Seks pranikah atau istilahnya, “pre-marital sex”, merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Pada umumnya, aktivitas demikian dilakukan oleh pasangan muda-mudi yang sedang asyik tenggelam dalam romantisme lautan asmara, atau dilakukan oleh seseorang yang hanya ingin menyalurkan hasrat seksual kepada lawan jenisnya tanpa adanya ikatan cinta. Bentuk-bentuk aktivitas seksual pra-nikah yang dilakukan cukup beragam, mulai dari sekadar saling sentuhan, pegang tangan, berciuman, berangkulan, petting (saling menggesekkan kelamin), sampai pada hal yang paling dikhawatirkan yaitu hubungan kelamin (sex intercourse).
Mengapa Seks Pranikah Dapat Terjadi?
Seks pranikah terjadi karena fitrahnya setiap manusia memiliki orientasi seks atau sexual oriented, atau ketertarikan seseorang kepada orang lain secara fisik dan emosional, yang berbeda. Orientasi seksual dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Heteroseksual, jika seseorang memiliki ketertarikan kepada orang lain yang berbeda jenis kelaminnya; 2) Homoseksual, jika seseorang memiliki ketertarikan pada orang lain yang sama jenis kelaminnya; dan 3) Biseksual, jika seseorang memiliki ketertarikan kepada orang lain dengan kedua jenis kelamin sekaligus. Ketiga orientasi seksual tersebut secara sadar akan dialami oleh seseorang dan dirasakan sensasi seksualnya ketika laki-laki dan perempuan memasuki masa pubertas.
Ketika seseorang mulai memasuki masa pubertas, organ-organ seksualnya sudah matang yang ditandai dengan laki-laki mulai banyak memproduksi hormon testosteron dan perempuan yang dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron. Hormon tersebut memberikan pengaruh pada syaraf yang mengatur emosi dan membuat seseorang memiliki ketertarikan secara seksual dengan orang lain. Perilaku yang mengarah pada tujuan memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual inilah yang disebut dengan perilaku seksual.
Menurut Sarwono (2001), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai dengan tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku seksual pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Luthfie dalam Amrillah, 2007).
Perilaku seksual dapat diartikan positif dan dibenarkan apabila ditempatkan sebagaimana mestinya, bukan dengan dilakukan ketika seorang laki-laki dan perempuan belum memiliki ikatan resmi melalui proses pernikahan yang disahkan hokum dan agama. Dengan demikian, perilaku seksual pranikah menjadi hal yang tidak semestinya dibenarkan.
Namun, pandangan masyarakat tentang seks pranikah telah berubah dari yang awalnya masyarakat menganggap seks pranikah sebagai hal yang salah dan membawa banyak masalah kini menjadi seks pranikah adalah suatu hal yang dianggap lumrah. Rasa bersalah dan menyesal yang dulu ada ketika seseorang melakukan perbuatan seks pranikah itu tidak lagi ada, bahkan kini sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja. Padahal, apabila ditelisik, akar penyebab dari permasalahan panjangnya rantai kemiskinan, banyaknya pengangguran, tingginya angka pernikahan dini, kasus hamil di luar nikah adalah adanya anggapan sepele dari perilaku seks pranikah. Pandangan yang demikian lumrahnya akan mengakibatkan seseorang menjadi kehilangan ketegasan dan kepedulian untuk menyikapi banyaknya kasus seks pranikah di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Sarwono (2001), maraknya perilaku seksual pranikah disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya meningkatnya libido seksualitas, penundaan usia perkawinan, tabu/larangan dalam membicarakan seks, kurangnya informasi mengenai seksual, banyaknya rangsangan, dan adanya kesempatan untuk melakukan perbuatan seks. Libido seksualitas akan meningkat ketika ada obsesi untuk menarik hati orang lain, sedang dalam sensasi jatuh cinta, dan sedang memulai relasi romantis dalam aktivitas yang mengarah pada pacaran. Penundaan usia perkawinan juga menjadi faktor penyebab adanya perilaku seks pranikah karena pada saat seseorang telah meniatkan untuk menikah berarti telah ada kesiapan untuk melakukan hubungan seksual sehingga menundanya justru akan mendekatkannya pada perilaku seks pranikah. Tabunya membicarakan seks juga menjadikan semakin tinggi rasa penasaran yang dikhawatirkan justru menjerumuskan pada salah edukasi.
Edukasi seputar seks pranikah perlu dilakukan untuk memberikan orientasi kepada para remaja agar tidak terjerumus pada perilaku negatif tersebut. Mengingat masa remaja adalah masa awal munculnya ketertarikan pada lawan jenis dengan berbagai rasa penasaran yang bergejolak, maka dengan adanya edukasi diharapkan mampu memfasilitasi. Ketertarikan pada lawan jenis di kalangan remaja pada umumnya diwujudkan dengan pacaran. Remaja kemudian harus waspada sampai sejauh mana aktivitas pacaran yang dilakukan. Hal tersebut penting untuk mencegah perilaku pacaran yang berisiko mengarah pada hubungan seks sebelum menikah (sex before marriage). Walaupun tidak semua pacaran mengakibatkan adanya hubungan seks pranikah, akan tetapi hubungan seks pranikah selalu dimulai dari aktivitas pacaran. Ada beberapa hal yang biasanya dilakukan oleh remaja dalam pacaran sebagai bentuk ungkapan kasih sayang, diantaranya: berpegangan tangan, berciuman, meraba tubuh, berpelukan, dan berhubungan seksual. (Lembar Balik PIK-R BKKBN, 2020).
Bagaimana menghindari Seks Pranikah?
Buku fasilitator, PIK-Remaja dan Bina Keluarga Remaja, yang dipublikasikan oleh BKKBN pada tahun 2020 menyebutkan bahwa cara menghindari hubungan seks sebelum menikah yaitu dengan menghindari perilaku pacaran berisiko. Perilaku pacaran beresiko biasanya dikenal dengan istilah KNPI (Kissing, Necking, Petting, dan Intercourse). Kissing diartikan sebagai kegiatan mencium dengan hasrat seksual. Necking diartikan sebagai kegiatan mencium di bagian leher atau merangsang di bagian telinga pasangan. Petting diartikan sebagai aktivitas bercumbuan dengan cara menggesekkan penis ke vagina dengan masih memakai baju, memegang alat vital pasangan atau mengeluarkan sperma di luar vagina. Kemudian makna dari Intercourse adalah melakukan hubungan seksual/bersetubuh selayaknya suami istri.
Aktivitas pacaran berisiko tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi semua hal itu diawali dengan proses kimiawi dalam tubuh. Proses kimiawi tersebutlah yang menyebabkan munculnya ketertarikan kepada lawan jenis. Helen Fisher, seorang peneliti dari Universitas Rutgers, menyampaikan bahwa kimia dan cinta adalah dua hal yang saling berpengaruh dan mempengaruhi. Menurut Fisher, perwujudan cinta dipengaruhi oleh hormon dan senyawa kimia yang berbeda. Saat seseorang mulai berhasrat dan menginginkan adanya hubungan dengan lawan jenis, maka di situlah proses jatuh cinta dimulai. Hormon estrogen dan progesteron pada wanita serta testosteron pada pria saling bekerja dan bergejolak di dalamnya. Hal ini bisa diartikan akar dari adanya hubungan seks pranikah ada dalam aktivitas pacaran. Maka, cukup menjadi solusi bukan untuk remaja mewaspadai pacaran?
Ajakan mengantisipasi pacaran yang berisiko didukung oleh fakta ilmiah seperti dalam sebuah penelitian yang bertajuk, “The Touch of a Man Makes Woman Hot”, yang menjelaskan bahwa ketika fisik perempuan tersentuh oleh pria, maka suhu kulit tubuh perempuan akan meningkat, khususnya di bagian wajah dan dada. Penelitian itu juga menunjukkan sentuhan dari pria terbukti mampu membakar gairah seks pada wanita. Cukup menjadi kewaspadaan bagi kita bahwa aktivitas berisiko itu ternyata dimulai dari hal sepele yang sangat sering diremehkan dan bahkan tidak kita sadari menjadi penyebab munculnya perasaan ketertarikan yang menjerumuskan, hanya dari bersentuhan dengan lawan jenisnya.
Penelitian di atas telah dianggap benar dan diafirmasi seiring dengan banyaknya kasus yang terjadi dari dua orang pasangan muda yang baru beberapa lama pacaran namun sudah berani melakukan berbagai aktivitas yang seharusnya hanya dilakukan oleh suami istri yang sah. Dan dari situlah kita dapatkan sebab mengapa beberapa ajaran mengajak untuk mengantisipasi aktivitas pacaran berisiko bahkan melarang bersentuhan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang belum menjadi suami istri sah. Sentuhan, pegangan, dan pelukan dengan lawan jenis seharusnya tidak dilakukan sebelum pernikahan karena perilaku tersebut menghasilkan proses dalam otak, kemaluan dan nafsu yang jika dituruti maka hal-hal yang dikhawatirkan akan mendorong pada perilaku seks pranikah benar-benar terjadi.
Ketidaksesuaian perilaku seks pranikah dengan budaya ketimuran, dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, menjadikan perlunya antisipasi untuk menghindari anggapan lumrahnya perilaku seks pranikah. Seks pranikah menyebabkan meningkatnya potensi kehamilan di luar nikah, penyakit seksual menular, aborsi, dan pernikahan dini. Yang mana hal itu tentu akan membentuk rantai kehidupan yang tidak sehat dalam masyarakat.
Hampir keseluruhan tatanan masyarakat akan merasakan dampak negatifnya, oleh sebab itu menjadi tugas bersama untuk membantu membentuk tatanan baru yang dapat mengatasi kelumrahan dari perilaku seks pranikah yang menjadi salah satu penyebab maraknya pernikahan dini. Di Gunungkidul sendiri ada Perbup No 36 tentang pencegahan pernikahan dini, yang menuntur komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dari tingkat desa sampai kabupaten untuk mencegah praktik pernikahan dini. Sehingga kesadaran dan kesediaan semua elemen, untuk melaksanakan Perbup tersebut secara konsekuen sangat diperlukan. Masyarakat, pendidik di sekolah dan di rumah / orangtua berkewajiban membantu mengedukasikan pendidikan sex untuk remaja agar tercipta kontrol diri yang lebih baik dan terarah.
Setiap manusia pasti memiliki self control dalam diri. Nilai-nilai yang dipelajari dan tertanam dalam dirinya akan menjadi benteng ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang dimungkinkan beresiko untuk melakukan seks pranikah. Self control di pengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari temperamen dan proses perkembangan aspek kognitif semasa kanak-kanak seperti perhatian dan kontrol orangtua. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi lingkungan keluarga yang berperan sebagai pemberi perhatian, saudara kandung, dan hubungan dengan teman sebaya (Calkins, 2003).
Dengan memahami dua faktor yang membangun self control tersebut, maka remaja bisa memilih pengetahuan dan nilai-nilai yang sekiranya membawa kebermanfaatan. Ketika mereka bisa memilih lingkungan positif maka remaja akan terdorong untuk tetap berada dalam arus lingkungan yang baik. Edukasi diri sebaik mungkin,serta meminta nasihat pada orang yang tepat, dan menyibukan diri dengan berbagai kegiatan positif dapat menjadi alternative untuk menghadirkan suasana positif dalam pergaulan remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Tetap bersemangat menjaga aman, imun dan iman sebagai self control terbaik untuk diri. Semoga bermanfaat. Salam Hangat Generasi Berencana.(*)
Referensi:
Amrillah, A. A., Prasetyaningrum, J., Hertinjung, W. S. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Seksualitas dan Kualitas Komunikasi Orang Tua – Anak dengan Perilaku Seksual Pranikah. Indigeneous, 7 (4). pp. 45-50. ISSN
BKKBN. 2020. Lembar Balik Fasilitator PIK- Remaja dan Bina Keluarga Remaja. Yogyakarta : BKKBN DIY.
Fox, N.A dan Calkins, S.D. (2003). The Development of Self-control of Emotion: Intrinsic and Extrinsic Influences. Jurnal Motivation and Emotion, 27, 7-25.
Lesteri, S. T. (2015). Perubahan Perilaku Pacaran Remaja Sekolah Menengah Pertama Negerai 2 Sendawar di Kutai Barat. eJournal Sosiatri-Sosiologi, 3 (4), 11-25.
Muliyati. (2012). Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Gaya Pacaran pada Siswa SMU X dan MAN Y Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 (Skripsi yang tidak dipublikasikan). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta..
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sujarwati., Yugistyowati, A., Haryani, A. (2014). Peran Orang Tua dan Sumber Informasi dalam Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja pada Masa Pubertas di SMAN 1 Turi. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, Vol. 2(3), 112-116.
0 Comments