Hasto Wardoyo: "Selain Manfaatkan Teknologi, PKB Harus Kuasai Softskill dalam Penyuluhan KKBPK!"


YOGYAKARTA - Hari ini,  Kamis (28/11) berlangsung even nasional yang diselenggarakan oleh Perwakilan BKKBN DIY, yakni "Seminar & Call for Paper on Population,  Family,  and Human Resources", dengan tema: "Industri 4.0 Menuju Society 5.0; Transformasi Pelatihan dan Pengembangan SDM Menuju Indonesia Emas 2045". 

Dalam seminar ini terdapat 3 sub tema, yaitu: (1) Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0; (2) Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0; (3) Kependudukan dan Keluarga di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0

Plt Kepala Perwakilan BKKBN DIY,  Rohdiana Sumariati,  SSos,  MSc, dalam sambutan penyelenggaraan mengatakan bahwa ada 4 tujuan dari penyelenggaraan acara ini, yakni: pertama,  meningkatkan wawasan peserta tentang revolusi Industri 4.0 dan society 5.0; kedua, memberikan masukan secara keilmuan baik bersifat kebijakan dalam pendidikan dan pelatihan, pengembangan SDM dan substansi teknis kependudukan dan keluarga; ketiga,  membentuk SDM yang siap untuk mendukung Indonesia dalam menuju Indonesia Emas 2045; serta keempat, meningkatkan kompetensi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.

Rohdhiana juga menyampaikan bahwa peserta acara seminar ini adalah 200 orang, yang terdiri dari Pengelola dan Penyelenggara Pelatihan, Akademisi, Peneliti, Widyaiswara, Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) dan umum dari dari lembaga Pelatihan dan Pengembangan serta Perguruan Tinggi Se-DIY dan Perwakilan BKKBN Se-Indonesia.

Pada saat pembukaan juga dilaksanakan launching “BIMA” yaitu perangkat pelatihan dan pengembangan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan inovasi dari Bidang Pelatihan dan Pengembangan Perwakilan BKKBN DIY. BIMA adalah kependekan dari: berkualitas,  inovatif, dan pelayanan prima. 

Narasumber kegiatan ini terdiri atas beberapa tokoh dan pakar.  Untuk materi kunci dengan topik, “Pelatihan dan Pengembangan Ketahanan Keluarga di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 Menuju Indonesia Emas 2045”, sebagai pembicara kuncinya Kepala BKKBN Republik Indonesia,  dr Hasto Wardoyo,  SpOG (K). 

Topik “Transformasi Pelatihan dan Pengembangan SDM  di Era Revolusi Industri  4.0 dan Society 5.0” disampaikan oleh Dr Muhammad Aswad, MSi, Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN RI). Selanjutnya, materi dengan topik, “Perubahan Perilaku Belajar di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0”, dengan narasumber Dr Sumaryono, MSi dari Fakultas Psikologi UGM. Terakhir,  materi dengan topik, “Kelas Virtual di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0” sebagai narasumbernya adalah Prof Herman Dwi Surjono, Drs, MSc, MT, PhD, dari Universitas Negeri Yogyakarta. 


Degradasi dan kesenjangan
Dalam sambutannya sebagai Kepala BKKBN sekaligus keynote speaker, dr Hasto Wardoyo menjelaskan bahwa peradaban manusia dibagi ke dalam beberapa fase revolusi industri.  "Fase pertama," kata Hasto, "adalah 1.0 yang masih berkisar pada kegiatan berburu dan meramu untuk melangsungkan hidup.  Fase 1.0 berakhir, masuk ke era 2.0, manusia mengenal teknik bercocok tanam, dunia pertanian dan perkebunan. Era itu sebagian masih berlangsung bagi sebagian orang. Tetapi bersamaan dengan itu manusia juga masuk ke fase 3.0 yang mengandalkan mesin dan teknologi." 

"Sekarang ini," lanjut Hasto, "kita memasukan era Industry 4.0, di mana dunia kita diisi dengan aneka aktivitas yang berbasis pada internet atau teknologi informasi (TI). Hanya saja,  kita sekarang menghadapi masalah krusial dengan era industry 4.0 ini. Ada kegelisahan di tengah-tengah kita karena nilai-nilai kehidupan semakin terdegradasi. Kecenderungan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak era 3.0, di mana mesin dan teknologi lebih mengorientasikan manusia kepada nilai yang bersifat bendawi, nilai material (value). Maka dari itulah, sekarang ada tuntutan atau desakan kembali kepada nilai-nilai kemanusian, nilai-nilai kebersamaan. Inilah era Society 5.0, suatu gerakan atau kesadaran bersama yang bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan yang abstrak (values),  seperti empati, kepedulian, solidaritas,  dsb." 

Kenapa kesadaran ini mengemuka? "Harapannya," kata Hasto, "dalam tatanan sosial ke depan,  hendaknya nilai kemanusiaan lebih dikedepankan, kesenjangan harus dihilangkan. Kita sudah lihat sendiri, bahwa teknologi informasi selama ini telah menciptakan kesenjangan antar sesama manusia. Ada kesenjangan di mana segelintir orang cepat kaya, sementara di sisi lain orang miskin juga makin banyak. Kita bisa lihat teknologi startup di era Industry 4.0 ini, yang memungkinan akumulasi modal hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Boleh kita katakan,  inilah bentuk kapitalis modern yang nyata. Dengan Society 5.0, kita mengarahkan agar bagaimana industry 4.0 berdampak pada kesejahteraan bagi lebih banyak orang,  bukan hanya segelintir orang. 
Kita harus berpikir ideologis, yakni bagaimana teknologi informasi memiliki daya ungkit untuk penataan keadilan bagi semua orang. Manusia sebagai pengendali, bukan teknologi."

Hasto dalam hal ini memberikan contoh kasus di Kulonprogo, kabupaten di mana beliau menjadi kepala daerahnya sebelum menjadi Kepala BKKBN.  "Kita amati,  dana yang ditransfer ke desa (ADD)  hanya sebanyak 72 milyar, tetapi pengeluaran pulsa warga sebanyak 76 milyar. Maka kami melakukan aneka macam inovasi teknologi. Dan alhamdulillah, dengan inovasi-inovasi tadi,  kita bisa memanfaatkan teknologi dan industri untuk kesejahteraan masyarakat Kulonprogo." 


Hardskill dan Softskill
Mantan Bupati Kulonprogo itu juga mengungkapkan keprihatinannya bahwa di perguruan tinggi dan kampus sekarang pembelajarannya lebih mengutamakan hardskill, ketrampilan kasar,  bukan soft skill, ketrampilan halus, lembut. Ilmu dan ketrampilan kasar (hardskill) lebih diutamakan ketimbang empati dan etika (softskill). Radionya berbanding 90:10. "Ini sangat memprihatinkan, karena akan menghasilkan pakar atau ahli yang mumpuni dalam pelbagai bidang, tetapi moralitasnya rendah. Padahal, dalam memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat,  kemampuan softskill seperti rasa empati,  simpati, sangat dibutuhkan," tegas Hasto. 

Hasto juga mengajak, bahwa keberadaan Industry 4.0 harusnya lebih bisa dimanfaatkan untuk promosi dan KIE program KKBPK. Ini merupakan keharusan yang tak bisa ditawar lagi, karena kita hidup di era TI. Sebagai misal,  kata Hasto, kita bisa melibatkan para pegiat medsos, sebagai sarana "transfer of knowledge" tentang program KKBPK. Harus diakui bahwa para pegiat medsos ini lebih efektif dan mudah diterima ketimbang kita yang di instansi formal. "Kita bisa melihat secara riil berapa banyak pengunjung laman BKKBN, coba bandingkan dengan laman para pegiat medsos, perbandingannya jauh 

Hanya saja, ujar Hasto,  ada juga beberapa hal yang tetap harus harus dilakukan secara face to face,  dari rumah ke rumah, secara offline. Dalam hal ini para PKB harus membekali diri dengan kemampuan softskill, karena merekalah yang berada di baris terdepan memberikan KIE kepada masyarakat.  Maka mereka harus menguasai teknik "people to people contact", kata Hasto. 

"Maka dari itu, terkait dengan kegiatan hari ini," kata Hasto, "saya berpesan agar dalam training atau pelatihan bagi ASN,  bagi PKB khususnya,  harus masih ada sentuhan-sentuhan softskill, seperti moralitas, integritas, nasionalisme, karena akan menentukan kesuksesan dalam penyuluhan dan pelayanan KB. Sebab,  ketika partisipasi masyarakat makin bagus sebagai dampak dari akses informasi yang cepat, tetapi tidak diimbangi dengan pelayanan di dunia nyata yang baik, etika, misalnya, maka akan sia-sia, masyarakat akan kecewa."(*) [Sabrur Rohim, SAg,  MSI,  pimred Cahaya Keluarga dan PKB Girisubo] 
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine