Urgensi Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) Songsong Bonus Demografi 2020-2035


Seperti kita ketahui dan sadari bersama, Indonesia saat ini telah memasuki fenomena kependudukan yang disebut bonus demografi. Tidak dipungkiri, bonus demografi ialah hasil dari upaya menurunkan angka Total Fertility Rate (TFR) atau tingkat kelahiran total (total bayi yang bisa dilahirkan oleh seorang perempuan selama hidupnya) melalui program keluarga berencana (KB). Jika dimanfaatkan dengan optimal, bonus demografi dapat memacu pertumbuhan ekonomi, yang dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa.

Apa Itu Bonus Bemografi?
Pada suatu kondisi, perubahan struktur umur penduduk bisa menyebabkan menurunnya angka beban ketergantungan. Bonus demografi merupakan suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Sebab jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sementara proporsi usia muda semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.Penduduk yang produktif itu berusia 15 tahun hingga 64 tahun. Sementara penduduk non produktif berusia di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas. Pada tahun 1971, jumlah ketergantungan masih sangat tinggi, yaitu 86 orang non produktif ditanggung oleh 100 orang produktif. Sementara pada tahun 2000, jumlah ketergantungan sudah mulai menurun, yaitu 54 non produktif ditanggung oleh 100 orang produktif. (Bayu Pratama, “Memaknai Bonus Demografi,” dalam www.kompasiana.com, Desember 2018)

Berdasarkan kajian hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), puncak bonus demografi akan terjadi pada tahun 2028-2030, di mana untuk tiap 100 orang produktif menanggung 44 orang usia non produktif.

Peta penduduk Indonesia saat ini bisa dilihat dari data, “Proyeksi Penduduk Indonesia”, yang disusun Bappenas dan BPS. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 tercatat 255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4 persen) dan penduduk yang berumur 65 tahun  ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4 persen). Total usia non produktif ini sebanyak 32,8 persen. Sedangkan penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3 persen).

Begitu memasuki tahun 2020, persentasenya akan berubah dengan jumlah penduduk produktif 70 persen dan non produktif 30 persen. Persentase akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal kembali menjauh dari persentase ideal. Ditengarai bahwa pada 2036, bonus demografi sudah hilang, karena pada saat itu jumlah lansia kita akan semakin banyak. Yang perlu digarisbawahi, memang bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan suatu bangsa.

Terkait dengan analisis seputar bonus demografi, tidak boleh diabaikan apa yang disebut dengan rasio ketergantungan (dependency ratio) atau perbandingan antara penduduk usia  non produktif dengan penduduk usia produktif. Pada masa puncak bonus demografi, rasio ketergantungan diprediksi mencapai titik terendah yaitu 44 orang non produktif ditanggung oleh 100 orang usai produktif atau 44 persen.

“Datangnya bonus demografi secara tidak langsung juga berarti munculnya jendela peluang (window of opportunity). Kondisi ini terjadi ketika angka ketergantungan berada pada tingkat terendah, yaitu rasio ketergantungan 44 per 100 pekerja, yang diperkirakan akan terjadi selama 10 tahun, dari 2020 sampai 2030,” jelas Hasto Wardoyo di acara, “Health Liputan 6,” Sabtu (31/8). Untuk itu, lanjut Hasto, kita harus menyiapkan generasi yang berkualitas, agar tenaga kerja yang melimpah pada saat ini bisa produktif dalam berpartisipasi membangun bangsa, mampu membawa berkah bagi kemakmuran negeri, bukan malah menjadi bencana dan beban pembangunan. Apalagi, realitasnya saat ini masih banyak persoalan kependudukan yang dihadapi Indonesia.
 
Masalah dan persoalan yang kita hadapi, menurut Kepala DP3AKBPMD Gunungkidul, Sujoko, SSos, MSi,bukan hanya terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan yang ditandai dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya laju pertumbuhan penduduk yang memicu pengangguran dan persoalan perumahan  (tempat tinggal), tetapi banyaknya persoalan yang dihadapi remaja terkait dengan pergaulan bebas, pernikahan dini, penyalahgunaan napza, dan sebagainya. “Di sinilah perlunya upaya menghadapi datangnya era bonus demografi secara bijak dengan pendidikan kependudukan pada generasi mudanya, utamanya siswa di sekolah, agar mereka menyadari persoalan yang akan dihadapi di era mendatang terkait persaingan di dunia kerja, serta mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, yang sehat lahir batin, yang berpengetahuan, yang punya pemahaman dan kesadaran serta sikap dan perilaku berwawasan kependudukan,” tegas Sujoko.

Apa Itu Sekolah Siaga Kependudukan?
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki amanah untuk memberikan literasi tentang kependudukan agar masyarakat sadar akan pentingnya manfaat yang harus disiapkan dan digunakan serta permasalahan-permasalahan yang harus dihindari dari dampak kependudukan. Salah satu upayanya melalui Sekolah Siaga Kependudukan.
Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) adalah sekolah yang mengintegrasikan pendidikan kependudukan dan keluarga berencana ke dalam beberapa mata pelajaran sebagai pengayaan materi pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat pojok kependudukan sebagai salah satu sumber belajar peserta didik sebagai upaya pembentukan generasi berencana, agar guru dan peserta didik dapat memahami isu kependudukan dan guru mampu mengintegrasikan isu kependudukan ke dalam pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013. SSK didefinisikan sebagai implementasi operasional pengendalian kependudukan dan keluarga berencana dengan program-program pendidikan, terintegrasi dikelola dari, oleh penyelenggara pendidikan melalui pemberdayaan sekolah serta memberikan kemudahan atau akses terhadap anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan khusus bidang kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi kreatif serta program sektor lainya. (Mardiya, “Mengenal Sekolah Siaga Kependudukan”,www.kulonprogokab.go.id, Mei 2018).
Sasaran pendidikan kependudukan adalah instansi pendidikan formal (SD sd SLTA dan Universitas), jalur pendidikan non formal, yaitu di Diklat Berjenjang seperti Diklat ASN dan Kepramukaan, melalui jalur pendidikan informal, yaitu keluarga/kelompok kegiatan masyarakat/keluarga. Pola untuk penyelenggaraan pendidikan kependudukan melalui jalur-jalur tersebut adalah dengan pola kerjasama (sistem kerjasama).
“Melalui pengetahuan dan informasi yang disampaikan di wadah-wadah tersebut, harapannya akan dapat berdampak pada perubahan sikap dan perilaku setiap orang dan keluarga,yakni adanya rasa sadar kependudukan dengan cara membentuk keluarga kecil berkualitas, menyiapkan generasi penerus, menyiapkan hari tua, memperhatikan lingkungan dan daya dukung alam untuk kehidupan,” harap Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo, SpOG (K) pada peresmian SSK di SMA Negeri 1 Kepanjen, Kabupaten Malang sebagai Sekolah Siaga Kependudukan, Rabu (17/7) silam.
Tujuan dari adanya SSK ini setidaknya tiga, yakni: (1) memupuk kesadaran akan kondisi kependudukan di wilayah tempat tinggal masing-masing siswa; (2) menumbuhkan sikap bertanggung jawab dan perilaku adaptif berkaitan dengan dinamika kependudukan, serta lebih dari itu, (3) mengembangkan sikap yang tepat dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan kelak ketika mereka menjadi dewasa. Maka dalam konteks program SSK ini, siswa perlu diajak untuk bersikap: (1) Saya Sadar (I aware) mengenai perkembangan jumlah penduduk dunia, kebutuhan dan ketersediaan air, pangan dan energi, (2) Saya Peduli (I care) mengenai isu-isu kependudukan, serta (3) Saya Melakukan (I do) mulai melakukan langkah-langkah aksi nyata melalui perilaku hidup berwawasan kependudukan. (Mardiya, Idem)
Dengan digulirkannya program Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) ini diharapkan ada peningkatan kualitas peserta didik, khususnya pada bidang kependudukan, sehingga mereka siap menghadapi tantangan yang cukup berat dimasa yang akan datang. Apalagi selama ini sekolah dianggap satu-satunya agen perubahan (agent of change) secara formal di Indonesia. Hanya saja, sayangnya, kurikulum pendidikan kependudukan kurang kontekstual. Banyak contoh-contoh kependudukan yang terdapat pada buku pelajaran masih menggunakan fakta atau ilustrasi di luar negeri. Padahal, masalah kependudukan melekat pada kehidupan siswa di masyarakat. Nah, SSK coba hadir untuk mengisi celah kekurangan ini.

Kontekstual dan Kondisional
Dalam program SSK ini, impelentasi programnya berbeda-beda sesuai dengan konteks ataupuin kondisi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Untuk jalur pendidikan formal SMP dan SMA dapat ditempuh beberapa cara, diantaranya (1) pengintegrasian pendidikan kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga dalam kurikulum atau beberapa mata pelajaran dan atau muatan lokal khusus kependudukan, bisa juga melalui (2) pelbagai kegiatan skstrakurikuler siswa, selain juga ini didukung dengan (3) perpustakaan kependudukan atau disebut dengan Pojok Kependudukan.
Sedangkan di perguruan tinggi melalui pendekatan kegiatan (1) perkuliahan, integrasi mata kuliah terkait, dan kuliah umum, (2) kegiatan kemahasiswaan seperti KKN/PKL (tematik kependudukan), (3) perkumpulan unit kegiatan mahasiswa dengan membentuk Forum Peduli Kependudukan.
Khusus untuk ranah SMA, pelaksanaan SSK ini dimulai dengan integrasi pendidikan KKBPK ke dalam mata pelajaran yang relevan seperti Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kesehatan, dan Bimbingan Konseling. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendorong siswa untuk aktif mengobservasi, mencari data, mengolah data, dan menganalisis data kependudukan dengan melaksanakan kunjungan langsung ke lapangan atau ke kantor-kantor yang terkait dengan data kependudukan seperti BPS atau Dukcapil. Sekolah juga perlu memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan melakukan proses belajar mengajar bersama tenaga medis (bidan), sehingga permasalahan-permasalahan para siswi yang sering dirasakan sehari-hari (pubertas) dan kelak yang akan mereka hadapi (reproduksi) dapat langsung dikonsultasikan dengan tenaga medis yang kompeten. Kegiatan seperti ini harus dilanjutkan dengan optimalisasi bimbingan konseling bersama guru BK dan tenaga medis agar para siswa dapat berkonsultasi diluar jam pelajaran namun tetap berada di lingkungan sekolah. (Mardiya, Idem).
Program SSK ini, selain dilaksanakan dalam ruang kelas di sekolah juga dilaksanakan dengan cara kunjungan para siswa ke posyandu, wawancara dengan ibu hamil dan nifas. Pertanyaan-pertanyaan telah disusun sebelumnya mengarah pada peningkatan pengetahuan ibu hamil dan ibu nifas, namun yang terpenting diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan para siswa tentang kehamilan, kelahiran, dan nifas. Sehingga diharapkan kelak para siswa setelah dewasa dan berkeluarga mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.(Idem)
Untuk Pojok Kependudukan (Population Corner), di dalamnya terdapat tabel, grafik, piramida penduduk, poster, buku-buku, pamflet, brosur-brosur, film-film kependudukan, dan lain-lain sehingga siswa dapat memperoleh informasi mengenai berbagai masalah kependudukan bukan hanya pada proses belajar mengajar namun didapat pula dari pojok kependudukan.Pojok kependudukan  ini juga berfungsi menjadi pusat informasi dan konseling untuk masalah-masalah kependudukan maupun kesehatan reproduksi bagi remaja. Karena itu, di setiap sekolah yang sudah mengimplementasikan SSK harus terlebih dahulu berdiri Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). Untuk keperluan tersebut, Pojok Kependudukan mempersenjatai diri dengan aneka sumber daya informasi dan pendukung lainnya. Informasi itu dibagi ke dalam beberapa rumpun, seperti foto, peta, grafik, dan ornamen kependudukan lainnya. Informasi dalam bentuk foto tersebut antara lain mengenai kesehatan reproduksi remaja, kelahiran sehat, kematian akibat langsung dan tidak langsung, perkawinan dini, perkawinan dewasa, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas, daerah kumuh, korban tawuran, kemacetan lalulintas, dan lain-lain.

SMA 2 Wonosari sebagai Pilot Project
Untuk konteks Gunungkidul, satu-satunya sekolah yang memiliki SSK adalah SMA 2 Wonosari, yang pada 11 Oktober 2018 secara langsung dicanangkan oleh Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Drs Bambang Marsudi, MM (waktu itu beliau masih aktif, belum purna tugas). Dengan dicanangkannya SSK tersebut, maka SMA 2 Wonosari menjadi pilot project, karena menjadi sesatunya lembaga pendidikan yang berkomitmen kepada masalah-masalah kependudukan.
Pada kesempatan itu, Bambang Marsudi mengatakan bahwa dengan launching ini SMAN 2 Wonosari ini diharapkan agar para siswa dapat memupuk kesadaran dan bertanggung jawab atas dinamika kependudukan serta menghasilkan generasi mendatang pemegang steak holder yang kelak dapat mengatasi masalah kependudukan. SSK di SMA 2 Wonosari ini merupakan binaan dari BKKBN DIY. Selain SMAN 2 Wonosari sebagai SSK juga ada SMA yang lain di DIY yaitu SMA BOSA Yogya,  SMAN 1 Banguntapan Bantul, SMAN 1 Pengasih Kulonprogo dan SMAN 1 Ngaglik Sleman. Dikatakan juga oleh Bambang waktu itu, agar kiranya SSK di SMAN 2 Wonosari ini eksis dan dapat menjadi role model yang dapat ditiru sekolah-sekolah lain di Kabupaten Gunungkidul.
Dihubungi oleh redaksi Cahaya Keluarga, Kepala SMA 2 Wonosari, Sumardi, MPd mengatakan bahwa dalam praktiknya, SSK di lembaga yang dipimpinnya itu mengintergrasikan pendidikan Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) ke dalam beberapa mata pelajaran atau muatan lokal khusus materi tentang kependudukan. “Tetapi,” Pak Mardi (panggilan akrabnya), “perlu dipahami bahwa materi kependudukan itu terjabar ke dalam beberapa hal. Pertama terjabar dalam materi pelajaran sendiri. Implementasinya, untuk pelajaran-pelajaran yang kompentensi dasarnya terkait dengan isu KKBPK, maka akan dibuatkan RPP-nya, di mana nanti di dalamnya materi-materi KKBPK bisa dimasukan, meski tidak semuanya. Prinsipnya ada yang nyambung.”
“Kemudian yang kedua,” lanjut Sumardi, “di samping lewat pendidikan mata pelajaran, SSK ini juga dijalbarkan dalam bentuk Pojok Kependudukan. Pojok Kependudukan ini ibaratnya merupakan perpustakaan mini yang memuat materi-materi tentang kependudukan, yang datanya bukan saja dalam wujud buku, tetapi juga data-data dinding, infografis, dll. Saya bersyukur, di SMA 2 Wonosari sendiri kebetulan kualitas perpuastakaan kita cukup membanggakan. Kita belum lama ini mengikuti lomba perpustakaan dan menyabet juara tingkat provinsi DIY. Di SMA kami ada beberapa pojok, ada Pojok Kepolisiaan, Pojok Hukum, Pojok Kependudukan, dll. Untuk Pojok Kependudukan, yang dimuat adalah materi-materi tentang kependudukan, yang sebagai penanggungjawabnya adalah kelompok peduli kependudukan (KPK). Mereka bertanggung jawab memberi edukasi kepada teman-teman sekolahnya tentang materi-materi kependudukan, baik dalam bentuk brosur, buku-buku, serta sosialisasi ke kelas-kelas tentang materi itu.”



Diakui oleh Sumardi, awal-awal program SSK dicanangkan memang cukup memberatkan. “Banyak kendala yang kami hadapi,” katanya. “Yang pertama adalah dari segi pendidiknya. Mereka awalnya berpikir, merasa khawatir, jangan-jangan ini merupakan suatu mata pelajaran tersendiri. Sehingga dikira akan menambah beban kerja. Artinya, karena materi harus masuk ke dalam RPP, maka otomatis mereka harus merangkai pembelajaran yang lebih baik, yakni bagaimana agar materi bisa masuk di efektif diterima oleh anak-anak. Itu tidak bisa dipungkiri menjadi kekhawatiran awal.”
“Yang kedua,” lanjut Sumardi, “tantangan yang dihadapi adalah karena ini hal baru, berati seakan-akan masih dalam fase mencari-cari, apa tho sebenarnya SKK itu? Dalam rangka itulah, kami berkoordinasi dengan semua pihak di lingkungan sekolah, baik guru, siswa, juga pihak Komite Sekolah. Akhirnya disepakati kita mengadakan forum dengan menghadirkan narasumber-narasumber cukup kompeten dalam isu ini. Kita langsung hadirkan narsum dari Perwakilan BKKBN DIY kala itu. Alhamdulillah, dengan forum tersebut, semua jadi terang-benderang. Baik guru, siswa, KS, semua memahami pentingnya masalah ini. Ini masalah kita bersama, sehingga kita harus berkomitmen untuk peduli kepada isu-isu kependudukan, berkomitmen untuk menyiapkan generasi muda kita menjadi manusia yang peduli kependudukan, sehingga mereka benar-benar siap kelak untuk menyongsong bonus demografi 2020-2035 yang akan datang.” 
Mengakhiri wawancaranya, Pak Mardi menyarankan bahwa komitmen atau kepedulian suatu sekolah pada isu-isu atau masalah kependudukan sebenarnya tak harus mensyaratkan memiliki SSK terlebih dulu. Sebab, masalah kependudukan adalah masalah kita bersama, yang menjadi akar dari masalah-masalah yang lain. Jadi, kata Pak Mardi, untuk sementara bagi yang belum memiliki SSK, pihak sekolah bisa menginternalisasikan materi-materi wawasan kependudukan dalam pelajaran-pelajaran terkait, bisa materi tentang kespro remaja, tentang skill dan ketrampilan, tentang  kelahiran sehat, kematian akibat langsung dan tidak langsung, perkawinan dini, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas, kawasan kumuh, kemacetan lalu lintas, dll. “Untuk sekolah-sekolah yang sudah memiliki PIK-R, maka wadah ini menjadi cukup efektif untuk menyampaikan materi-materi seputar kespro remaja, tentang hidup sehat tanpa narkoba, atau menghindati pernikahan dini. Semua bisa dilaksanakan dengan mudah, sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan masing-masing. Saya berharap, ke depan SSK tidak hanya di SMA 2 Wonosari, tetapi juga akan merambah sekolah-sekolah lain di Gunungkidul,” pungkas Pak Mardi. Semoga. Amin.(*) [Sabrur Rohim, SAg, MSI, PKB Girisubo, dari pelbagai sumber]





0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine