Peran Program KB dalam Pencegahan Stunting

Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI (pemred Cahaya Keluarga)

GUNUNGKIDUL - Istilah stunting mungkin masih terdengar asing di telinga sebagian orang. Padahal, masalah kesehatan satu ini tidak hanya menjadi fenomena yang mendunia, akan tetapi juga cukup umum terjadi di Indonesia. Bahkan, stunting sendiri pernah menjadi masalah yang mendapat perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan lewat kampanye bertajuk ‘Melawan Stunting’ beberapa waktu lalu. Wilayah-wilayah yang kita kenal identik dengan angka stunting yang cukup tinggi adalah di NTT dan Jawa Tengah.

Secara umum, stunting adalah salah satu penyakit kronis yang memengaruhi faktor pertumbuhan anak-anak. Lantas, penyakit seperti apa stunting itu dan apa penyebabnya? Kita juga akan cari tahu juga beberapa cara pencegahannya di laporan kali ini.


Apa itu Stunting?


Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya. Maka salah satu cara melihat sesorang anak itu mengalami stunting atau tidak adalah dengan mengukur tinggi badannya, lalu membandingkannya dengan anak seusianya, meski juga harus dipahami terlebi dulu bahwa pendek bukan berarti stunting.

Tidak jarang masyarakat menganggap kondisi tubuh pendek merupakan faktor genetika dan tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan. Faktanya, faktor genetika memiliki pengaruh kecil terhadap kondisi kesehatan seseorang dibandingkan dengan faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan. 

Biasanya, stunting mulai terjadi saat anak masih berada dalam kandungan dan terlihat saat mereka memasuki usia dua tahun (1000 hari pertama kehidupan). 

Stunting memiliki gejala-gejala yang bisa kita kenali, misalnya sbb: 
1. Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
2. Pertumbuhan tubuh dan gigi yang terlambat
3. Memiliki kemampuan fokus dan memori belajar yang buruk
4. Pubertas yang lambat
5. Saat menginjak usia 8-10 tahun, anak cenderung lebih pendiam dan tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang sekitarnya
6. Berat badan lebih ringan untuk anak seusianya

Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia tidak hanya sekarang, tetapi utamanya adalah di masa depan. Bukan hanya mengganggu pertumbuhan fisik sehingga umumnya anak-anak stunting secara fisik lebih pendek (masyarakat menyebutnya cebol), anak-anak juga mengalami gangguan perkembangan otak yang akan memengaruhi kemampuan dan prestasi mereka, sehingga secara akademis rerata mereka rendah ketimbang anak-anak yang tidak stunting. Selain itu, anak yang menderita stunting akan memiliki riwayat kesehatan buruk karena daya tahan tubuh yang juga buruk; di usia-usia tuanya (40 tahun ke atas) mereka akan mengalami obesitas dan mudah terkena penyakit degeneratif. Celakanya pula, stunting juga bisa menurun ke generasi berikutnya bila tidak ditangani dengan serius.


Faktor-faktor Penyebab Stunting dan Langkah Penanggulangannya

Mengingat stunting adalah salah satu masalah kesehatan yang cukup membahayakan, memahami faktor penyebab stunting sangat penting untuk dilakukan. Hanya dengan cara itu, kita bisa melakukan langkah-langkah preventif untuk menghindari, mengatasi, atau menanganinya dengan baik. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting, antara lain:


1. Kurang Gizi dalam Waktu Lama

Tanpa kita sadari, penyebab stunting pada dasarnya sudah bisa terjadi sejak anak berada di dalam kandungan. Jadi ini sejak terjadinya kehamilan. Harus diketahui, bahwa sejak di dalam kandungan, anak bisa jadi mengalami masalah kurang gizi. Penyebabnya adalah karena sang ibu tidak memiliki akses terhadap makanan sehat dan bergizi, sehingga menyebabkan buah hatinya turut kekurangan nutrisi. Selain itu, rendahnya asupan vitamin dan mineral yang dikonsumsi ibu juga bisa ikut memengaruhi kondisi malnutrisi janin. Kekurangan gizi sejak dalam kandungan inilah yang juga bisa menjadi penyebab terbesar kondisi stunting pada anak. 

Kondisi seperti ini umumnya jelas terjadi pada ibu hamil dari keluarga miskin, atau secara pendidikan rendah, sehingga kurang memiliki informasi yang baik tentang kesehatan dan terutama bagaimana menjalani kehamilan yang sehat.

Maka penting dalam hal ini peran para kader KPM (kader pembangunan manusia) di lapangan (kalurahan/desa) dalam memberikan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) kepada keluarga berisiko stunting. Di tahun 2022 sampai 2024 ini, ada tenaga tambahan juga yang dibentuk oleh BKKBN, yakni kader TPK (tim pendamping keluarga) yang terdiri atas bidan/tenaga medis, kader KB, dan kader PKK di setiap desa/kalurahan. Jumlah TPK minimal 1 per kalurahan, atau bisa lebi banyak tergantung komposisi penduduk/KK di kalurahan/desa ybs.


2. Pola Asuh Kurang Efektif

Pola asuh yang kurang efektif juga menjadi salah satu penyebab stunting pada anak. Pola asuh di sini berkaitan dengan perilaku dan praktik pemberian makanan kepada anak. Bila orang tua tidak memberikan asupan gizi yang baik, maka anak bisa mengalami stunting. Selain itu, faktor ibu yang masa remaja dan kehamilannya kurang nutrisi serta masa laktasi yang kurang baik juga dapat memengaruhi pertumbuhan dan otak anak.

Maka dalam hal ini memang penting mengedukasi kepada remaja putri, calon bumil, untuk merencanakan pernikahan dan kehamilannya dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan pola asuh yang minim biasanya terjadi pada ibu-ibu hamil yang melakukan nikah dini, sehingga kemungkinan besar mereka belum benar-benar siap menjalani kehamilan, persalinan, ataupun pengasuhan buah hatinya. Di sinilah pentingnya kita menyadarkan remaja tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan (PUP), agar bukan saja mereka sudah matang secara fisik, tetapi secara mental juga siap untuk menjadi orangtua yang baik dalam mengasuh anak-anaknya. 

Yang juga tak kalah pentingnya adalah edukasi kepada remaja untuk mengasup nutrisi dan gizi yang cukup di masa remajanya (sebelum/pranikah). Sebab, asupan gizi dan nutrizi semasa remaja jelas sangat menentukan kualitas kehamilan, persalinan, dan pengasuhannya di kemudian hari, yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan tidak hanya ibu, tetapi juga janin yang ada di dalam kandungannya.



3. Pola Makan

Rendahnya akses terhadap makanan dengan nilai gizi tinggi serta menu makanan yang tidak seimbang dapat memengaruhi pertumbuhan anak dan meningkatkan risiko stunting. Hal ini dikarenakan ibu kurang mengerti tentang konsep gizi sebelum, saat, dan setelah melahirkan.

Rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi disebabkan minimnya edukasi. Maka di sinilah peran penting kader pembangunan manusia (KPM) di setiap desa/kalurahan memberikan penyuluhan, dan sekarang (tahun 2022) dibantu oleh kader tim pendamping keluarga (bidan, kader KB, kader PKK) tentang gizi dan nutrisi, tidak hanya kepada ibu hamil, ibu nifas, tetapi bahkan lebih penting lagi kepada calon ibu atau remaja pranikah sehingga mereka jauh-jauh hari sudah menyiapkan diri untuk menjadi ibu. 

Remaja putri, sebagai calon ibu, harus benar-benar memiliki bekal kognetif tentang gizi dan nutrisi yang baik tidak hanya bagi mereka sendiri (pranikah), tetapi juga janin mereka (selama masa kehamilan), juga bayi-bayi mereka dari usia 0-2 tahun.  


4. Tidak Melakukan Perawatan Pasca Melahirkan

Setelah bayi lahir, sebaiknya ibu dan bayi menerima perawatan pasca melahirkan. Sangat dianjurkan juga bagi bayi untuk langsung menerima asupan ASI agar dapat memperkuat sistem imunitasnya. Perawatan pasca melahirkan dianggap perlu untuk mendeteksi gangguan yang mungkin dialami ibu dan anak pasca persalinan.

Hal yang umum diabaikan oleh para ibu adalah pentingnya memberi ASI (air susu ibu) secara ekseklusif di 6 bulan pertama setelah persalinan. Di 6 bulan pertama, wajib bagi ibu untuk hanya memberikan ASI saja tanpa asupan pendamping apa pun (baik makanan ataupun minuman). ASI ini, sekali lagi, berfungsi untuk menguatkan kekebalan tubuh si bayi dari penyakit.

ASI juga harus terus diberikan kepada bayi sampai usianya 2 tahun. Selain murah, ASI mengandung nutrisi dan gizi yang sangat baik bagi anak. 

Kandungan ASI terdiri dari perpaduan sempurna lemak, protein, karbohidrat, vitamin, zat antibodi, enzim, dan mineral yang lebih mudah dicerna dan diserap dibandingkan susu formula atau susu sapi. Oleh karena itu, ASI dipercaya menjadi sumber nutrisi utama bagi bayi.

Dilihat dari kandungannya yang sarat nutrisi penting, ASI disebut-sebut dapat mengurangi risiko bayi terkena penyakit tertentu seperti diare, ISPA, pneumonia, asma, obesitas, dan diabetes.

5. Gangguan Mental dan Hipertensi Pada Ibu

Saat kehamilan, seorang ibu tidak boleh mengalami tekanan mental karena akan berpengaruh pada kondisi kesehatan anak yang dikandung. Jika seorang ibu mengalami gangguan mental dan hipertensi dalam masa kehamilan, risiko anak menderita stunting juga semakin tinggi.

Gangguan mental atau stres, yang mengganggu kejiwaan seorang ibu, sangat mungkin terjadi ketika sedang dalam kondisi hamil. Stres yang dialami ibu jelas akan sangat berpengaruh bagi perkembangan janin di dalam kandungan.

Gangguan mental pada bumil, selain karena memang punya riwayat gangguan kesehatan mental, beberapa hal berikut ini juga dapat memicu kesehatan mental ibu hamil, yakni:

a. Kehamilan pada usia remaja
b. Pengalaman mengalami trauma baik fisik, emosi ataupun kekerasan seksual
c. Riwayat ketergantungan obat, termasuk perilaku merokok
d. Kurangnya dukungan sosial
e. Menjadi orang tua tunggal saat hamil
f. Memiliki tingkat sosio-ekonomi rendah
g. Pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga
h. Pengobatan depresi yang tidak tuntas
i. Mengalami kesulitan finansial, serta
j. Memiliki pemikiran yang bertentangan akan kehamilannya.

Sebagaimana kita lihat pada poin 1, ternyata pernikahan dini, sekali lagi, berkontribusi pada terjadinya kasus gangguan mental pada ibu hamil (baca: remaja hamil). Di sinilah pentingnya pendewasaan usia perkawinan (PUP), dan harusnya menjadi perhatian bagi para kader BKR, kader PIK-R untuk mensosialisasikannya kepada keluarga yang memiliki remaja atau remaja itu sendiri. 


6. Sakit Infeksi yang Berulang

Sakit infeksi yang berulang pada anak disebabkan oleh sistem imunitas tubuh yang tidak bekerja secara maksimal. Saat imunitas tubuh anak tidak berfungsi baik, maka risiko terkena berbagai jenis gangguan kesehatan, termasuk stunting, menjadi lebih tinggi. Karena stunting adalah penyakit yang rentan menyerang anak, ada baiknya orangtua (terutama ibu) harus selalu memastikan imunitas buah hati terjaga sehingga terhindar dari infeksi.

Cara terpenting untuk menunjang imunitas tubuh anak (baduta, balita) adalah dengan imunisasi, yang sekian lama ini sudah ditentukan jadwalnya secara rutin pada setiap anak/bayi dalam kurun satu tahun pertama.

Di Indonesia, ada istilah imunisasi wajib. Istilah ini sebenarnya merujuk ke program pemerintah yang memberikan beberapa jenis vaksin kepada anak-anak secara gratis hingga dosis lengkap.

Pemenuhan imunisasi wajib ini terbukti aman dan bermanfaat untuk melindungi anak dari penyakit sekaligus mencegah penularan penyakit ke anak lain. Jikalau sewaktu-waktu anak yang sudah imunisasi terinfeksi, ia biasanya menunjukkan gejala yang lebih ringan dibandingkan anak yang tidak diberikan imunisasi.

Setidaknya ada lima jenis imunisasi wajib yang perlu diberikan sesuai usia anak beserta jadwal yang telah ditetapkan pemerintah, yakni: 

a. imunisasi hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis B (infeksi hati), di mana jadwal imunisasinya pertama sesaat setelah bayi lahir, sedangkan dosis berikutnya diberikan secara berturut-turut saat bayi berusia 2, 3, 4, dan 18 bulan;

b. imunisasi polio, bertujuan untuk mencegah anak tertular infeksi virus polio,diberikan sebanyak 4 kali, yaitu saat bayi baru lahir dan saat berusia 2, 3, serta 4 bulan; 

c. imunisasi BCG, bertujuan untuk melindungi tubuh dari kuman penyebab penyakit tuberkulosis (TBC), (boleh) diberikan segera setelah bayi lahir; 

d. imunisasi campak rubella,  untuk pencegahan penyakit campak dan rubella, diberikan sebanyak 3 kali, yaitu saat anak berusia 9 bulan, 18 bulan, dan 5 tahun, serta  

e. imunisasi DPT-HB-HiB, untuk memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap 6 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis atau batuk rejan, tetanus, hepatitis B, pneumonia, dan meningitis atau radang otak,  diberikan sebanyak 4 kali, dengan jadwal pemberian berturut-turut pada bayi di usia 2, 3, 4, dan 18 bulan.

Imunisasi wajib bisa diperoleh secara cuma-cuma di puskesmas atau posyandu karena sudah dianggarkan oleh pemerintah.

Dengan imunisasi, maka daya imun atau kekebalan tubuh anak dapat terjamin. Jika anak sehat, tidak sakit, pertumbuhannya akan maksimal sehingga tidak mengalami stunting. Tetapi jika anak memiliki imunitas yang rapuh, atau malah tidak punya imunitas sama sekali, ia gampang terjangkit penyakit, dan pertumbuhan fisiknya terganggu dan ini akan menyebabkan akan stunting. 

Dengan demikian, imunisasi menjadi salah satu hal penting yang wajib dilaksanakan dalam rangka pencegahan stunting. Ada beberapa kelompok di masyarakat yang mengabaikan pentingnya imunisasi ini, atau bahkan anti terhadap imunisasi. Ini tentu menjadi tugas berat kader KPM, kader TPK (di kalurahan/desa) dalam memberikan edukasi kepada masyarakat.


7. Faktor Sanitasi

Sanitasi yang buruk serta keterbatasan akses pada air bersih akan mempertinggi risiko stunting pada anak. Bila anak tumbuh di lingkungan dengan sanitasi dan kondisi air yang tidak layak, hal ini dapat memengaruhi pertumbuhannya. 

Maka sudah hal umum bahwa stunting memang begitu erat kaitannya dengan infeksi berulang. Infeksi berulang yang terjadi dalam waktu cukup lama bisa menjadi faktor pemicu terjadinya stunting. 

Sebagai misal, anak terkena cacingan (cacing ini juga sejenis infeksi).  Menurut Public Library of Science, ada dua macam dampak yang ditimbulkan dari cacingan yang menyerang anak-anak yaitu anemia dan stunting. Penyebab anemia diantaranya karena kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi, folat, riboflavin, vitamin A, dan vitamin B12.
Infeksi cacing juga bisa menjadi penyebab stunting. Mulanya cacing yang menyerap nutrisi pada tubuh akan menyebabkan nafsu makan anak menurun sehingga lama kelamaan anak akan mengalami masalah kekurangan gizi. Jika masalah gizi tidak ditangani dengan segera maka akan menyebabkan stunting pengaruh pada pertumbuhan fisik dan mental. 

Kejadian infeksi sangat terkait dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat, seperti tidak tersedianya akses air bersih, sarana sanitasi layak, dan pengelolaan sampah. Dengan demikian, penyediaan air bersih dan sanitasi memiliki peran penting dalam penurunan stunting karena berhubungan erat dengan upaya pencegahan infeksi penyakit.

Upaya untuk menyediakan sarana air bersih dan sanitasi baik di pedesaan maupun di perkotaan dilakukan antara lain melalui program Penyediaan Air minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Intervensi lain yang dilakukan juga mencakup penyediaan infrasturuktur air limbah berbasis masyarakat dan tempat pengelolaan sampah terpadu. Selain penyediaan sarana, pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, buang air besar di tempatnya, dan mengelola sampah dengan benar.


Program KB dan Percepatan Penurunan Stunting

Stunting terjadi bukan hanya karena kekurangan gizi pada anak, namun juga terbatasnya pemahaman tentang pengasuhan yang dilakukan saat anak berada dalam kandungan. Sayangnya, masih banyak kehamilan berisiko (terlalu muda, terlalu rapat, terlalu banyak, terlalu senja, disingkat "4 Terlalu") dilakukan oleh pasangan usia subur yang membahayakan baik bagi si ibu, maupun bagi si anak. 

Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya setiap pasangan usia subur (PUS) untuk mengikuti program KB. Program KB sendiri bertujuan untuk mengatur kehamilan pasangan usia subur, diantaranya mencegah usía kehamilan yang terlalu dini serta jarak kehamilan yang terlalu dekat sehingga berperan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan memastikan ketercukupan gizi anak. Keluarga berencana melakukan intervensi spesifik seperti mempersiapkan calon ibu semenjak remaja, yakni dengan menghindari pernikahan terlalu dini, serta tak kalah pentingnya memastikan setiap ibu/istri agar mengakhiri kehamilan jika usianya sudah terlalu tua (> 35 tahun).

Upaya intervensi program KB dalam percepatan penurunan stunting diimplementasikan melalui kampanye atau sosialisasi penting menghindari "4 T" atau "4 Terlalu", yakni: pertama terlalu muda, yakni agar perempuan jangan menikah/hamil pada usia di bawah 20 tahun; kedua, terlalu dekat, yakni agar jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun; ketiga, terlalu banyak, yakni agar PUS jangan memiliki anak lebih dari 2; serta keempat, terlalu tua, yakni agar PUS menghindari kehamilan di atas 35 tahun.     


1. Pendewasaan Usia Perkawinan 
 

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Dalam perkembangan terbaru, ada perubahan atas UU Perkawinan yaitu UU No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974, dengan titik tekan pada pasal 7 , dinyatakan bahwa perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria dan wanita mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Di UU sebelumnya usia perkawinan diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 

Di Indonesia, sebagaimana kita tahu, masih banyak terjadi perkawinan anak yang masih berusia dibawah 19 tahun. Berdasarkan Data BPS tahun 2018, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat nomor 2 dari bawah setelah Riau, namun posisi ini bisa bergeser lebih baik atau lebih jelek ketika batas minimal umur perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak-hak anak dilindungi oleh berbagai peraturan, di antaranya non diskriminasi, hak hidup tumbuh dan berkembang, partisipasi/suara anak. Banyaknya perkawinan anak di Indonesia, khususnya DIY, dimana ada peningkatan jumlah perkawinan anak sejak tahun 2018 sebanyak 331 kasus dan meningkat menjadi 696 kasus perkawinan anak pada tahun 2020. Perkawinan anak ini perlu dicegah. Hal ini dikarenakan anak adalah investasi bangsa. 

Penyebab perkawinan anak diantaranya faktor ekonomi dan kemiskinan, faktor nilai budaya, faktor perilaku remaja (kehamilan yang tidak dikehendaki / KTD), ketidaksetaraan gender. Menurut ibu Erlina, KTD hampir ada di semua kabupaten dan kota yang menjadi penyebab utam perkawinan anak, dan angkanya hampir mencapai 80% dari total pernikahan usia anak-anak di DIY. Disamping itu, kadang kala anak tidak memiliki kekuasaan untuk mengatakan tidak ketika orang tuanya meminta untuk segera menikah, itu juga menjadi penyebab perkawinan anak

Dampak secara global dari perkawinan anak diantaranya adanya komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak, bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun, anak perempuan yang menikah lebih rentan terhadap kekerasan rumah tangga. Akibat yang timbul dari perkawinan anak dari sisi pendidikan, menyebabkan anak menjadi putus sekolah. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat (44,9%). 

Dari sisi kesehatan, pernikahan usia dini akan meningkatkan kejadian angka kematian ibu (AKI), 4-5 kali peluang terjadinya kehamilan risiko tinggi, kontraksi rahim tidak optimal, kanker serviks, kejadian 2-5 kali berpeluang pre eklampsia, risiko lahir prematur, peluang tertular penyakit menular seksual (PMS), meningkatnya angka kematian bayi (AKB), stunting, dan risiko berat badan bayi lahir rendah (BBLR). 

Dari sisi ekonomi, sebagai dampak pernikahan dini akan semakin banyak pekerja anak dengan upah rendah, sehingga menyebabkan kemiskinan. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hampir 2x lebih banyak bekerja di pertanian dibanding yang menikah diatas usia 18 tahun. 

Dari sisi sosial, pernikahan dini berpotensi meningkatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola asuh salah ke anak, kesehatan mental dan identitas anak.

Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta (2020), dispensasi pernikahan di DIY masih menunjukkan peningkatan dari 2018 sampai dengan 2020. Sebagian besar penyebab perkawinan anak di DIY masih didominasi dengan faktor perilaku remaja, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terpadu untuk mencegah perkawian anak ini. Salah satunya adalah dengan pendewasaan usia perkawinan (PUP) ini.

Pendewasaan usia perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama yaitu usia minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, dimana pada batasan usia ini dianggap sudah siap menghadapu kehidupan keluarga dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. PUP ini juga merupakan bagian dari Program KB Nasional yang diharapan dapat mendukung penurunan Total Fertility Rate (TFR). Tujuan Pendewasan Usia Perkawinan (PUP) diantaranya menunda perkawinan sampai batas usia minimal untuk siap berkeluarga, mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa, menunda kehamilan anak pertama bila telah terjadi perkawinan dini, sampai di usia 21 tahun. 

Berdasarkan Permendesa PDTT No 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2021, disebutkan bahwa salah satu prioritas penggunaan dana desa untuk program prioritas nasional sesuai kewenangan desa adalah pencegahan stunting di desa melalui pengasuhan anak di keluarga termasuk pencegahan perkawinan anak. Disamping itu, adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan peluang wewenang penuh bagi pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga bisa bertanggung jawab atas tata kelola pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. 

Penyusunan perdes pencegahan dan penanganan perkawinan anak adalah wujud komitmen dalam menurunkan perkawinan anak. Perdes ini ini bisa berdiri sendiri atau diintegrasikan dengan Perdes Layak Anak, berisi strategi pencegahan, pengaduan dan penanganan perkawinan anak, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah desa, masyarakat, orang tua serta hak dan peran anak dalam pencegahan perkawinan anak, serta adanya monitoring, evaluasi dan alternatif sangsi denda. Sudah ada contoh Perdes pencegahan perkawinan anak yaitu yang ada di Desa Bialo dan Desa Padende, Kabupaten Sigi.

Sesungguhnya yang berjalan sejauh ini peraturan pencegahan perkawinan anak mulai dari penyaringan sampai dengan dispensasi kawin sudah melalui proses yang ketat. Sedangkan permasalahan utama yang terjadi adalah adanya KTD dan hubungan seks di luar nikah. Penting kiranya jika dilakukan pendekatan secara sosio kultural dibandingkan pendekatan secara legal. Sebab, regulasi seperti apapun saja tidak cukup dan sangat sulit mencegah pernikahan anak usia dini. Sebab yang berkembang di tengah masyarakat sekarang, pernikahan seolah menjadi satu-satunya solusi dan dianggap penyelamat kehormatan keluarga. Karena bagi sebagian orang, terutama orang tua, melihat bahwa pernikahan ini akan menyelamatkan muka mereka. Yang kita cegah adalah penyebab utamanya yaitu KTD. Dibuat peraturan seperti apapun kalau sudah terjadi KTD itu akan sulit mencegah terjadinya perkawinan. Sejauh mana Pengadilan Agama itu bisa menolak, pada kenyataannya yang ditolak sangat sedikit, karena sudah terjadi KTD sehingga Pengadilan Agama pun kesulitan.

Maka penting bagaimana caranya membentengi nilai-nilai moral kaum muda sekarang dengan nilai-nilai warisan budaya leluhur, bagaimana memberikan edukasi kepada remaja untuk tidak tergesa gesa berpacaran di usia muda, bagaimana membuat program kegiatan yang positif untuk kaum muda. Adanya keterlibatan remaja/anak muda dalam berbagai kegiatan, diajak diskusi atau rembugan, kegiatan olahraga, musik, permainan tradisional, berkebun, kerajinan, aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan sesuai dengan bakat dan minat mereka. 

Dalam permasalahan ini, poktan seperti PIK-R dapat memainkan peran yang strategis mengingat di dalamnya terdapat kegiatan yang bersifat edukatif, komunikatif, pengayaan skill/ketrampilan, pembinaan mental, dsb untuk persiapan kehidupan berumahtangga bagi remaja (PKBR). Program-program di PIK-R perlu dioptimalkan untuk mengintensifkan pemahaman kepada anak-anak muda (pengurus dan anggota PIK-R) di usia dini supaya tidak sampai terlibat dalam pergaulan yang berakhir kepada KTD. Melalui PIK-R ini remaja dikondisikan dengan kegiatan-kegiatan yang menarik untuk mengalihkan perhatiannya supaya tidak terjerumus atau berpacaran di usia muda. Harus ada kegiatan-kegiatan pengalihan yang positif dan berdampak, seperti: kesenian, olahraga, wirausaha, public speaking, dan sebagainya.


2. Jarak Kelahiran Jangan Kurang dari 3 Tahun 

Dikutip oleh mediaindonesia.com, edisi 5 Maret 2021, sebuah studi dari Tata-Cornell Institute for Agriculture and Nutrition (TCI) mengungkapkan jeda kelahiran yang tepat dapat membantu mengurangi kemungkinan stunting pada anak-anak. 

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences of the United States of America, ditemukan data bahwa perbedaan tinggi badan antara anak sulung dan anak yang baru lahir mungkin disebabkan oleh jeda waktu kelahiran yang tidak tepat. 

Menurut TCI, jeda waktu kelahiran yang tepat untuk mencegah terjadinya stunting adalah tiga tahun. Studi TCI menunjukkan bahwa menempatkan fokus yang lebih besar pada jarak kelahiran yang memadai dalam kebijakan gizi ibu dan anak serta program kesehatan masyarakat dapat membantu mencegah stunting. 

Penelitian tsb juga menunjukkan bahwa jarak kelahiran yang memadai dapat secara signifikan menurunkan stunting dan berbagai efek buruk yang ditimbulkannya. Pembuat kebijakan harus memastikan bahwa program KB bisa berjalan dengan baik, untuk bisa mengubah mindset di masyarakat ihwal menekankan pentingnya memberikan waktu yang cukup di antara kehamilan, selain mengurangi jumlah kelahiran dan menunda kehamilan pertama.

Sebagai penanda kekurangan gizi kronis, selain tinggi badan yang rendah, stunting membuat anak-anak rentan terhadap penyakit dan berisiko memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah. Di antara penyebab stunting sebagaimana diketahui adalah kemiskinan, gizi kurang, pola makan yang buruk, kesehatan ibu yang buruk selama kehamilan dan menyusui, kehamilan remaja, lingkungan penyakit yang buruk, dan sering sakit. 

Namun, bukti yang cukup besar juga menunjukkan bahwa urutan kelahiran mempengaruhi stunting, dengan risiko yang lebih tinggi pada anak yang lahir setelah anak pertama. Maka seyogianya dipahami bahwa jeda waktu antar kehamilan memengaruhi kesehatan ibu dan anak dalam beberapa hal. Setelah persalinan, tubuh ibu membutuhkan waktu untuk mengisi kembali mikronutrien kunci. Jadi, hamil lagi terlalu cepat dapat mengurangi nutrisi yang tersedia untuk janin dan membatasi produksi ASI. Memiliki anak yang terlalu berdekatan juga bisa mempersulit sebagian orang tua untuk mencurahkan waktu dan sumber daya yang cukup untuk setiap anak.

Untuk keperluan tsb, memang sebaiknya sehabis persalinan seorang ibu segera mengikuti program KB, dengan tujuan supaya tidak terjadi kehamilan berikutnya dalam jarak yang tidak ideal. Dalam budaya Jawa, ada istilah “kesundulan”, yakni ketika seorang bayi yang baru lahir disusul oleh kelahiran adiknya pada jarak yang dekat, atau bahkan sangat dekat, ketika dia belum maksimal dalam konsumsi ASI ibunya.

Dengan segera mengikuti program KB, potensi “kesundulan” bisa dicegah sedemikian rupa, sehingga bayi bisa mendapat asupan ASI dan pengasuhan dari orangtuanya secara maksimal. 

Sangat dianjurkan sekali bahwa alat KB yang dipakai adalah MKJP (metode kontrasepsi jangka panjang), misalnya implan (susuk KB) 3 tahun, atau IUD 5, 8, atau 10 tahun, jadi ketika nanti dilepas karena ingin menambah anak tidak masalah, karena umur anak pertama sudah tamat batita (bayi tiga tahun) atau bahkan sudah tamat balita (bayi lima tahun), meski pada prinsipnya alat KB apa pun bisa dilepas kapan pun sesuai keinginan akseptor (pemakainya). Jika memakai alokon pil KB, maka harus pil KB yang khusus ibu menyusui.

Pertanyaannya kemudian, jika tujuan KB pasca salin adalah untuk memberi kesempatan ibu memberikan ASI dan pengasuhannya secara maksimal, dibutuhkan berapa lama? Pertanyaan persisnya, sampai kapan konsumsi ASI itu berlangsung? Atau, pertanyaan lainnya dalam hal ini: kapan alat atau obat kontrasepsinya bisa dihentikan karena ingin menambah anak?

Jawaban atas 3 pertanyaan itu sama: ketika si bayi sudah berumur 2 (dua) tahun, atau berusia 1000 hari dihitung sejak pertemuan antara ovum dan sel sperma yang menjadi cikal bakal dirinya. 

Dua tahun adalah usia yang maksimal bagi seorang bayi untuk mendapatkan ASI dari ibunya. Ketika bayi sudah mancapai dua tahun, maka ibu seyogianya menghentikan pemberian ASI, baik karena alasan ingin menambah anak lagi atau tidak. Jikalaupun karena ingin menambah anak, juga tidak mengapa, karena sudah memenuhi syarat minimal (ASI diberikan secara maksimal), dan setelah itu diproseslah keinginan menambah anak (berhubungan seksual), sehingga asumsinya setidak-tidaknya jarak antara si bayi dengan adiknya adalah kurang lebih satu tahun. 

Dalam hal ini, sejak 15 abad yang lalu, Alquran telah dengan jelas mengharuskan setiap ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya sampai berusia 2 (dua) tahun sempurna (penuh). Pernyataannya ada di dalam QS al-Baqarah: 233: “Dan para ibu menyusui anak-anak mereka dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan susuannya...” 

Menyusui selama dua tahun ini juga sebagai bentuk perhatian maksimal ibu (orangtua) kepada anaknya, sebagaimana ditegaskan dalam QS Luqman: 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik)kepada orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun.” 

Jika seorang ibu (muslimah) taat kepada ajaran agamanya, meskipun tanpa anjuran atau instruksi dari dinkes, puskesmas, kader KB atau kader Posyandu, harusnya tergerak secara sadar untuk memberikan ASI-nya sampai anak berusia 2 tahun (1000 hari sejak dalam kandungan).

Dan ternyata, masya Allah, dunia kedokteran modern membuktikan bahwa ASI yang diberikan selama dua tahun terbukti menjadikan bayi lebih sehat, menjadikan bayi mengalami proses tumbuh-kembang dengan baik. Menurut penelitian, sebagaimana dikutip oleh Febria Silaen dalam, “Manfaat Menyusu Hingga 2 Tahun,” pada laman www.beritagar.id edisi Sabtu, 05 Agustus 2017, bahwa untuk anak usia 2 tahun, kandungan zat imun dari ASI masih dapat melindunginya dari penyakit, karena anak-anak di atas usia 1 tahun pada umumnya terpapar lebih banyak daripada saat masih bayi. 

Diinformasikan pula sebuah hasil survei bahwa bayi yang menyusu hingga 1 tahun pertama mengalami penurunan kejadian penyakit dan tingkat risiko kematian yang lebih rendah ketimbang yang kurang dari 1 tahun. Serupa efeknya, bayi yang tetap mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun dapat meningkat kekebalan tubuhnya atas serangan penyakit.



3. Jumlah Anak Ideal; Dua Anak Lebih Sehat

Batasan dua anak dalam keluarga sudah lama menjadi salah satu program di Indonesia melalui program Keluarga Berencana (KB). Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo memang ada alasan ilmiah di balik slogan tsb.

"Dua anak cukup atau dua anak lebih sehat itu adalah kenyataan. Walaupun tidak diprogramkan, secara medis itu memang lebih sehat dibandingkan punya tiga anak atau lebih," kata Hasto. 

Menurut data-data ilmiah, angka kematian ibu lebih tinggi saat melahirkan untuk ketiga, keempat atau kelima kalinya. Selain itu, risiko kematian bayi juga meningkat pesat di anak ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.

"Jadi, dua anak cukup ini bukan soal local genious atau budaya tapi cenderung masalah biologis saja. Dua anak cukup itu bukan bahasa program melainkan bahasa kedokteran karena kalau melahirkan tiga anak banyak ibu meninggal karena pendarahan," lanjut Hasto.

Hasto menjelaskan ketika seorang wanita hamil anak ketiga maka kondisi rahim lebih kendur dibandingkan saat hamil pertama dan kedua. Kondisi itu membuat ibu melahirkan secara spontan di kehamilan ketiga cenderung kontraksi lebih sulit, sehingga pendarahan lebih banyak.

"Lebih sehat" di sini bisa mencakup beberapa makna, yakni antara lain:

Pertama, sehat secara fisik bagi ibunya, sebagaimana yang disampaikan oleh dokter Hasto di atas. Dengan hanya melahirkan 2 anak selama masa kesuburannya, seorang ibu/perempuan secara fisik lebih sehat, setidaknya pada organ reproduksinya. Banyak penelitian medis yang sudah menunjukkan bahwa persalinan berkali-kali akan sangat berisiko tinggi bagi seorang ibu/perempuan, juga data lain yang menunjukkan bahwa banyaknya persalinan akan berpotensi meningkatkan risiko kanker serviks pada ibu/perempuan. Fisik yang sehat dari seorang ibu tentu akan berdampak positif juga kepada anak-anak yang dikandung dan dilahirkannya; mereka akan menjadi anak-anak yang sehat juga. Kesehatan ibu selama hamil, bersalin, dan pengasuhan di masa-masa emas akan menekan risiko terjadinya stunting. 

Kedua, "sehat" secara ekonomi. Dengan besaran jumlah anak yang minimal, yakn dua saja,  maka pengeluaran finansial di dalam keluarga bisa ditekan atau diminimalisasi. Pengeluaran bisa dialokasikan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga dibanding seandainya besaran keluarganya banyak (anak lebih dari 2). Artinya, bahwa dengan jumlah anak yang sedikit (minimal), yakni 2 saja, beban keluarga lebih ringan untuk mencukupi kebutuhan keluarga baik itu menyangkut sandang pangan, papan (tempat tinggal), pendidikan, kesehatan, rekreasi, dsb. Dengan kondisi ekonomi yang "sehat", orangtua dapat mencukupi kebutuhan anak-anak mereka akan gizi, vitamin, dan nutrisi yang memadai sehingga anak terhindari dari permasalahan-permasalahan kesehatan seperti stunting.

Ketiga, sehat secara fisik dan emosional bagi bayi. Dengan besaran keluarga yang minimalis, yakni dua (2) saja, kebutuhan perhatian dari segi tumbuh kembang fisik dan emosional anak selama di dalam kandungan dan pasca persalinan akan terpenuhi secara maksimal, sehingga anak akan selalu berada dalam kondisi sehat secara fisik, mental, dan emosionalnya sejak sebelum dan setelah dilahirkan. Kesehatan fisik dan emosional seorang anak acap kali terabaikan, tidak diperhatikan, di dalam keluarga dengan jumlah anak yang banyak, apalagi jika jarak antar kelahiran tidak ideal karena tidak direncanakan dengan baik oleh orangtua. Dalam kondisi seperti itu, risiko gangguan kesehatan sangat mungkin terjadi, yang salah satunya adalah stunting. Oleh karenanya, memang faktor jumlah anak ini sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya risiko stunting di dalam sebuah keluarga.  

  
4. Berhenti Hamil/Bersalin Ketika Usia Sudah > 35 Tahun

Hamil di usia 35 tahun, baik untuk kehamilan pertama maupun kehamilan selanjutnya, tergolong kehamilan di usia tua. Wanita yang hamil di usia tersebut umumnya lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan selama mengandung. Risiko ini juga bisa terjadi pada janin.

Harus diketahui bahwa idealnya wanita menjalani hamil di kisaran usia 20 tahun hingga awal 30 tahun. Saat memasuki usia 35 tahun, tingkat kesuburan wanita umumnya menurun, sehingga memengaruhi jumlah dan kualitas sel telur yang diproduksi.

Perubahan hormon juga bisa berdampak pada masa subur atau ovulasi dan peningkatan risiko terjadinya penyakit tertentu, seperti endometriosis  yang dapat memengaruhi kesuburan.

Tak hanya itu, ada beberapa risiko yang dapat dialami oleh wanita yang hamil di usia tua, antara lain:

a. Kelainan genetik pada bayi
Berbagai riset menunjukkan bahwa ibu hamil yang berusia 35 tahun atau lebih berisiko melahirkan bayi dengan kondisi cacat bawaan lahir atau kelainan genetik, seperti downsyndrom,  penyakit jantung bawaan, polidaktili, dan bibir sumbing.

b. Risiko keguguran
Wanita yang hamil di usia 35 tahun atau lebih tua juga diketahui lebih rentan mengalami keguguran. Beberapa riset menunjukkan bahwa wanita yang hamil usia tua lebih berisiko mengalami keguguran hingga 20–35%, jika dibandingkan dengan wanita yang hamil di usia lebih muda.

Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari kelainan genetik pada janin, kondisi kesehatan ibu yang kurang baik, atau riwayat keguguran sebelumnya.

c. Risiko melahirkan bayi prematur
Wanita yang hamil di usia tua lebih berisiko melahirkan bayi prematur atau lahir dengan berat badan rendah. Hal ini bisa menyebabkan bayi mengalami berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan, daya tahan tubuh lemah, hingga terhambatnya tumbuh kembang.

d. Komplikasi kehamilan
Wanita yang menjalani kehamilan di usia 30-40 tahun rentan mengalami berbagai komplikasi kehamilan, seperti diabetes gestasional dan preeklamsia. Risiko ini akan semakin meningkat bila pernah mengalami kondisi serupa pada kehamilan sebelumnya.

e. Proses melahirkan dengan operasi caesar
Wanita yang berusia lebih tua saat hamil juga lebih rentan mengalami gangguan selama persalinan, sehingga diperlukan operasi caesar. Selain itu, riwayat operasi caesar sebelumnya juga bisa membuat wanita yang hamil di usia tua perlu melahirkan dengan metode yang sama.

Itulah kenapa kemudian dikatakan bahwa kehamilan di atas 35 tahun adalah kehamilan risti (risiko tinggi). Ini dikarenakan pada kehamilan di atas 35 tahun, baik bumil maupun janin yang dikandungnya rentan mengalami gangguan masalah kesehatan, komplikasi, juga gangguan saat persalinan, bahkan sangat mungkin pasca persalinan. Gangguan-gangguan tsb tentu saja berpotensi menghambat tumbuh kembang janin tidak hanya saat di dalam kandungan, tetapi sangat mungkin setelah kelahirannya sampai habis usia-usia emasnya (0-60 bulan). Jika tumbuh kembangnya terhambat, terganggu, maka tentu saja ancaman stunting terhadap si bayi menjadi tidak bisa dihindarkan lagi.

Oleh karena itu memang tidak bisa ditawar lagi bahwa setiap keluarga seyogianya betul-betul merencanakan keluarganya dengan baik, hal mana di dalamnya mencakup perencanaan dan komitmen untuk menghentikan kehamilan ketika istri mencapai usia 35 tahun. Meski klise, harus ditegaskan berkali-kali bahwa program KB bukan sebatas pada soal penggunaan alat/obat kontrasepsi atau pembatasan besaran keluarga an-sich, tetapi juga mencakup perencanaan tentang kapan harus mengakhiri kehamilan, di mana metodenya menggunakan alat/obat KB itu sendiri.

Dengan menjalani kehamilan dan persalinan di usia-usia ideal (20-35 tahun), harapannya ibu bisa menjalani dan merawat kehamilannya dalam kondisi yang fit, sehat, dan bersemangat, dengan sikap mental yang baik dan positif, sehingga itu berdampak pula pada kesehatan dan tumbuh kembang janin yang dikandungnya. Demikian halnya, persalinan yang terjadi pada usia-usia yang ideal (20-35 tahun) jelas berdampak positif pada tumbuh kembang bayi di usia emasnya, khususnya di 2 tahun pertama (24 bulan). Dalam kurun usia yang masih ideal (20-35 tahun) ketika bersalin dan memiliki anak, seorang ibu tentu masih memiliki energi, semangat, dan mental yang luar biasa untuk mengimplementasikan pola asuh yang baik kepada buah hatinya, sehingga tumbuh kembang sang anak dengan demikian akan berjalan dengan maksimal dan sesuai yang diharapkan. Wallahu a'lam.(*)   
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine