WONOSARI | Rabu pagi (24/9), suasana Hotel Cyka Raya Wonosari berbeda dari biasanya. Ruang pertemuan lantai utama penuh dengan wajah-wajah serius namun tetap berseri, memancarkan semangat kebersamaan. Kursi-kursi berderet rapi, meja-meja sudah ditata sedemikian rupa. Mikrofon di podium depan sudah siap, berdiri tegak menanti suara-suara penting dari peserta yang hadir di pagi itu.
Sejak pukul 08.00 WIB, para pejabat struktural dan fungsional dari 18 kapanewon se-Kabupaten Gunungkidul mulai berdatangan. Seragam dinas bewarna putih (resmi di hari Rabu) tampak mengkilap menyiratkan semangat dan ketulusan melayani. Beberapa kepala OPD tingkat kabupaten hadir dengan timnya, sementara para Panewu Anom, koordinator penyuluh KB, Kepala UPT Puskesmas (dari 18 kapanewon) hadir dengan membawa banyak dokumen data dan catatan lapangan. Semua tampak siap menyimak dan memberi kontribusi.
Ketika Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, SE, MM, memasuki ruangan, hadirin serentak berdiri. Kehadiran beliau memberi energi tersendiri. Satu per satu peserta rapat menyalami dengan penuh takzim. Begitu duduk di kursi depan, suasana makin khidmat.
Acara dimulai dengan doa singkat, dilanjutkan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Mars KB. Alunan lagu menggema, membuat seluruh peserta seakan diingatkan kembali pada panggilan tugas negara: menjaga generasi penerus tetap sehat dan cerdas.
Angka yang Masih Tinggi
Agenda rapat koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tingkat Kabupaten Gunungkidul ini bukan sekadar acara rutin tiap semester. Ada urgensi yang kuat di balik penyelenggaraannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa data terakhir menunjukkan masih cukup tingginya prevalensi stunting di Gunungkidul, yakni berada di angka 19,7%. Angka ini, meski mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, masih cukup memprihatinkan. Apalagi jika dibandingkan dengan target nasional yang maksimal 19%.
Bagi Kabupaten Gunungkidul, angka itu bukan sekadar statistik. Di balik persentase tsb ada ribuan anak dengan risiko pertumbuhan terganggu yang membutuhkan treatmen dan intervensi yang sungguh-sungguh di usia emasnya (terutama 1000 HPK); jika kita abaikan persentase ini dan tidak serius dalam menanggulangsinya, sungguh akan banyak generasi kita yang bisa kehilangan kesempatan berkembang optimal.
Inilah yang melatarbelakangi rapat penting tersebut: evaluasi capaian kinerja tim TPPS di tingkat kabupaten, untuk mencermati dan memetakan apa yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan, dan menyatukan komitmen demi mempercepat penurunan stunting di Kabupaten Gunungkidul agar jangan sampai di papan bawah di wilayah Provinsi DIY.
Agenda rapat koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tingkat Kabupaten Gunungkidul ini bukan sekadar acara rutin tiap semester. Ada urgensi yang kuat di balik penyelenggaraannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa data terakhir menunjukkan masih cukup tingginya prevalensi stunting di Gunungkidul, yakni berada di angka 19,7%. Angka ini, meski mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, masih cukup memprihatinkan. Apalagi jika dibandingkan dengan target nasional yang maksimal 19%.
Bagi Kabupaten Gunungkidul, angka itu bukan sekadar statistik. Di balik persentase tsb ada ribuan anak dengan risiko pertumbuhan terganggu yang membutuhkan treatmen dan intervensi yang sungguh-sungguh di usia emasnya (terutama 1000 HPK); jika kita abaikan persentase ini dan tidak serius dalam menanggulangsinya, sungguh akan banyak generasi kita yang bisa kehilangan kesempatan berkembang optimal.
Inilah yang melatarbelakangi rapat penting tersebut: evaluasi capaian kinerja tim TPPS di tingkat kabupaten, untuk mencermati dan memetakan apa yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan, dan menyatukan komitmen demi mempercepat penurunan stunting di Kabupaten Gunungkidul agar jangan sampai di papan bawah di wilayah Provinsi DIY.
Pesan Bung Karno yang Relevan
Mewakili Bupati Gunungkidul, Endah Kuntariningsih, SE, Wabup Joko Parwoto, SE, MM membacakan sambutan resmi sembari diselingi statemen-statemen eksploratif yang urgens. Dalam sambutan tsb, Bupati pada intinya menekankan pentingnya kerja sama, sinergi, dan kolaborasi lintas sektor dalam pencegahan dan percepatan penurunan angka stunting di Gunungkidul, karena hanya dengan kerjasama dan sinergi maka kerja kita semua akan berdampak bagi kesehajteraan masyarakat Gunungkidul. Lebih dari itu, pencegahan dan penurunan stunting itu sendiri memang bukan domain satu atau dua OPD saja, melainkan semua OPD harus bekerjasama untuk menangani persoalan stunting ini, demikian ditekankan Bupati Endah.
Dalam sambutannya tsb, Bupati Endah mengutip kalimat legendaris dari Bung Karno:
“Perjuangan dulu lebih mudah karena melawan bangsa asing. Perjuangan hari ini lebih berat karena melawan bangsa sendiri—yakni ancaman perpecahan.”
Kutipan itu terasa menohok. Di konteks penanganan stunting, perpecahan yang dimaksud bukanlah konflik fisik, melainkan perbedaan data, ego sektoral, atau kurangnya sinergi antarinstansi dalam kerja penanganan stunting. Jika tiap pihak berjalan sendiri-sendiri, target penurunan stunting di Gunungkidul agar prevalensi di bawah 19% mustahil tercapai.
Secara pribadi, di luar sambutan yang dibacakan, Wabup menyoroti pentingnya sinkronisasi data Keluarga Risiko Stunting (KRS) dengan data BPS. Pasalnya, metode BPS dianggap lebih komprehensif dan kompleks, sehingga mampu memberi gambaran akurat kondisi keluarga di lapangan, termasuk keluarga miskin dan keluarga risiko stunting.
Paparan Inspektur Daerah: Catatan Kritis dan Rekomendasi
Giliran Saptoyo, SSos, MSi, Inspektur Daerah Gunungkidul, tampil menyampaikan paparannya. Dengan gaya sistematis, ia membacakan hasil evaluasi dan sejumlah rekomendasi yang langsung ditujukan ke instansi-instansi kunci. Saptoyo memaparkan progres kegiatan di beberapa kalurahan yang menjadi lokus stunting di tahun 2025; progres apa saja yang sudah dicapai, apa yang perlu diperbaiki, serta rekomendasi-rekomendasi apa yang ditawarkan dari Inspekda.
Kepada Dinas Kesehatan, Saptoyo merekomendasikan untuk meningkatkan koordinasi dengan puskesmas untuk memastikan perencanaan anggaran lebih tepat sasaran.
Dalam hal ini khususnya adalah alokasi PMT Lokal bagi ibu hamil dengan kondisi KEK (Kekurangan Energi Kronis) dan balita gizi kurang harus sesuai kebutuhan riil masing-masing wilayah.
Kepada Dinas PU PRKP, Saptoyo merekomendasikan untuk menggunakan data KRS sebagai dasar penetapan penerima bantuan akses air bersih, sanitasi, dan rumah layak huni. Penting juga dalam hal ini untuk menyertakan juga data desil keluarga (1–5) agar bantuan benar-benar menyasar yang paling membutuhkan.
Kepada DPMKPPKB, Inspektorat Daerah merekomendasikan agar melakukan pembaruan data KRS secara berkala, selain juga menggencarkan sosialisasi data KRS kepada perangkat daerah lain agar terbangun pemahaman bersama.
Kepada Bappeda dan Panewu, direkomendasikan untuk memfasilitasi penganggaran program penurunan stunting melalui PIWK dalam Musrenbang tingkat kalurahan.
Adapun kepada para lurah (144 kalurahan) direkomendasikan untuk memperkuat komitmen dalam perencanaan dan penganggaran berbasis data untuk benar-benar menekan angka stunting. Yang sangat penting diperhatikan oleh lurah, misalnya, adalah adanya perubahan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) menjadi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sejak Februari 2025, yang dalam perubahan tsb ada pengurangan sangat signifikan oleh Kementerian Sosial.
Kebijakan ini jelas berdampak pada sebagian keluarga risiko stunting (KRS) semua wilayah; jika pada DTKS KRS tsb sebelumnya mendapatkan bantuan sosial, bisa jadi pada data DTSEN tidak lagi mendapatkannya karena terdampak kebijakan pengurangan tsb. Oleh karena itu, kata Saptoyo, diharapkan para lurah bisa mencermati data KRS yang tidak masuk DTSEN, jika ternyata ada keluarga-keluarga yang sebenarnya memang tidak mampu, keluarga miskin yang sangat membutuhkan (apalagi jika KRS tsb hamil), maka dapat diajukan ke Dinas Sosial P3A.
GENTING Tahap II
Sesi berikutnya, Drs Sujarwo, MSi, Kepala DPMKPPKB Gunungkidul, menyoroti keberlanjutan program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting).
Tahap pertama GENTING sudah berjalan, dan 17 kapanewon sudah mencanangkan semua, kecuali Kapanewon Ronkgop yang masih dalam tahap diskusi persiapan. Untuk tahap 1, ada beberapa kapanewon yang menyasar pegawai di tingkat kapanewon hingga kalurahan. Kini, di tahap kedua, targetnya lebih luas: kalangan swasta, lembaga non-pemerintah, bahkan kelompok masyarakat sipil. Sebaliknya, kata Sujarwo, bagi kapanewon yang pada tahap pertama sudah menggaet kalangan swasta, pada GENTING tahap 2 ini diharapkan bisa menyasar ke para pegawai/ASN di kapanewon.
“Stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. GENTING tahap II diharapkan jadi gerakan kolektif yang merangkul lebih banyak pihak,” jelas Sujarwo.
Sesi berikutnya, Drs Sujarwo, MSi, Kepala DPMKPPKB Gunungkidul, menyoroti keberlanjutan program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting).
Tahap pertama GENTING sudah berjalan, dan 17 kapanewon sudah mencanangkan semua, kecuali Kapanewon Ronkgop yang masih dalam tahap diskusi persiapan. Untuk tahap 1, ada beberapa kapanewon yang menyasar pegawai di tingkat kapanewon hingga kalurahan. Kini, di tahap kedua, targetnya lebih luas: kalangan swasta, lembaga non-pemerintah, bahkan kelompok masyarakat sipil. Sebaliknya, kata Sujarwo, bagi kapanewon yang pada tahap pertama sudah menggaet kalangan swasta, pada GENTING tahap 2 ini diharapkan bisa menyasar ke para pegawai/ASN di kapanewon.
“Stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. GENTING tahap II diharapkan jadi gerakan kolektif yang merangkul lebih banyak pihak,” jelas Sujarwo.
Fokus Dinas Kesehatan: Data KRS Jadi Rujukan Utama
Kepala Dinas Kesehatan, Ismono, SSiT, MKes dalam paparanya menekankan satu hal penting: intervensi kesehatan harus berbasis data KRS dari DPMKPPKB.
Ia memaparkan fakta menarik: di enam kapanewon dengan angka stunting tertinggi (Gedangsari, Rongkop, Patuk, Semin, Saptosari, Ngawen), indikator risiko seperti ibu hamil KEK, BBLR, dan berat badan lahir rendah selalu berbanding lurus dengan tingginya kasus stunting.
Dengan kata lain, keluarga berisiko stunting sebenarnya bisa diprediksi, dan akan sangat mudah mendeteksinya dengan mengacu pada data KRS di DPMKPPKB. Beberapa indikator KRS pada data DPMKPPKB di antaranya:
1. Ibu hamil usia <21 tahun atau >35 tahun
2. Ibu dengan lebih dari 2 anak.
3. Jarak kelahiran anak <3 tahun.
4. Tidak ada akses air bersih dan sanitasi layak.
5. Pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi modern.
Karena itu, Dinkes menegaskan pentingnya sinergi data, agar program intervensi tepat sasaran.(*)
Kepala Dinas Kesehatan, Ismono, SSiT, MKes dalam paparanya menekankan satu hal penting: intervensi kesehatan harus berbasis data KRS dari DPMKPPKB.
Ia memaparkan fakta menarik: di enam kapanewon dengan angka stunting tertinggi (Gedangsari, Rongkop, Patuk, Semin, Saptosari, Ngawen), indikator risiko seperti ibu hamil KEK, BBLR, dan berat badan lahir rendah selalu berbanding lurus dengan tingginya kasus stunting.
Dengan kata lain, keluarga berisiko stunting sebenarnya bisa diprediksi, dan akan sangat mudah mendeteksinya dengan mengacu pada data KRS di DPMKPPKB. Beberapa indikator KRS pada data DPMKPPKB di antaranya:
1. Ibu hamil usia <21 tahun atau >35 tahun
2. Ibu dengan lebih dari 2 anak.
3. Jarak kelahiran anak <3 tahun.
4. Tidak ada akses air bersih dan sanitasi layak.
5. Pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi modern.
Karena itu, Dinkes menegaskan pentingnya sinergi data, agar program intervensi tepat sasaran.(*)
0 Comments