NGLIPAR | Pagi itu, Jumat (19/9), halaman MTs Negeri 7 Gunungkidul yang terletak di Kalurahan Natah, Kapanewon Nglipar, tampak lebih ramai dari biasanya. Udara pagi masih sejuk, angin bertiup lembut di antara pepohonan yang tumbuh di sekitar madrasah. Dari kejauhan, terdengar suara riuh sebagian siswa MTs yang tengah mengadakan kegiatan latihan untuk upacara bendera di Senin pagi esoknya (22/9), serta sebagian yang lain latihan persiapan dalam rangka lomba madrasah di tingkat provinsi.
Tetapi yang jelas, hari itu ada suasana berbeda: madrasah menjadi tuan rumah sebuah kegiatan penting yang digelar Balai Penyuluhan KB Kapanewon Nglipar bekerja sama dengan pihak madrasah. Kegiatan itu adalah Sosialisasi dan Edukasi GATI (Gerakan Ayah Teladan Indonesia), sebuah program nasional yang digagas oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN, bahkan menjadi satu di antara Quick Wins di kementerian tsb.
Fenomena Fatherless dan Tantangan Pengasuhan
Di balik semarak suasana pagi itu, tersimpan sebuah keprihatinan mendalam yang menjadi alasan utama kegiatan ini diselenggarakan. Nglipar, salah satu kapanewon di Gunungkidul, menyimpan cerita klasik tentang fenomena fatherless. Tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang harus tumbuh tanpa kehadiran penuh seorang ayah. Ada yang memang ayahnya bekerja jauh merantau, ada pula yang meski tinggal serumah, tetapi nyaris tidak terlibat dalam kehidupan sehari-hari anak-anaknya. Kondisi lain yang cukup banyak ditemui adalah anak-anak yang dibesarkan oleh kakek-nenek, sementara ayahnya sibuk, misalnya karena satu dan lain hal harus bekerja di luar kota (sehingga jauh dari keluarga).
Fenomena ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan realitas yang berdampak langsung pada perkembangan remaja. Dalam beberapa penelitian, ketidakhadiran ayah atau kurangnya figur ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak berkorelasi dengan meningkatnya kasus kenakalan remaja, baik di masyarakat ataupun di lingkungan sekolah. Di banyak kapanewon di Gunungkidul, dan bisa jadi sebagian kecilnya di Nglipar, terkonfirmasi bahwa kasus bullying, kejahatan jalanan, seks pranikah, hingga kasus putus sekolah diduga memiliki keterkaitan dengan pola pengasuhan yang timpang.
Inilah yang kemudian mendorong hadirnya program GATI—sebuah gerakan yang bertujuan menghadirkan kembali sosok ayah di tengah-tengah keluarga, bukan sekadar secara fisik, tetapi juga secara emosional, psikologis, dan spiritual. Sosialisasi di MTs Negeri 7 Gunungkidul menjadi salah satu langkah awal untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai GATI, khususnya melalui pendekatan edukasi kepada orang tua murid.
Di balik semarak suasana pagi itu, tersimpan sebuah keprihatinan mendalam yang menjadi alasan utama kegiatan ini diselenggarakan. Nglipar, salah satu kapanewon di Gunungkidul, menyimpan cerita klasik tentang fenomena fatherless. Tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang harus tumbuh tanpa kehadiran penuh seorang ayah. Ada yang memang ayahnya bekerja jauh merantau, ada pula yang meski tinggal serumah, tetapi nyaris tidak terlibat dalam kehidupan sehari-hari anak-anaknya. Kondisi lain yang cukup banyak ditemui adalah anak-anak yang dibesarkan oleh kakek-nenek, sementara ayahnya sibuk, misalnya karena satu dan lain hal harus bekerja di luar kota (sehingga jauh dari keluarga).
Fenomena ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan realitas yang berdampak langsung pada perkembangan remaja. Dalam beberapa penelitian, ketidakhadiran ayah atau kurangnya figur ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak berkorelasi dengan meningkatnya kasus kenakalan remaja, baik di masyarakat ataupun di lingkungan sekolah. Di banyak kapanewon di Gunungkidul, dan bisa jadi sebagian kecilnya di Nglipar, terkonfirmasi bahwa kasus bullying, kejahatan jalanan, seks pranikah, hingga kasus putus sekolah diduga memiliki keterkaitan dengan pola pengasuhan yang timpang.
Inilah yang kemudian mendorong hadirnya program GATI—sebuah gerakan yang bertujuan menghadirkan kembali sosok ayah di tengah-tengah keluarga, bukan sekadar secara fisik, tetapi juga secara emosional, psikologis, dan spiritual. Sosialisasi di MTs Negeri 7 Gunungkidul menjadi salah satu langkah awal untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai GATI, khususnya melalui pendekatan edukasi kepada orang tua murid.
Menghadirkan Ayah sebagai Teladan
Kegiatan sosialisasi dan edukasi GATI di MTs Negeri 7 Gunungkidul memiliki beberapa tujuan yang dirumuskan dengan jelas. Dalam sambutan yang disampaikan di hadapan para ayah kelas 7 MTsN 7 itu, Koordinator PKB, Sabrur Rohim, SAg, memaparkan tujuan kegiatan GATI. Pertama, memberikan edukasi tentang konsep GATI melalui kegiatan “Sekolah Bersama Ayah” atau disingkat Sebaya. Melalui Sebaya, diharapkan para ayah tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga terlibat dalam proses pengasuhan, menjadi teladan, sekaligus sahabat bagi anak-anak mereka.
Tujuan kedua adalah memberikan pengetahuan, wawasan, serta tips praktis tentang bagaimana seorang ayah dapat berperan efektif dalam pengasuhan anak. Hal ini penting karena tidak semua orang tua, terutama ayah, memiliki bekal atau pemahaman yang cukup dalam mendidik anak di era digital yang penuh tantangan.
Tujuan ketiga adalah membangun sinergi kelembagaan antara Balai Penyuluhan KB Kapanewon Nglipar dan MTs Negeri 7 Gunungkidul. Sinergi ini diwujudkan secara nyata melalui penandatanganan MoU oleh Koordinator Balai Penyuluhan KB dengan Kepala Madrasah. MoU ini menjadi simbol komitmen bersama untuk terus mengawal pendidikan keluarga, khususnya peran ayah, agar semakin diperkuat.
Kegiatan sosialisasi dan edukasi GATI di MTs Negeri 7 Gunungkidul memiliki beberapa tujuan yang dirumuskan dengan jelas. Dalam sambutan yang disampaikan di hadapan para ayah kelas 7 MTsN 7 itu, Koordinator PKB, Sabrur Rohim, SAg, memaparkan tujuan kegiatan GATI. Pertama, memberikan edukasi tentang konsep GATI melalui kegiatan “Sekolah Bersama Ayah” atau disingkat Sebaya. Melalui Sebaya, diharapkan para ayah tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga terlibat dalam proses pengasuhan, menjadi teladan, sekaligus sahabat bagi anak-anak mereka.
Tujuan kedua adalah memberikan pengetahuan, wawasan, serta tips praktis tentang bagaimana seorang ayah dapat berperan efektif dalam pengasuhan anak. Hal ini penting karena tidak semua orang tua, terutama ayah, memiliki bekal atau pemahaman yang cukup dalam mendidik anak di era digital yang penuh tantangan.
Tujuan ketiga adalah membangun sinergi kelembagaan antara Balai Penyuluhan KB Kapanewon Nglipar dan MTs Negeri 7 Gunungkidul. Sinergi ini diwujudkan secara nyata melalui penandatanganan MoU oleh Koordinator Balai Penyuluhan KB dengan Kepala Madrasah. MoU ini menjadi simbol komitmen bersama untuk terus mengawal pendidikan keluarga, khususnya peran ayah, agar semakin diperkuat.
Dari Sambutan hingga Sharing Orangtua
Acara dimulai pukul 07.30 WIB di aula madrasah. Ruangan sudah tertata rapi dengan kursi-kursi yang disusun berjajar. Di depan, persisnya di podium, tampak Kepala MTs N 7, PKB, dan narsum, sementara 39 orangtua siswa kelas 7 duduk di bangku dan kursi yag sudah disediakan. Wajah mereka terlihat antusias, sebagian besar adalah ayah, namun ada juga beberapa ibu yang hadir mendampingi.
Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Kepala MTs Negeri 7 Gunungkidul, Dedy Mustajab, SPdI, MA. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi mendalam atas terselenggaranya kegiatan ini. “Kami sangat bangga menjadi tuan rumah kegiatan sosialisasi GATI ini. Madrasah bukan hanya tempat belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat membangun karakter dan keluarga yang kuat. Kehadiran para ayah di sini menjadi bukti komitmen bahwa kita semua peduli pada masa depan anak-anak kita. Kami keluarga besar MTs Negeri 7 Gunungkidul juga sangat berbangga karena menjadi sekolah pertama di Nglipar, dan MTs pertama di Kabupaten Gunungkidul yang menyelenggarakan forum GATI, bekerjasama dengan Balai Penyuluhan Keluarga Berencana,” kata Dedy, sembari berharap bahwa ini kemudian akan menjadi trigger bagi sekolah-sekolah lain untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pengantar dari Koordinator PKB Nglipar, Sabrur Rohim, SAg, MSI, yang menjelaskan latar belakang diselenggarakannya kegiatan ini. Ia menekankan bahwa masalah fatherless tidak bisa dianggap sepele, karena akan berdampak panjang pada kualitas generasi muda. Sabrur berharap, bahwa setelah mengikuti kegiatan hari ini, para ayah dari kelas 7 di MTs N 7 Gunungkidul bisa lebih aktif berperan mendampingi istri dalam pengasuhan anak mereka yang tercinta. Sabrur juga sangat berterimakasih atas kerjasama dan fasilitasi dari jajaran MTs N 7 Gunungkidul yang diprakarsai oleh Kamad Dedy Mustadjab, SPdI, MA.
Sebelum sesi materi utama dilaksanakan, terlebih dulu diadakan penandatanganan MoU antara Koordinator Balai Penyuluhan KB Kapanewon Nglipar dan Kepala MTs Negeri 7 Gunungkidul. Momen ini menjadi simbol komitmen bersama untuk menjadikan Sebaya (Sekolah Bersama Ayah), juga program-program lainnya dari BPKB Nglipar di MTs N 7 Nglipar, bukan sekadar program, melainkan gerakan nyata yang terintegrasi dalam pendidikan keluarga dan sekolah.
Sesi utama kemudian diisi oleh Ibu Asar Janjang Lestari, SPsi, MAP, penyuluh KB Kapanewon Semanu yang juga menjadi narasumber utama. Dengan gaya penyampaian yang hangat dan komunikatif, beliau menekankan pentingnya komunikasi yang efektif antara orang tua, khususnya ayah, dengan anak-anak. “Seorang ayah tidak harus sempurna, tetapi kehadirannya sangat berarti. Bahkan hanya sekadar mendengarkan cerita anak sepulang sekolah, memberikan mereka pelukan hangat, bisa menjadi bentuk kasih sayang yang mendalam,” tuturnya.
Materi yang disampaikan tidak kaku. Eksplorasi materi yang disampaikan sangat luas dan menarik, sehingga tidak membuat para ayah ngantuk. Sesekali, Ibu Asar mengajak peserta untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman. Beberapa orang tua pun angkat bicara, menceritakan bagaimana mereka berusaha menyeimbangkan pekerjaan dengan peran sebagai ayah.
Materi yang disampaikan tidak kaku. Eksplorasi materi yang disampaikan sangat luas dan menarik, sehingga tidak membuat para ayah ngantuk. Sesekali, Ibu Asar mengajak peserta untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman. Beberapa orang tua pun angkat bicara, menceritakan bagaimana mereka berusaha menyeimbangkan pekerjaan dengan peran sebagai ayah.
Ada pula yang berbagi tips atau semacam pengalaman dalam menghadapi anak-anak. Seorang ayah bernama Tardi, dari Padukuhan Natah Kulon, Natah, menceritakan bahwa jika marah kepada anak-anak, ia diam, tidak pernah diwujudkan dengan kata-kata apalagi main tangan. Ini menjadi tips yang layak ditiru, karena, kata Asar, "Komunikasi memang bukan hanya verbal, tetapi juga non-verbal". Dengan adanya sesi sharing tsb, suasana menjadi hangat, penuh empati dan apresiasi, karena setiap cerita membawa cermin kehidupan nyata.
Di sela-sela materi, Asar memberikan beberapa tips praktis yang sederhana namun efektif: meluangkan waktu setiap hari untuk berbincang dengan anak --dengan memandang wajah mereka secara langsung (bukan sambil pegang gadget), memberikan apresiasi kecil atas usaha mereka, serta menghindari komunikasi yang hanya berupa perintah atau larangan --melainkan melalui keteladanan. “Kita juga harus menerima anak apa adanya, tanpa syarat, serta tidak membanding-bandingkannya dengan anak lain, apalagi dengan kakak atau adiknya,” pesan Asar, yang pagi itu datang didampingi oleh sang suami, Kukuh Budi Prasetyo, SPsi, PKB Kapanewon Rongkop.
Di sela-sela materi, Asar memberikan beberapa tips praktis yang sederhana namun efektif: meluangkan waktu setiap hari untuk berbincang dengan anak --dengan memandang wajah mereka secara langsung (bukan sambil pegang gadget), memberikan apresiasi kecil atas usaha mereka, serta menghindari komunikasi yang hanya berupa perintah atau larangan --melainkan melalui keteladanan. “Kita juga harus menerima anak apa adanya, tanpa syarat, serta tidak membanding-bandingkannya dengan anak lain, apalagi dengan kakak atau adiknya,” pesan Asar, yang pagi itu datang didampingi oleh sang suami, Kukuh Budi Prasetyo, SPsi, PKB Kapanewon Rongkop.
Respons Peserta
Kegiatan ini memberikan hasil yang sangat positif. Para peserta, khususnya para ayah, merasa mendapatkan banyak pencerahan dan motivasi baru. Seorang bapak yang mewakili peserta membeirkan tanggapan, bahwa kini mereka menyadari pentingnya kehadiran seorang ayah dalam keluarga; bahwa kehadiran mereka bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga tentang membangun komunikasi, memberikan teladan, dan hadir secara emosional bagi anak-anak.
Respon serupa juga datang dari para ibu yang hadir. Mereka merasa kegiatan ini bisa membuka mata para suami tentang pentingnya berbagi peran dalam mengasuh anak. Salah seorang ibu, Tatik Suprapti (dari Padukuhan Natah Wetan) bahkan berujar, “Biasanya kalau di rumah anak-anak lebih dekat ke saya. Tapi kalau suami mulai mau mendengarkan cerita mereka, saya yakin hubungan keluarga kami akan lebih harmonis.”
Komitmen itu juga ditunjukkan dengan kesiapan orang tua untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka dapatkan di rumah. Banyak yang berjanji akan mempraktikkan komunikasi efektif, meluangkan waktu berkualitas, serta berusaha menjadi teladan nyata bagi anak-anak.
Kegiatan Sosialisasi dan Edukasi GATI di MTs Negeri 7 Gunungkidul bukan hanya sebuah acara seremonial, melainkan sebuah langkah nyata dalam menghadapi tantangan zaman. Di tengah fenomena fatherless yang semakin nyata, program ini menjadi oase yang menyejukkan: mengingatkan kembali bahwa ayah adalah pilar penting dalam keluarga.
Harapannya, kegiatan serupa dapat diperluas ke sekolah-sekolah lain di Gunungkidul, sehingga semakin banyak ayah yang tersadar akan peran strategisnya. Dengan keterlibatan ayah yang lebih kuat, diharapkan masalah remaja seperti bullying, kenakalan, nikah dini, hingga putus sekolah bisa diminimalisir.
Demikianlah, dari aula sederhana MTs Negeri 7 Gunungkidul, gerakan itu mulai bergulir, menyebar dari satu keluarga ke keluarga lain, menyulam harapan baru bagi anak-anak remaja di Kapanewon Nglipar untuk bertumbuh dan berprestasi dalam kehangatan pelukan penuh kasih orangtua, terutama ayah.(*)
0 Comments