Oleh : Ir Sihana Yuliarto (Penyuluh KB Tanjungsari, Gunungkidul)
Remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun menurut World Health Organization (WHO), sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 24 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun, dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja antara 10-24 tahun dan belum menikah.
Remaja merupakan generasi penerus ynng diharapkan dapat memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan kreatifitas serta pembangunan bangsa. Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana terjadi perubahan fisik, mental dan psikosoasial yang cepat dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan selanjutnya.
Remaja mempunyai tantangan tentang menata masa depan, dimana remaja harus mempunyai prinsip hidup untuk menggapai cita-cita dan harapan untuk kehidupannya. Salah satu fenomena sosial yang menjadi tantangan untuk remaja yaitu pernikahan usia dini.
Pernikahan usia dini adalah sebuah pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia dibawah 19 tahun atau sedang menempun pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas. Sedangkan menurut BKKBN, usia ideal menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan untuk leki-laki berusia minimal 25 tahun. Karena usia reproduksi sehat bagi perempuan adalah antara usia 21 tahun sampai 35 tahun.
Pernikahan di usia dini akan menimbulkan dampak baik dari segi kesehatan maupun kesiapan mental, fisik, dan juga sosial ekonomi.
A. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Usia Dini
Dampak Positif dari pernikahan dini yaitu pernikahan menghindarkan dari perbuatan zina, juga membantu mengurangi beban orang tua, sedangkan dampak negatif dari pernikahan dini yaitu masalah yang dirasakan oleh kedua belah pihak maupun orang sekitar karena usia yang masih labil, dan berdampak juga bagi kesehatan.
B. Dampak Pernikahan Usia Dini dari Segi Kesehatan
Anak-anak yang menikah dini akan mengalami penyakit menular seksual, seperti sifilis, HIV, hepatitis B, HPV, dan lain sebagainya. Infeksi penyakit tersebut dapat terjadi karena organ reproduksi anak-anak belum matang atau mengalami imaturitas.
C. Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan usia dini antara lain:
1. Kondisi Ekonomi
Umumnya, ini terjadi pada pihak wanita yang keluarganya tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik. Jadi, orang tua memutuskan untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan pria yang biasanya lebih mapan. Tujuannya tidak hanya mengurangi beban finansial, tetapi juga harapan agar sang anak mendapatkan hidup yang lebih baik.
2. Pendidikan
Alasan lain dari pernikahan dini adalah sosialisasi yang kurang pada orang tua yang hidup di pedesaan, terutama jika anak-anak mereka tidak mendapatkan akses yang layak untuk menempuh pendidikan wajib 12 tahun. Kondisi ini akan membuat anak merasa wajar saja menikah pada usia belia.
3. Internal Orang Tua
Kemudian, faktor internal dari keluarga, terutama orang tua yang memiliki rasa takut jika anak-anak melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Terlebih, seks bebas memang sangat rentan terjadi pada usia remaja ketika masuk masa pubertas dan anak mulai mengenal dan menjalin hubungan dengan lawan jenis.
4. Internet dan Media Masa
Era internet yang serba canggih dan modern seperti sekarang ini membuat semua orang menjadi sangat mudah dalam mengakses informasi dan konten dalam bentuk apapun. Mulai dari foto, video, hingga suara alias podcast. Jika orang tua tidak mampu menyaring konten untuk anak, bukan tidak mungkin sang buah hati yang mulai beranjak remaja akan lebih mudah terjerumus dalam pergaulan yang tidak tepat. Inilah sebabnya, orang tua perlu memberikan aturan terkait penggunaan gawai dan akses internet untuk anak-anak.
5. Hamil Sebelum Menikah
Edukasi seks sejak dini untuk anak sebenarnya tidak menjadi hal yang tabu. Sebab, hal ini akan membuat anak mengerti berbagai risiko yang mungkin terjadi sebagai bentuk seks bebas. Salah satunya adalah kehamilan sebelum menikah yang memang lebih banyak terjadi pada usia anak. Guna menutupi aib inilah, keluarga lantas melakukan pernikahan dini pada anak.
D. Cara pencegahan pernikahan usia dini dengan cara antara lain:
1. Menyediakan Pendidikan Formal yang Memadai
Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat dicegah. Setidaknya, minimal anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.
2. Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks
Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal tersebut tak lepas terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.
3. Memberdayakan Masyakarat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Usia Dini
Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini.
4. Meningkatkan Peran Pemerintah
Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.
5. Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender
Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”.(*)
0 Comments