Seperti kita ketahui dan sadari bersama,
Indonesia saat ini telah memasuki fenomena kependudukan yang disebut bonus
demografi. Tidak dipungkiri, bonus demografi ialah hasil dari upaya menurunkan
angka Total Fertility Rate (TFR) atau
tingkat kelahiran total (total bayi yang bisa dilahirkan oleh seorang perempuan
selama hidupnya) melalui program keluarga berencana (KB). Jika dimanfaatkan
dengan optimal, bonus demografi dapat memacu pertumbuhan ekonomi, yang dapat
meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Apa Itu Bonus Bemografi?
Pada
suatu kondisi, perubahan struktur umur penduduk bisa menyebabkan menurunnya
angka beban ketergantungan. Bonus demografi merupakan suatu fenomena dimana
struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Sebab jumlah
penduduk usia produktif sangat besar, sementara proporsi usia muda semakin
kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.Penduduk yang produktif itu berusia
15 tahun hingga 64 tahun. Sementara penduduk non produktif berusia di bawah 15
tahun dan 65 tahun ke atas. Pada tahun 1971, jumlah ketergantungan masih sangat
tinggi, yaitu 86 orang non produktif ditanggung oleh 100 orang produktif.
Sementara pada tahun 2000, jumlah ketergantungan sudah mulai menurun, yaitu 54
non produktif ditanggung oleh 100 orang produktif. (Bayu Pratama, “Memaknai
Bonus Demografi,” dalam www.kompasiana.com, Desember 2018)
Berdasarkan kajian hitungan Badan Pusat
Statistik (BPS), puncak bonus demografi akan terjadi pada tahun 2028-2030, di
mana untuk tiap 100 orang produktif menanggung 44 orang usia non produktif.
Peta penduduk Indonesia saat ini bisa dilihat
dari data, “Proyeksi Penduduk Indonesia”, yang disusun Bappenas dan BPS.
Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 tercatat
255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk usia di bawah 15 tahun
sekitar 69,9 juta jiwa (27,4 persen) dan penduduk yang berumur 65 tahun
ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4 persen). Total usia non produktif ini
sebanyak 32,8 persen. Sedangkan penduduk usia produktif yang berusia 15-64
tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3 persen).
Begitu memasuki tahun 2020, persentasenya
akan berubah dengan jumlah penduduk produktif 70 persen dan non produktif 30
persen. Persentase akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun
2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal kembali menjauh dari persentase ideal. Ditengarai
bahwa pada 2036, bonus demografi sudah hilang, karena pada saat itu jumlah
lansia kita akan semakin banyak. Yang perlu digarisbawahi, memang bonus
demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan suatu bangsa.
Terkait dengan analisis seputar bonus
demografi, tidak boleh diabaikan apa yang disebut dengan rasio
ketergantungan (dependency
ratio) atau perbandingan antara penduduk usia non
produktif dengan penduduk usia produktif. Pada masa puncak bonus demografi,
rasio ketergantungan diprediksi mencapai titik terendah yaitu 44 orang non
produktif ditanggung oleh 100 orang usai produktif atau 44 persen.
“Datangnya bonus demografi secara tidak
langsung juga berarti munculnya jendela peluang (window of opportunity). Kondisi ini
terjadi ketika angka ketergantungan berada pada tingkat terendah, yaitu rasio
ketergantungan 44 per 100 pekerja, yang diperkirakan akan terjadi selama 10
tahun, dari 2020 sampai 2030,” jelas Hasto Wardoyo di acara, “Health Liputan 6,” Sabtu
(31/8). Untuk itu, lanjut Hasto, kita harus menyiapkan generasi yang
berkualitas, agar tenaga kerja yang melimpah pada saat ini bisa produktif dalam
berpartisipasi membangun bangsa, mampu membawa berkah bagi kemakmuran negeri,
bukan malah menjadi bencana dan beban pembangunan. Apalagi, realitasnya saat
ini masih banyak persoalan kependudukan yang dihadapi Indonesia.
Masalah dan persoalan yang kita hadapi,
menurut Kepala DP3AKBPMD Gunungkidul, Sujoko, SSos, MSi,bukan hanya terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya
derajat kesehatan yang ditandai dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi,
tingginya laju pertumbuhan penduduk yang memicu pengangguran dan persoalan
perumahan (tempat tinggal), tetapi
banyaknya persoalan yang dihadapi remaja terkait dengan pergaulan bebas,
pernikahan dini, penyalahgunaan napza, dan sebagainya. “Di sinilah perlunya
upaya menghadapi datangnya era bonus demografi secara bijak dengan pendidikan
kependudukan pada generasi mudanya, utamanya siswa di sekolah, agar mereka
menyadari persoalan yang akan dihadapi di era mendatang terkait persaingan di
dunia kerja, serta mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang menjadi
generasi penerus bangsa yang berkualitas, yang sehat lahir batin, yang
berpengetahuan, yang punya pemahaman dan kesadaran serta sikap dan perilaku
berwawasan kependudukan,” tegas Sujoko.
Apa Itu Sekolah Siaga Kependudukan?
Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki amanah untuk memberikan literasi
tentang kependudukan agar masyarakat sadar akan pentingnya manfaat yang harus
disiapkan dan digunakan serta permasalahan-permasalahan yang harus dihindari dari
dampak kependudukan. Salah satu upayanya melalui Sekolah Siaga Kependudukan.
Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) adalah sekolah yang
mengintegrasikan pendidikan kependudukan dan keluarga berencana ke dalam
beberapa mata pelajaran sebagai pengayaan materi pembelajaran, di mana di
dalamnya terdapat pojok kependudukan sebagai salah satu sumber belajar peserta
didik sebagai upaya pembentukan generasi berencana, agar guru dan peserta didik
dapat memahami isu kependudukan dan guru mampu mengintegrasikan isu kependudukan
ke dalam pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013. SSK didefinisikan sebagai
implementasi operasional pengendalian kependudukan dan keluarga berencana
dengan program-program pendidikan, terintegrasi dikelola dari, oleh
penyelenggara pendidikan melalui pemberdayaan sekolah serta memberikan
kemudahan atau akses terhadap anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan khusus bidang kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan,
kesehatan dan pemberdayaan ekonomi kreatif serta program sektor lainya.
(Mardiya, “Mengenal Sekolah Siaga Kependudukan”,www.kulonprogokab.go.id, Mei 2018).
Sasaran
pendidikan kependudukan adalah instansi pendidikan formal (SD sd SLTA dan
Universitas), jalur pendidikan non formal, yaitu di Diklat Berjenjang seperti
Diklat ASN dan Kepramukaan, melalui jalur pendidikan informal, yaitu
keluarga/kelompok kegiatan masyarakat/keluarga. Pola untuk penyelenggaraan
pendidikan kependudukan melalui jalur-jalur tersebut adalah dengan pola kerjasama
(sistem kerjasama).
“Melalui
pengetahuan dan informasi yang disampaikan di wadah-wadah tersebut, harapannya
akan dapat berdampak pada perubahan sikap dan perilaku setiap orang dan
keluarga,yakni adanya rasa sadar kependudukan dengan cara membentuk keluarga
kecil berkualitas, menyiapkan generasi penerus, menyiapkan hari tua,
memperhatikan lingkungan dan daya dukung alam untuk kehidupan,” harap Kepala
BKKBN dr Hasto Wardoyo, SpOG (K) pada peresmian SSK di SMA Negeri 1 Kepanjen,
Kabupaten Malang sebagai Sekolah Siaga Kependudukan, Rabu (17/7) silam.
Tujuan
dari adanya SSK ini setidaknya tiga, yakni: (1) memupuk kesadaran akan kondisi
kependudukan di wilayah tempat tinggal masing-masing siswa; (2) menumbuhkan
sikap bertanggung jawab dan perilaku adaptif berkaitan dengan dinamika
kependudukan, serta lebih dari itu, (3) mengembangkan sikap yang tepat dalam
mengambil keputusan untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan kelak ketika
mereka menjadi dewasa. Maka dalam konteks program SSK ini, siswa perlu diajak
untuk bersikap: (1) Saya Sadar (I aware)
mengenai perkembangan jumlah penduduk dunia, kebutuhan dan ketersediaan air,
pangan dan energi, (2) Saya Peduli (I
care) mengenai isu-isu kependudukan, serta (3) Saya Melakukan (I do) mulai melakukan langkah-langkah
aksi nyata melalui perilaku hidup berwawasan kependudukan. (Mardiya, Idem)
Dengan
digulirkannya program Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) ini diharapkan ada peningkatan
kualitas peserta didik, khususnya pada bidang kependudukan, sehingga mereka siap
menghadapi tantangan yang cukup berat dimasa yang akan datang. Apalagi selama
ini sekolah dianggap satu-satunya agen perubahan (agent of change) secara formal di Indonesia. Hanya saja, sayangnya,
kurikulum pendidikan kependudukan kurang kontekstual. Banyak contoh-contoh
kependudukan yang terdapat pada buku pelajaran masih menggunakan fakta atau
ilustrasi di luar negeri. Padahal, masalah kependudukan melekat pada kehidupan
siswa di masyarakat. Nah, SSK coba hadir untuk mengisi celah kekurangan ini.
Kontekstual dan Kondisional
Dalam program SSK ini,
impelentasi programnya berbeda-beda sesuai dengan konteks ataupuin kondisi
lembaga pendidikan yang bersangkutan. Untuk jalur pendidikan formal SMP dan SMA
dapat ditempuh beberapa cara, diantaranya (1) pengintegrasian pendidikan
kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga dalam kurikulum atau beberapa mata
pelajaran dan atau muatan lokal khusus kependudukan, bisa juga melalui (2) pelbagai
kegiatan skstrakurikuler siswa, selain juga ini didukung dengan (3) perpustakaan
kependudukan atau disebut dengan Pojok Kependudukan.
Sedangkan
di perguruan tinggi melalui pendekatan kegiatan (1) perkuliahan, integrasi mata
kuliah terkait, dan kuliah umum, (2) kegiatan kemahasiswaan seperti KKN/PKL
(tematik kependudukan), (3) perkumpulan unit kegiatan mahasiswa dengan
membentuk Forum Peduli Kependudukan.
Khusus
untuk ranah SMA, pelaksanaan
SSK ini dimulai dengan integrasi pendidikan KKBPK ke dalam mata pelajaran yang
relevan seperti Geografi, Sosiologi,
Ekonomi, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan
Olahraga Kesehatan, dan Bimbingan
Konseling. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa
didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendorong siswa untuk aktif
mengobservasi, mencari data, mengolah data, dan menganalisis data kependudukan
dengan melaksanakan kunjungan langsung ke lapangan atau ke kantor-kantor yang
terkait dengan data kependudukan seperti BPS atau Dukcapil. Sekolah juga perlu
memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan melakukan proses belajar
mengajar bersama tenaga medis (bidan), sehingga permasalahan-permasalahan para
siswi yang sering dirasakan sehari-hari (pubertas) dan kelak yang akan mereka
hadapi (reproduksi) dapat langsung dikonsultasikan dengan tenaga medis yang
kompeten. Kegiatan seperti ini harus dilanjutkan dengan optimalisasi bimbingan
konseling bersama guru BK dan tenaga medis agar para siswa dapat berkonsultasi
diluar jam pelajaran namun tetap berada di lingkungan sekolah. (Mardiya, Idem).
Program
SSK ini, selain dilaksanakan dalam ruang kelas di sekolah juga dilaksanakan
dengan cara kunjungan para siswa ke posyandu, wawancara dengan ibu hamil dan
nifas. Pertanyaan-pertanyaan telah disusun sebelumnya mengarah pada peningkatan
pengetahuan ibu hamil dan ibu nifas, namun yang terpenting diharapkan menambah
wawasan dan pengetahuan para siswa tentang kehamilan, kelahiran, dan nifas.
Sehingga diharapkan kelak para siswa setelah dewasa dan berkeluarga mereka
sudah tahu apa yang harus dilakukan.(Idem)
Untuk
Pojok Kependudukan (Population Corner),
di dalamnya terdapat tabel, grafik, piramida penduduk, poster, buku-buku,
pamflet, brosur-brosur, film-film kependudukan, dan lain-lain sehingga siswa dapat memperoleh informasi mengenai berbagai
masalah kependudukan bukan hanya pada proses belajar mengajar namun didapat
pula dari pojok kependudukan.Pojok kependudukan
ini juga berfungsi menjadi pusat informasi dan konseling untuk
masalah-masalah kependudukan maupun kesehatan reproduksi bagi remaja. Karena
itu, di setiap sekolah yang sudah mengimplementasikan SSK harus terlebih dahulu
berdiri Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). Untuk keperluan tersebut,
Pojok Kependudukan mempersenjatai diri dengan aneka sumber daya informasi dan
pendukung lainnya. Informasi itu dibagi ke dalam beberapa rumpun, seperti foto,
peta, grafik, dan ornamen kependudukan lainnya. Informasi dalam bentuk foto
tersebut antara lain mengenai kesehatan reproduksi remaja, kelahiran sehat,
kematian akibat langsung dan tidak langsung, perkawinan dini, perkawinan
dewasa, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas, daerah kumuh, korban
tawuran, kemacetan lalulintas, dan lain-lain.
SMA 2
Wonosari sebagai Pilot Project
Untuk konteks Gunungkidul, satu-satunya sekolah yang
memiliki SSK adalah SMA 2 Wonosari, yang pada 11 Oktober 2018 secara langsung
dicanangkan oleh Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Drs Bambang Marsudi, MM (waktu
itu beliau masih aktif, belum purna tugas). Dengan dicanangkannya SSK tersebut,
maka SMA 2 Wonosari menjadi pilot project,
karena menjadi sesatunya lembaga pendidikan yang berkomitmen kepada
masalah-masalah kependudukan.
Pada kesempatan itu, Bambang Marsudi mengatakan bahwa
dengan launching ini SMAN 2 Wonosari ini diharapkan agar para
siswa dapat memupuk kesadaran dan bertanggung jawab atas dinamika kependudukan
serta menghasilkan generasi mendatang pemegang steak holder yang kelak dapat
mengatasi masalah kependudukan. SSK di SMA 2 Wonosari ini merupakan binaan dari
BKKBN DIY. Selain SMAN 2 Wonosari sebagai SSK juga ada SMA yang lain di DIY
yaitu SMA BOSA Yogya, SMAN 1 Banguntapan Bantul, SMAN 1 Pengasih
Kulonprogo dan SMAN 1 Ngaglik Sleman. Dikatakan juga oleh Bambang waktu itu,
agar kiranya SSK di SMAN 2 Wonosari ini eksis dan dapat menjadi role model yang dapat ditiru
sekolah-sekolah lain di Kabupaten Gunungkidul.
Dihubungi
oleh redaksi Cahaya Keluarga, Kepala
SMA 2 Wonosari, Sumardi, MPd mengatakan bahwa dalam praktiknya, SSK
di lembaga yang dipimpinnya itu mengintergrasikan pendidikan Kependudukan
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) ke dalam beberapa mata
pelajaran atau muatan lokal khusus materi tentang kependudukan. “Tetapi,” Pak
Mardi (panggilan akrabnya), “perlu dipahami bahwa materi kependudukan itu terjabar
ke dalam beberapa hal. Pertama terjabar dalam materi pelajaran sendiri.
Implementasinya, untuk pelajaran-pelajaran yang kompentensi dasarnya terkait dengan
isu KKBPK, maka akan dibuatkan RPP-nya, di mana nanti di dalamnya materi-materi
KKBPK bisa dimasukan, meski tidak semuanya. Prinsipnya ada yang nyambung.”
“Kemudian yang kedua,”
lanjut Sumardi, “di samping lewat pendidikan mata pelajaran, SSK ini juga
dijalbarkan dalam bentuk Pojok Kependudukan. Pojok Kependudukan ini ibaratnya
merupakan perpustakaan mini yang memuat materi-materi tentang kependudukan,
yang datanya bukan saja dalam wujud buku, tetapi juga data-data dinding,
infografis, dll. Saya bersyukur, di SMA 2 Wonosari sendiri kebetulan kualitas
perpuastakaan kita cukup membanggakan. Kita belum lama ini mengikuti lomba
perpustakaan dan menyabet juara tingkat provinsi DIY. Di SMA kami ada beberapa
pojok, ada Pojok Kepolisiaan, Pojok Hukum, Pojok Kependudukan, dll. Untuk Pojok
Kependudukan, yang dimuat adalah materi-materi tentang kependudukan, yang
sebagai penanggungjawabnya adalah kelompok peduli kependudukan (KPK). Mereka
bertanggung jawab memberi edukasi kepada teman-teman sekolahnya tentang
materi-materi kependudukan, baik dalam bentuk brosur, buku-buku, serta sosialisasi
ke kelas-kelas tentang materi itu.”
Diakui oleh Sumardi, awal-awal
program SSK dicanangkan memang cukup memberatkan. “Banyak kendala yang kami
hadapi,” katanya. “Yang pertama adalah dari segi pendidiknya. Mereka awalnya
berpikir, merasa khawatir, jangan-jangan ini merupakan suatu mata pelajaran
tersendiri. Sehingga dikira akan menambah beban kerja. Artinya, karena materi
harus masuk ke dalam RPP, maka otomatis mereka harus merangkai pembelajaran
yang lebih baik, yakni bagaimana agar materi bisa masuk di efektif diterima
oleh anak-anak. Itu tidak bisa dipungkiri menjadi kekhawatiran awal.”
“Yang kedua,” lanjut Sumardi,
“tantangan yang dihadapi adalah karena ini hal baru, berati seakan-akan masih dalam
fase mencari-cari, apa tho sebenarnya
SKK itu? Dalam rangka itulah, kami berkoordinasi dengan semua pihak di
lingkungan sekolah, baik guru, siswa, juga pihak Komite Sekolah. Akhirnya
disepakati kita mengadakan forum dengan menghadirkan narasumber-narasumber
cukup kompeten dalam isu ini. Kita langsung hadirkan narsum dari Perwakilan BKKBN
DIY kala itu. Alhamdulillah, dengan forum tersebut, semua jadi
terang-benderang. Baik guru, siswa, KS, semua memahami pentingnya masalah ini.
Ini masalah kita bersama, sehingga kita harus berkomitmen untuk peduli kepada
isu-isu kependudukan, berkomitmen untuk menyiapkan generasi muda kita menjadi
manusia yang peduli kependudukan, sehingga mereka benar-benar siap kelak untuk
menyongsong bonus demografi 2020-2035 yang akan datang.”
Mengakhiri
wawancaranya, Pak Mardi menyarankan bahwa komitmen atau kepedulian suatu
sekolah pada isu-isu atau masalah kependudukan sebenarnya tak harus
mensyaratkan memiliki SSK terlebih dulu. Sebab, masalah kependudukan adalah
masalah kita bersama, yang menjadi akar dari masalah-masalah yang lain. Jadi,
kata Pak Mardi, untuk sementara bagi yang belum memiliki SSK, pihak sekolah
bisa menginternalisasikan materi-materi wawasan kependudukan dalam
pelajaran-pelajaran terkait, bisa materi tentang kespro remaja, tentang skill
dan ketrampilan, tentang kelahiran sehat, kematian akibat langsung dan tidak
langsung, perkawinan dini, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas,
kawasan kumuh, kemacetan lalu lintas, dll. “Untuk sekolah-sekolah yang sudah
memiliki PIK-R, maka wadah ini menjadi cukup efektif untuk menyampaikan
materi-materi seputar kespro remaja, tentang hidup sehat tanpa narkoba, atau
menghindati pernikahan dini. Semua bisa dilaksanakan dengan mudah, sesuai
dengan lingkungan dan kebutuhan masing-masing. Saya berharap, ke depan SSK
tidak hanya di SMA 2 Wonosari, tetapi juga akan merambah sekolah-sekolah lain
di Gunungkidul,” pungkas Pak Mardi. Semoga. Amin.(*) [Sabrur Rohim, SAg, MSI, PKB Girisubo, dari pelbagai sumber]
0 Comments