawa bagi sebagian masyarakat, yang
bahkan sampai sekarang masih saja berkembang di masyarakat. Untuk mengubah
mindset seperti ini, tentu saja perlu perjuangan semua pihak, dan itu sudah diawali oleh RA Kartini sejak lebih dari
seabad yang lalu. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk membuka mata semua
orang, bahwa perempuan juga bisa mengambil peran sosial di ruang publik
sebagaimana lelaki, meski tentu saja tanpa meninggalkan kewajibannya dalam
kaitan dengan kodratnya sebagai perempuan.
Gagasan tersebut kemudian berubah menjadi gerakan dari
waktu ke waktu, apalagi kemudian diwadahi dengan peringatan Hari Kartini saban
tahunnya. Dampaknya luar biasa. Peran perempuan di masyarakat, apalagi di mata
keluarga, untuk konteks saat ini, sudah sangat menonjol dan signifikan. Banyak
peran sosial yang dulu mungkin identik dengan kaum pria, kini bisa dipegang
pula oleh wanita, misalnya di bidang bisnis, pendidikan, politik, dsb. Kaum Hawa
tidak lagi sebatas memegang urusan rumah tangga, tetapi bisa juga berkompetisi dalam
meraih perkerjaan-pekerjaan bersaing dengan kaum lelaki. Maka tidak
mengherankan persaingan di dunia kerja sekarang sedemikian pesatnya. Sehingga,
terkadang laki-laki yang sudah bekerja juga masih harus membantu pekerjaan
istrinya di rumah. Namun demikian, harus dipahami bahwa fungsi seorang ibu yang
paling utama adalah mengurus rumah tangga. Urusan rumah tangga itu tetap ada di
kendali ibu dan suami hanya sifatnya membantu. Karena, bisa jadi kebahagiaan
ibu di dalam rumah adalah ketika mengurus rumah tangga. Bantuan suami di rumah hendaknya
dimaksudkan untuk bisa memaksimalkan fungsi-fungsi keluarga yang ada 8 macam
itu.
CK: Berati posisi suami tetap sebagai kepala
rumah tangga, kan, Bu?

CK:
Jadi memang karena kearifan lokal juga mengharuskan demikian, ya, Bu? Bahwa suami tetap menjadi kepala
rumah tangga. Sebab kalau tidak ada kepala rumah tangga juga akan repot juga. Terus
begini, Bu, tadi kan Ibu menyinggung bahwa sebenarnya gender itu kan kontruksi
sosial, artinya dibentuk oleh pandangan masyarakat seperti itu begitu. Artinya,
ini sebenarnya bukan keharusan, sehingga bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman
yang dinamis. Kalau menurut pandangan Ibu, bagaimana, sih, kondisi relasi lelaki perempuan di zaman sekarang? Apakah masih
ada kesenjangaan antara peran laki-laki dan perempuan, khususnya dalam konteks program
kita misalnya terkait dengan isu perempuan, perlindungan anak, dan keluarga
berencana? Ibu memandangnya seperti apa? Dan, harapan Ibu, idealnya kesetaraan dan
keadilan antara laki-laki dan perempuan terkait dengan peran fungsi sosialnya
bagaimana?
Sri
Purwaningsih: Jadi, memang diakui ataupun tidak, saat
ini jika kita berbicara masalah perlindungan perempuan dan perlindungan anak,
kedua hal itu masih harus terus digalakkan, karena sebagaimana kita tahu,
seperti sudha jadi rahasia umum, karena kekerasaan itu kebanyakan terjadi
kepada perempuaan daripada laki-laki, kepada anak-anak ketimbang dewasa. Korbannya
lebih banyak perempuan dan anak-anak. Dalam konteks gender, kita lihat
kebanyakan korbannya adalah kaum Hawa, yang jika ditelusur akar masalahnya
secara umum adalah karena posisi
tawarnya yang rendah, masih dianggap second-class,
second-sex, dan itu terjadi sekali
lagi karena konstruksi sosial. Sikap dan
posisi perempuan selama ini cenderung lemah, mereka tidak berkerja, sehingga kalau suatu rumah
tangga terbentur dengan masalah perekonomian, maka bagi wanita yang tidak
berkerja itu pasti terkena dampak kekerasan dari pasangannya. Sebab, bagaimanapun
juga faktor ekonomi itu bisa menjadi pemicu kerusakan atau kekerasan dalam
keluarga yang endingnya menimbulkan dampak kekerasan. Sehingga dalam hal ini
mungkin kita bicara soal kualitas keluarga, yang itu memang harus diimbangi
dengan pemahamaan tentang perlindungan terhadap perempuan.
Harus dipahami dulu bahwa perlindungan perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk melindungi
perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya
dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk
mencapai kesetaraan gender. Jadi jelas di sini bahwa kesetaraan gender
adalah omong kosong jika tanpa langkah perlindungan kepada kaum perempuan.
Langkah pertama menuju kesetaraan gender adalah perlindungan perempuan.
Kalau ditanya soal
idealnya, saya mengacu ke konsep yang normatif saja. Kesetaraan
gender adalah kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan
memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hakhak asasi dan
potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Saya bacakan di sini definisi
dari USAID, misalnya, yang menyebutkan bahwa “kesetaraan gender itu artinya memberi
kesempatan baik pada perempuan maupun lakilaki untuk secara
setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial
mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya dan menikmati manfaat dari hasil
pembangunan.”
Sedangkan keadilan gender adalah, “suatu kondisi adil
untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang
menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.”
Definisi dari USAID juga, disebutkan bahwa,
“keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada perempuan
maupun lakilaki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia suatu ukuran
untuk mengompensasi kerugian secara histori maupun sosial yang mencegah
perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi
keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender.
Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya.”
Adapun wujud kesetaraan dan keadilan gender dalam
keluarga: pertama, kapasitas untuk
menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan
produktif (secara sosial, ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses
ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat, contoh:
memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki untuk
melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan kemampuannya, dengan asumsi
sumberdaya keluarga mencukupi.
Kedua,
partisipasi diartikan sebagai “Who does what?” (Siapa melakukan apa?). Suami
dan istri berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas
penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu melibatkan anak-anak
baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga,
kontrol diartikan sebagai ”Who has what?” 3.3 (Siapa punya apa?). Perempuan dan
laki-laki mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan sumberdaya keluarga.
Suami dan istri dapat memiliki properti atas nama keluarga.
Keempat,
manfaat. Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama bagi
seluruh anggota keluarga.

Sri
Purwaningsih: Menurut saya, yang paling pertama dan
utama itu harus ada komitmen kuat dari pasangan masing-masing walaupun keberadaan
mereka itu sangat minim di rumah. Asal ada komitmen bersama, dan itu dipegang
teguh, saya yakin kualitas dalam keluarga itu tetap bisa di pertahankan dengan
baik. Misalnya saja, sekarang peran HP itu akan sangat membantu jika difungsikan
dengan baik. Dengan HP, di mana pun keberadaanya istri atau suami, komunikasi
mereka bisa terjalin secara baik. Jadi jangan berburuk sangka dulu dengan HP. Asal
ada komitmen, dan itu dipegang teguh, di mana kesetiaan menjadi pilihan nomor satu,
maka saya jamin keluarga itu akan baik-baik saja dan tidak akan terjadi
permasalahan apa pun yang mungkin berkaitan dengan harmonisasi keluarga. Begitupun
dalam hal pengasuhan terhadap anak, atau bagaimana menjaga komunikasi yang baik
dengan semua anggota keluarga di rumah, harus ada komitmen bersama untuk
meluangkan waktu seefektif mungkin untuk berkumpul, berkomunikasi, dan berbagi
satu sama lain. Sesering apa pun kita bertemu, ketika tidak ada komunikasi, ya tidak
akan efektif.
CK:
Terus begini, ini bertepatan dengan Hari Kartini begitu ya, Bu. Artinya ini
kita merefleksi ide Kartini tentang emansipasi perempuan. Bahwa sesungguhnya
terbuka potensi dari kaum perempuan untuk bisa berpartisipasi di ruang publik,
sehingga dalam hal ini kemudian bargaining kaum perempuan menjadi naik. Akan
tetapi, begini, Bu, sekarang angka perceraian itu cukup tinggi dalam konteks Gunungkidul.
Menurut Ibu, mungkin tidak bahwa di antara penyebabnya adalah faktor relasi laki-laki dan perempuan yang tidak lagi
senjang. Maksud saya begini, ketika sekarang kaum perempuan bisa berperan
secara setara dengan kaum Adam, mungkinkah itu kemudian menjadi penyebab
disharmoni dalam keluarga. Sebab, perceraian ini, untuk konteks Gunungkidul,
sebagian besar diajukan oleh pihak istri.
Sri
Purwanigsih: Oke. Jadi begini. Kalau kita lihat tema-tema
peringatan Hari Kartini ini, dalam kurun 3 tahun terakhir ini, tema yang
diangkat saya cermati adalah soal peran wanita di era digital. Nah memang
sekarang ini dunia digital itu ada positiifnya, tetapi banyak dampak negaifnya.
Banyak hal negative muncul gara-gara dunia digital. Saya kira kembali ke faktor
komitmen di awal tadi. Kalau komitmen tidak menjadi pegangan, maka mustahil sekali
rumah tangga itu dapat di pertahankan, sehingga saat ini, menurut saya, memang memprihatinkan
sekali, bahwa pengajuan perceraiaan itu ternyata dilakukan oleh orang-orang
yang berpendidikan. Mereka, mestinya, kalau mempunyai basik pendidikan yang
tinggi, harusnya mempunyai pemahaman etika yang baik. Sehingga, kasus-kasus perceraian
harusnya ditekan. karena mereka lebih dewasa daripada yang kurang berpendidikan.
Nah ini pemicunya adalah, salah satunya, adalah pengunaan media sosial.
Terus jika dikaitkan dengan relasi tadi, mungkin juga
ada benarnya, meski prosentasenya tidak banyak. Akan tetapi, saya juga
mencermati, bahwa relasi laki-laki dan perempuan di era sekarang yang sudah berubah,
sebenarnya tidak akan menjadi masalah yang berarti jika sebuah keluarga
menerapkan 8 fungsi keluarga itu dengan baik. Saya berpendapat, di era
sekarang, di dunia digital, fungsi agama diimplementasikan dengan
sebaik-baiknya. Misalnya begini, setinggi apa pun kedudukan atau pekerjaan
seorang istri, jika ia mengacu pada ajaran agama, ia akan tetap menghormati
suaminya sebagai kepala rumah tangga. Jika ini yang jadi pegangan, saya yakin
keutuhan rumah tangga akan terjaga dengan baik.
Hanya saja, namanya manusia, seperti itulah terkadang sifat
manusia, yakni ketika mereka sudah diakui di tataran yang lebih tinggi,
kemudian timbul rasa atau keinginan yang tidak baik. Inilah yang saya maksud
tadi, bahwa jika tidak ada kewaspaan dari si wanita, kemudian, mohon maaf, dia
lupa dengan peran aslinya. Harus dipahami dan disadari oleh kaum perempuan, bahwa
fungsi utama mereka tetap menjadi ibu rumah tangga. Posisi istri itu harus
menghormati suami. Itu sudah common sense
yang berlaku di mana pun, bahwa apa pun kondisi suami, tetap peran seorang
istri adalah menghormati suami. Ini yang harus dipegang teguh oleh istri, setinggi
apa pun karirnya, pendidikanya, dia tetap seorang istri.
CK:
Jadi, walaupun sekarang wacananya emansipasi kesetaraan, tetapi tetap dalam
konteks rumah tangga perempuan tetap sebagai istri yang menghormati suami;
tetap sebagai ibu rumah tangga begitu, bukan malah mengambil alih peran suami. Begitu,
kan, Bu?
Sri
Purwaningsih: Ya. Betul sekali. Bukan suami mengambil
alih peran istri, atau istri mengambil alih peran suami. Sama sekali bukan.
Porsinya ada sendiri-sendiri, akan tetapi saling subtitusi.
CK:
Terus begini, Bu. Terakhir, kalau terkait dengan program KB, selama ini kan ada
kesan bahwa urusan KB, urusan mengasuh anak, misalnya dengan adanya poktan BKB
dan BKR, itu kalau kita mengamati di setiap pertemuan Poktan, kader-kader di
tingkat desa itu hamper 99 persen itu perempuan. Hanya satu dua kecamatan yang
ada kader laki-lakinya. Terus, di kelompok-kelompok kegiatan, untuk pertemuan-pertemuan
seperti di BKB, BKR, dan BKL, rata-rata keluarga yang hadir adalah perempuan.
Ini berarti, kan, ada masalah, ya, Bu? Maksud saya, ini seperti ada
konstruksi sosial yang berkembang bahwa untuk urusan program KKBPK itu biar
diurus kaum perempuan saja. Kaum Adam tidak usah.
Sri
Purwaningsih: Saya kira jangan sejauh itu
mencermatinya. Saya pikir, penyebabnya yang utama adalah karena kita melaksanakan
kegiatan itu di saat-saat jam kerja, yakni saatnya kami laki-laki itu sedang
bekerja, entah dia di sawah, entah dia di kantor, atau entah di mana, yang
jelas laki-laki sedang dalam melaksanakan tugas mencari rezeki untuk rumah
tangganya. Kalau Anda lihat lebih banyak wanita yang berperan dalam
kegiatan-kegiatan Poktan, mungkin dalam hal ini karena mereka masih di rumah,
atau juga karena kesadaranya sendiri, bahwa walapun dia seorang perkerja
sekalipun dia tetap berusaha menghadiri pertemuan itu. Sehingga, dalam hal ini,
saran saya, ketika kita ingin kaum laki-laki bisa berpartisipasi dalam
pertemuan Poktan, maka hendaknya PKB memlilih waktu yang terbaik, yang sesuai
dengan waktu yang dimiliki kaum laki-laki. Misalnya saja, malam hari. Jadi,
bisa saja dan boleh saja, kan,
pertemuan BKB ataupun BKR itu dilaksanakan bersama dengan pertemuan RT atau
pertemuaan LKMD, atau pertemuan khusus lainnya, yang waktunya memungkinkan
bapak-bapak itu bisa hadir. Kita ikuti irama mereka, jangan memaksan mereka
ikut irama waktu kita.
CK:
Berarti, mungkin di situ harus ada inisiasi PKB-nya dalam mengatur waktunya, ya, Bu?
Sri Purwaningsih: Ya, betul. Dalam hal ini PKB bisa minta bantuan ke kader di lapangan. Kader itu lebih paham dengan lingkungannya, jadi
kader bisa lebih paham dalam mengatur waktunya. Yang penting, seorang kader sudah kita bekali dengan
ilmu yang cukup, sehingga mereka tidak tergantung kita di kecamatan. Mereka bisa menyampaikan
pesan itu sendiri kepada warga yang ada disekitarnya. Dengan begitu, kita bisa memaksimalkan informasi dengan baik. Saya berbicara di sini dalam hal untuk memaksimalkan program KB. Misalnya saja, kenapa bapak-bapak sedikit sekali yang tahu bahwa
bapak-bapak ternyata bisa ikut ber-KB, itu karena memang sosialisasi itu tidak
bisa sampai kepada mereka. Kalau bapak-bapak ini tahu informasi, kemungkinan besar kita bisa
memaksimalkan KB ini untuk bapak-bapak atau kaum laki-laki.(*) [Sabrur Rohim, Pimred Cahaya Keluarga]
0 Comments