Bersiap Menjadi Orangtua yang Hebat

Oleh : Sri Wulan Kingkin Astuti, S.Pd (PKB Karangmojo)

Keluarga, sebagai unit terkecil dalam masyarakat, terdiri dari suami istri, orang tua, anak-anak, atau orang tua, anak, dan anggota lainnya. Keluarga merupakan tempat awal lahirnya generasi mendatang, sehingga menjadi tempat untuk mendidik dan membentuk karakter moral serta melatih kerjasama sebagai bekal dalam kehidupan berkelompok.

Siklus kehidupan manusia dimulai sejak dalam kandungan, dengan periode anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan periode kritis dalam menentukan kualitas anak di masa yang akan datang, yang kita kenal sebagai masa emas, di mana perkembangan otak anak mencapai 80%. Oleh karena itu, masa ini sangat penting untuk mengembangkan aspek fisik, emosional, sosial, dan intelektual anak.

Menyadari pentingnya pembinaan tumbuh kembang anak sejak dini, fungsi dan peran orang tua menjadi sangatlah penting dalam pola asuh, kasih, dan pendidikan. Orang tua diharapkan memiliki kesiapan untuk menjadi orang tua yang hebat dan memahami tujuan pengasuhan yang benar agar mampu menghasilkan anak yang kuat dan tangguh di masa depan.

Membentuk keluarga yang berkualitas sesuai dengan undang-undang, yaitu sebagai sebuah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, berkarakter sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan luas, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, merupakan suatu hal yang tidak mudah.

Untuk membangun sebuah keluarga, tentu saja diperlukan persiapan yang matang meliputi:

  1. Kesiapan Usia (antara 20 sampai 30 tahun)
  2. Kesiapan Fisik (yang sehat secara mental dan spiritual)
  3. Kesiapan Finansial (minimal salah satu pasangan sudah berpenghasilan)
  4. Kesiapan Mental (kesiapan mental sangat dibutuhkan karena dalam berkeluarga tentu ada banyak tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi)
  5. Kesiapan Emosi (pengelolaan emosi dan memiliki emosi yang matang)
  6. Kesiapan Sosial (mengasah kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi di sekitarnya, prinsip kekeluargaan dan gotong royong juga harus selalu dijaga)
  7. Kesiapan Mental (suami istri harus memiliki pondasi yang kuat akan nilai-nilai moral seperti kejujuran, integritas, etika serta agama)
  8. Kesiapan Interpersonal (kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik)
  9. Ketrampilan Hidup (ketrampilan dasar dalam berumah tangga seperti membersihkan dan merapikan rumah, memasak, dan mengurus buah hati / pola asuh)
  10. Kesiapan Intelektual (kemampuan pasangan mencari informasi seputar pernikahan dan keluarga)

Demikian pula dalam meningkatkan SDM yang dimulai sejak balita, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Menumbuh kembangkan harapan. Harapan adalah faktor penting untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Harapan pada diri sendiri dan keluarga sangat penting untuk berkehidupan selanjutnya. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa kegiatan, misalnya Sugesti Positif, melalui pelbagai kegiatan antara lain: mendengarkan lagu-lagu rohani sambil membaca buku, memberikan doa dan harapan yang baik saat anak setengah tidur, dan pengulangan doa sebelum tidur, sehari 2x, ditutup dengan pelukan.
  2. Berikan teladan yang baik melalui perilaku sehari-hari, misalnya dengan berdoa dan merapikan tempat tidur setelah bangun tidur, beribadah bersama-sama, dan menunjukkan sopan santun kepada anggota keluarga lainnya.
  3. Senantiasa memberikan nasihat kebaikan dan teguran atas perilaku dan tindakan yang menyimpang, yang diberikan pada waktu yang tepat dan disesuaikan dengan usia anak.
  4. Mencari dan membentuk lingkungan yang kondusif, yang jauh dari peredaran obat-obatan terlarang, kekerasan fisik dan non-fisik, dan tindakan asusila, serta penggunaan gadget yang tepat.
  5. Melakukan pembiasaan dan pengulangan terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat.
  6. Memberikan hadiah berupa pujian bila anak berhasil melakukan hal-hal baik, yang akan berdampak positif dengan mendorong perilaku yang baik, meningkatkan harga diri, mempererat hubungan orang tua dan anak, dan menambah motivasi diri untuk lebih baik.
  7. Memberikan hukuman apabila berbuat kesalahan, yang harus disesuaikan dengan umur anak dan tidak bersifat kekerasan fisik dan non-fisik, lebih pada pembelajaran agar lebih bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan (contoh: jika anak menumpahkan minum, maka dia diajari untuk membersihkan dengan di pandu orang dewasa sekitar dengan lembut dan kasih sayang).[]
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine