Oleh: Famelya Sayekti, SPd (PKB Kap. Nglipar)
YOGYAKARTA | Gedung Ki Sarino Fakultas Ekonomi, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, pagi itu, Selasa (09/12), terasa istimewa. Aula yang biasanya menjadi ruang akademik berubah menjadi panggung apresiasi, refleksi, dan harapan. Pada hari itulah, Wisuda Kerabat Angkatan II Tahun 2025 digelar—sebuah penanda penting perjalanan Kelas Orangtua Hebat yang digagas Perwakilan BKKBN DIY sebagai ikhtiar membangun kualitas pengasuhan anak sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Di ruang yang sarat sejarah pendidikan ini—yang mewarisi nilai luhur Ki Hadjar Dewantara—puluhan wisudawan dan wisudawati duduk rapi mengenakan selempang. Mereka bukan mahasiswa biasa. Mereka adalah kader Bina Keluarga Balita (BKB), pengasuh TPA/Tamasya, dan para ayah hebat dari lima kabupaten/kota di DIY. Mereka datang membawa satu kesamaan: komitmen untuk belajar, berubah, dan menjadi bagian dari gerakan besar pengasuhan yang lebih baik.
Tema besar kegiatan ini pun dirumuskan dengan penuh makna:
Pemilihan UST sebagai lokasi wisuda bukanlah kebetulan. Kampus ini merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia yang meneruskan nilai-nilai pendidikan Ki Hadjar Dewantara—bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses menuntun tumbuhnya manusia seutuhnya.
Nilai itu sejalan dengan semangat Kerabat (Kelas Orangtua Hebat): mendidik bukan hanya anak, tetapi juga orangtuanya; membangun bukan hanya kecerdasan kognitif, tetapi juga karakter, emosi, dan kesehatan mental sejak dini.
Suasana aula perlahan hening ketika acara dibuka. Para tamu undangan hadir lengkap:
1. GKBRAA Paku Alam IX, istri Wakil Gubernur DIY,
2. Kepala Perwakilan BKKBN DIY, M. Iqbal Apriyansyah, SH, MPH,
3. Lintas sektor, kepala OPD terkait tingkat DIY
4. Jajaran Tim Kerja KSPK BKKBN DIY,
5. Perwakilan OPD KB dari lima kabupaten/kota,
6. Koordinator PKB,
Hari itu bukan sekadar wisuda. Ia adalah perayaan ikhtiar bersama.
Dalam sambutan pembuka, Dr Mustikaningtyas, MPH, Ketua Tim Kerja KSPK BKKBN DIY—yang akrab disapa Ika—menyampaikan rasa syukur dan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat. Dengan suara hangat namun tegas, ia menegaskan bahwa Wisuda Kerabat Angkatan II memiliki makna istimewa.
“Ini adalah wisuda Kerabat yang kedua di DIY,” ujarnya, “dan hingga saat ini, DIY menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan wisuda Kerabat. Bahkan di tingkat pusat belum ada.”
Kerabat sendiri merupakan inovasi Perwakilan BKKBN DIY yang dilaksanakan rutin setiap tahun melalui 10 kali pertemuan daring (Zoom Meeting). Materinya dirancang khusus untuk menjawab persoalan nyata di lapangan: masih banyak orangtua yang belum memiliki bekal pengetahuan memadai tentang pengasuhan, terutama pada masa 1000 HPK, masa emas yang menentukan kualitas hidup anak di masa depan.
Wisuda ini, lanjut Ika, adalah bentuk apresiasi dan penghargaan bagi peserta yang telah menunjukkan komitmen luar biasa: mengikuti minimal delapan sesi, aktif berdiskusi, mengerjakan pretest dan posttest dengan nilai minimal 70, serta menyelesaikan seluruh tahapan pembelajaran dengan baik.
Tak lupa, ia menyampaikan terima kasih kepada Fakultas Ekonomi UST yang telah memfasilitasi kegiatan, termasuk dukungan 52 mahasiswa yang terlibat langsung sebagai panitia. Sebuah contoh nyata kolaborasi antara dunia akademik dan program pembangunan keluarga.
Akademisi dan BKKBN: Sinergi untuk Pengasuhan Berkualitas
Sambutan selamat datang disampaikan oleh Dekan Fakultas Psikologi UST, Drs Titik Muti’ah, MA, PhD. Dengan penuh kebanggaan, ia menyatakan bahwa UST merasa terhormat menjadi tuan rumah Wisuda Kerabat.
Ia berharap ke depan, kerja sama antara UST dan Perwakilan BKKBN DIY semakin luas, tidak hanya dalam konteks kegiatan seremonial, tetapi juga riset, pengabdian masyarakat, dan peningkatan kapasitas mahasiswa dalam isu-isu keluarga dan pengasuhan.
Menjelang akhir sambutannya, suasana menjadi lebih cair ketika ia mengajak seluruh hadirin menggemakan salam khas BKKBN: “Salam Berencana itu keren!”, disusul dengan “Salam GenRe!”
Dalam sambutan pembukaan, M Iqbal Apriyansyah menegaskan kembali pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan sebagai fondasi kualitas manusia sepanjang daur hidupnya. Ia menekankan bahwa pengasuhan bukan semata urusan ibu, tetapi gerakan bersama ayah dan ibu.
Karena itu, dalam wisuda kali ini, turut dihadirkan lima orang ayah peserta Kerabat dari lima kabupaten/kota. Kehadiran mereka bukan simbolis, melainkan pesan kuat bahwa peran ayah sangat menentukan.
Iqbal mengaitkan hal ini dengan kebijakan nasional, termasuk edaran Menteri Kemendukbangga tentang gerakan ayah mengantar anak di hari pertama sekolah dan gerakan ayah mengambil rapor. Momen-momen sederhana itu, menurutnya, akan terekam kuat dalam ingatan anak dan membentuk karakter mereka kelak.
Ia juga menyampaikan data yang membanggakan, bahwa sepanjang 2025, Kerabat telah diikuti oleh 7.917 peserta, baik dari DIY maupun luar DIY, melalui Zoom dan YouTube. Pesertanya pun beragam—kader BKB, pengasuh TPA/Tamasya, ayah, kader TPK, calon pengantin, hingga mahasiswa.
“Setelah wisuda ini,” ujar Iqbal, “kita akan lanjut ke sesi ke-11 Kerabat dengan tema yang sama: Ayah Terlibat, Kader Bergerak, Pengasuh Berdaya, Anak Berkembang Lebih Optimal.”
Iqbal kemudian mengucapkan basmalah sebagai tanda dimulainya even istimewa pagi itu, sembari berharap para wisudawan dan wisudawati menjadi agent of change di lingkungan masing-masing—menularkan pengetahuan, nilai, dan praktik pengasuhan positif kepada keluarga dan masyarakat.
Momen paling reflektif datang saat GKBRAA Paku Alam IX menyampaikan keynote speech. Dengan tutur kata lembut namun penuh makna, beliau mengingatkan bahwa keluarga adalah unit terkecil sekaligus paling menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Anak-anak adalah titipan yang sangat berharga,” tutur beliau. “Di balik mata mereka yang berbinar, tersimpan masa depan bangsa.”
Beliau menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak—baik fisik maupun emosional—meninggalkan jejak mendalam pada sistem saraf dan kesehatan mental anak. Sebaliknya, cinta, kehadiran, dan pengasuhan positif memiliki daya pulih yang luar biasa.
Dalam konteks 1000 HPK, peran kader BKB, pengasuh TPA, dan ayah menjadi sangat strategis. Ketiganya membentuk ekosistem pengasuhan yang kokoh, memastikan anak tumbuh dalam lingkungan aman, penuh kasih, dan stimulatif.
“Ini bukan sekadar program,” tegas beliau, “tetapi gerakan cinta dari Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.”
Prosesi wisuda berlangsung khidmat. Dewan Prosesi, yang terdiri dari GKBRAA Paku Alam IX dan Kepala Perwakilan BKKBN DIY, mengambil tempat di panggung. Satu per satu, wisudawan dan wisudawati dipanggil: menerima sertifikat, selempang, dan plakat—simbol penghargaan atas proses belajar yang telah mereka jalani.
Tepuk tangan mengalir, bukan sekadar untuk prestasi, tetapi untuk dedikasi.
Perwakilan wisudawan, Sufyan Purwoko dari Kabupaten Bantul, menyampaikan pesan dan kesan. Dengan suara bergetar, ia mengungkapkan bahwa Kerabat telah membuka perspektif baru tentang peran ayah dalam pengasuhan. Belajar menjadi orangtua, katanya, ternyata sama pentingnya dengan mendidik anak.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi ke-11 Kerabat, menghadirkan tiga narasumber kompeten:
1. Drs. Titik Muti’ah, MA, PhD, dengan materi Strategi Terintegrasi Berbasis Growth Mindset & Psikologi Positif menuju Kesejahteraan Keluarga “Tri Rayahu”;
2. Sylvi Dewajani, M.Psi., Psikolog, Ketua KPAID Kota Yogyakarta, membahas "Peran Orangtua dalam Mencegah Kekerasan dan Menjaga Kesehatan Mental Anak";
3. dr. Ika Endah Lestariningsih, SpKJ, MKes, yang menekankan, "Pentingnya Pengasuhan Berbasis Cinta untuk Menguatkan Sistem Saraf Anak."
Diskusi berlangsung hidup. Pertanyaan mengalir, mencerminkan kehausan belajar para peserta.
Ketika sesi foto bersama digelar, senyum para wisudawan tampak tulus. Di balik senyum itu, ada kesadaran baru: bahwa menjadi orangtua hebat adalah proses belajar seumur hidup.
“Selama ini kami mendampingi keluarga dengan bekal pengalaman lapangan. Melalui Kerabat, kami mendapatkan landasan pengetahuan yang lebih utuh—mengapa pengasuhan di 1000 HPK begitu menentukan, dan bagaimana peran kader tidak hanya memberi informasi, tetapi juga menjadi pendengar dan penguat bagi orangtua,” tuturnya.
Materi yang disampaikan para narasumber membuka wawasan bahwa pengasuhan bukan semata urusan ibu, melainkan kerja bersama antara ayah, keluarga, dan lingkungan sekitar. Bagi kader BKB, pemahaman ini menjadi bekal penting dalam menjalankan perannya di tengah masyarakat.
Ia berharap, ilmu dan pengalaman dari Kerabat tidak berhenti pada seremoni wisuda, tetapi terus hidup dalam praktik pendampingan sehari-hari. “Kami ingin menjadi kader yang lebih peka, lebih sabar, dan lebih mampu membantu keluarga menciptakan lingkungan pengasuhan yang aman, penuh kasih, dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal,” pungkasnya.
Sementara itu, Umi Rofidoh, seorang pengasuh TPA Assakinah Kedungpoh, Nglipar, dalam kesannya mengatakan, bahwa bagi seorang pengasuh Taman Penitipan Anak (TPA), Kelas Orangtua Hebat (Kerabat) menjadi ruang belajar yang memperkaya praktik pengasuhan sehari-hari. Ia mengaku, melalui Kerabat, pemahamannya tentang pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan semakin menguat, terutama dalam membangun interaksi yang aman, hangat, dan stimulatif bagi anak.Wisuda Kerabat Angkatan II 2025 bukanlah akhir. Ia adalah titik awal dari gerakan yang lebih luas—gerakan pengasuhan berbasis cinta, ilmu, dan kolaborasi. Dari DIY, pesan itu dikirimkan ke masa depan, bahwa anak-anak Indonesia layak tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia—sejak 1000 hari pertama kehidupannya.(*)
0 Comments