Perjalanan BKKBN; dari Perkumpulan KB Indonesia Sampai Akhirnya Menjadi Kementerian

Oleh: Nur Istiqomah, SIKom (PKB Kapanewon Purwosari)


Periode Perintisan BKKBN


Awal mula perjalanan program keluarga berencana di Indonesia dimulai dengan berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang juga dikenal secara internasional sebagai Indonesia Planned Parenthood Federation (IPPF). Organisasi ini menjadi pelopor dalam memperjuangkan kesejahteraan keluarga melalui tiga layanan utama: mengatur atau menjarangkan kehamilan, mengobati kemandulan, serta memberikan nasihat perkawinan. Visi ini lahir dari kesadaran akan pentingnya keluarga sebagai unit terkecil dalam pembangunan bangsa.

Dengan lahirnya Orde Baru pada Maret 1966, perhatian pemerintah terhadap isu kependudukan meningkat pesat. Perubahan politik ini membawa dampak signifikan terhadap pengembangan program keluarga berencana di tanah air. Sebagai respons terhadap situasi ini, PKBI menyelenggarakan Kongres Nasional ke-I di Jakarta. Kongres ini menjadi tonggak penting yang menandai keseriusan PKBI dalam memainkan peran aktif di bidang perencanaan keluarga nasional.


Periode Keterlibatan Pemerintah dalam Program KB Nasional

Langkah konkret pemerintah dimulai ketika Presiden Soeharto, dalam pidatonya di depan sidang DPRGR pada Agustus 1967, menyampaikan pentingnya usaha pembatasan kelahiran melalui kontrasepsi yang sesuai dengan moral agama dan nilai-nilai Pancasila. Pidato ini menjadi pemicu utama dibentuknya Panitia Ad Hoc oleh Menteri Kesejahteraan Rakyat (Menkesra), yang bertugas mempelajari kemungkinan dijadikannya keluarga berencana sebagai program nasional.

Tak lama kemudian, pada 7 September 1968, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1968. Instruksi ini berisi dua poin penting: pertama, membimbing, mengoordinasikan, dan mengawasi berbagai aspirasi masyarakat di bidang keluarga berencana; dan kedua, mengusahakan terbentuknya suatu lembaga yang mampu menghimpun seluruh kegiatan KB, dengan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat.


Periode Pelita I dan II: Tahap Awal Institusionalisasi

Tahun 1972 menjadi tahun penting dengan keluarnya Keppres No. 33, yang menyempurnakan struktur organisasi dan tata kerja BKKBN. Statusnya pun berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada langsung di bawah Presiden. Untuk melaksanakan program keluarga berencana, dikembangkan pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pada Pelita I, digunakan pendekatan klinik (Clinical Approach) mengingat masih kuatnya tantangan terhadap gagasan KB.

Namun, seiring waktu, pendekatan ini mulai dipadukan dengan sektor pembangunan lainnya. Hal ini dikenal dengan istilah Pendekatan Integratif atau Beyond Family Planning. Pada periode 1973–1975, pendidikan kependudukan mulai dirintis sebagai proyek percontohan.


Periode Pelita III (1979–1984): Pendekatan Partisipatif

Memasuki Pelita III, pendekatan kemasyarakatan mulai dikedepankan. Masyarakat didorong untuk turut berpartisipasi aktif melalui institusi sosial dan tokoh masyarakat. Tujuannya adalah membina dan mempertahankan akseptor KB yang sudah ada, sekaligus menjaring peserta baru. Di masa ini pula, strategi operasional seperti Panca Karya dan Catur Bhava Utama diperkenalkan untuk mempercepat penurunan tingkat kelahiran.

Inovasi juga muncul dalam bentuk kampanye massal dengan pendekatan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) serta pelayanan kontrasepsi yang dikemas dalam Safari KB Senyum Terpadu—sebuah bentuk pendekatan langsung kepada masyarakat.


Periode Pelita IV (1983–1988): Menuju Kemandirian KB

Tahun 1987 menjadi momentum penting dengan pencanangan Program KB Mandiri oleh Presiden Soeharto. Simbolisasi program ini dilakukan melalui kampanye Lingkaran Biru (LIBI), yang menandai tempat-tempat pelayanan KB berkualitas. Semangat kemandirian mulai ditanamkan ke masyarakat, mendorong mereka untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan program KB.


Periode Pelita V (1988–1993): Kualitas dan Keragaman Layanan

Pada periode ini, BKKBN di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Haryono Suyono terus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan layanan. Maka diluncurkan strategi baru bernama Lingkaran Emas (LIMAS). Jika sebelumnya pilihan kontrasepsi terbatas, kini ditawarkan 16 jenis kontrasepsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat.

Selain itu, ditetapkan pula UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. UU ini menjadi dasar hukum dalam membentuk keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, melalui upaya penundaan usia pernikahan, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan rumah tangga.


Periode Pelita VI (1993–1998): BKKBN Setingkat Kementerian

Pendekatan baru kembali diperkenalkan, yakni Pendekatan Keluarga, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam gerakan KB nasional. Sejak 19 Maret 1993, Prof. Dr. Haryono Suyono diangkat sebagai Menteri Negara Kependudukan sekaligus Kepala BKKBN, menjadikan lembaga ini setara kementerian.

Namun pada 1998, dengan bergulirnya era reformasi, terjadi perubahan kabinet. Prof. Haryono diangkat menjadi Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan, sementara posisi Kepala BKKBN dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Oka, yang juga merangkap sebagai Menteri Kependudukan.


Periode Pasca-Reformasi: BKKBN Bertransformasi

Tonggak penting berikutnya terjadi pada 29 Oktober 2009 dengan disahkannya UU No. 52 Tahun 2009. Undang-undang ini membawa perubahan besar: nama lembaga berubah dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Visi baru yang diusung adalah “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015”, dengan misi mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.

Pemerintah daerah pun diberi peran lebih besar, dengan dibentuknya BKKBD di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini diperkuat oleh Perpres No. 3 Tahun 2013 dan peraturan kepala BKKBN lainnya, yang menyempurnakan struktur organisasi dan pelaksanaan tugas.


Era Kabinet Kerja dan Kabinet Merah Putih: Menuju Kementerian


Transformasi kelembagaan berlanjut pada era Presiden Joko Widodo, dan secara formal mengalami lonjakan besar pada 2024 di bawah Presiden Prabowo Subianto. Dalam Kabinet Merah Putih, dibentuk nomenklatur baru: Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Indonesia.

Dr. H. Wihaji, S.Ag., M.Pd., resmi menjabat sebagai menterinya sejak 21 Oktober 2024. Mantan Bupati Batang ini memiliki latar belakang pendidikan Islam dan Magister Lingkungan Hidup. Wihaji menegaskan bahwa transformasi ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan perubahan paradigma dan budaya kerja.


Filosofi Baru: Flower, Bee, and Honey

Sebagai simbol visi barunya, Menteri Wihaji memperkenalkan filosofi kerja: Flower, Bee, Honey.

  • Flower (Bunga): Melambangkan profesionalisme dan pelayanan terbaik yang indah dan bermakna.

  • Bee (Lebah): Melambangkan kolaborasi, integritas, dan sinergi lintas sektor dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045.

  • Honey (Madu): Melambangkan hasil kerja nyata yang berdampak bagi masyarakat, yakni generasi emas Indonesia.

Menurut Wihaji, “Kita harus menciptakan bunga yang menarik, agar masyarakat sebagai lebah datang, dan dari interaksi itu tercipta madu—generasi emas yang menjadi tujuan bersama.”

Wakil Menteri, Isyana Bagoes Oka, yang sebelumnya dikenal di dunia hiburan dan kemudian politik, kini turut memperkuat kementerian ini. Sebagai bagian dari tim yang baru, ia membawa semangat muda, pengalaman, dan pendekatan komunikasi yang segar.


Harapan dan Program Strategis Kemendukbangga

Sebagai kementerian, Kemendukbangga (Kependudukan dan Pembangunan Keluarga) memiliki akses koordinasi langsung kepada presiden. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam menangani isu-isu kependudukan yang kompleks. Di tingkat lapangan, program-program baru disandingkan dengan pendekatan lama yang masih relevan.

Salah satu inovasinya adalah pelaporan berbasis aplikasi yang mudah diakses. Kegiatan di kelompok kegiatan (poktan), konseling PPKS, dan pelatihan kader terus ditingkatkan dengan strategi inovatif agar pelayanan lebih baik dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.


5 Program Percepatan Kemendukbangga Tahun 2025

Untuk memperkuat kinerja, Kemendukbangga meluncurkan lima program cepat (quick wins):

  1. GENTING – Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting: Menargetkan baduta dari keluarga berisiko stunting.

  2. TAMASYA – Taman Asuh Sayang Anak: Penyediaan daycare unggulan dengan pengasuh tersertifikasi.

  3. GATI – Gerakan Ayah Teladan: Menjawab isu fatherless melalui konseling pra dan pasca nikah.

  4. Aplikasi AI Super: Layanan konsultasi berbasis kecerdasan buatan untuk permasalahan keluarga.

  5. SIDAYA – Lansia Berdaya: Layanan komunitas berbasis kesehatan dan pemberdayaan lansia. (*)

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine