Oleh: Muh Kamsun
(Kepala KUA Gedangsari, Gunungkidul)

Yang jelas, pengesahan
revisi tentang umur minimal menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun dalam revisi
UU Perkawinan tersebut sangat melegakan semua pihak. Perjuangan menaikkan
batas usia minimal menikah 16 tahun bagi perempuan menjadi 18 tahun dan kini
terealisasi menjadi 19 tahun berlangsung lama.
Bebeberapa kali diajukan
gugatan di Mahkamah Konstitusi dan selalu kandas. Permohonan terakhir
dikabulkan Mahkamah Konstitusi bukan karena argumen soal kematangan jiwa,
kesehatan organ reproduksi, potensi dan kerentanan terjadi kekerasan dalam
rumah tangga, status anak, dan alasan lainnya.
Mahkamah Konstitusi
mengabulkan gugatan dengan alasan diskriminasi umur. Pembedaan umur minimal 16
tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah perlakuan diskriminatif
yang bertentangan dengan konstitusi.
Terlepas dari alasan
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan, berbagai permasalahan sosial berkaitan
dengan pernikahan anak cukup memprihatinkan. Ada persoalan perampasan hak-hak
anak, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, perdagangan anak,
putus sekolah, stunting, pengangguran, kematian ibu
melahirkan, gangguan kanker serviks, kemiskinan dan kekumuhan lingkungan, serta
penurunan kualitas generasi.
Akibat Sangat Serius
Akibat pernikahan usia anak
memang sangat serius sehingga harus diatasi secara sungguh-sungguh. Salah
satu penyebabnya adalah undang-undang perkawinan yang mengizinkan pernikahan
pada usia dini itu. Menyertai revisi undang-undang tersebut, berikut ini
catatan saya sebagai praktisi pencatatan pernikahan.
Pertama,
dengan pemberlakuan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun dalam
undang-undang perkawinan, selesai sudah silang sengketa mengenai perbedaan
tentang usia dini. Selama ini pencatat nikah berpendapat usia dini dihitung
sesuai dengan undang-undang perkawinan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16
tahun untuk perempuan.
Jika di bawah umur
tersebut, untuk dapat melangsungkan perkawinan calon pengantin harus mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam). Sementara UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan anak adalah mereka yang
berumur di bawah 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, istilah
pernikahan usia dini pun memiliki standar yang berbeda. Bagi pencatat nikah,
dengan merujuk UU No. 1/1974, menikah dini adalah di bawah usia 19 tahun bagi
laki-laki dan di bawah usia 16 tahun bagi perempuan. Dengan pemberlakuan usia
minimal 19 tahun dalam undang-undang perkawinan yang telah direvisi, kini semua
pihak sepakat tentang batas yang disebut usia dini.
Kedua,
tentang penambahan usia menjadi minimal 19 tahun yang dibarengi
klausul pengetatan dispensasi nikah. Dalam revisi UU Perkawinan,
pengetatan izin dispensasi dimasukkan dalam salah satu pasal perubahan.
Itulah sebabnya beberapa kalangan menyebut revisi UU Perkawinan adalah lompatan
besar untuk membangun peradaban baru.

Bukti-Bukti Pendukung
Permohonan pun harus dengan
alasan mendesak disertai bukti-bukti pendukung. Tambahan lainnya bahwa
pengadilan disyaratkan mendengar pendapat dari dua calon pengantin, hal yang
selama ini tidak diatur.
Ketiga,
dengan perubahan batas umur minimal perlu langkah edukasi kepada masyarakat
akan pentingnya pendewasaan usia menikah. Ketentuan batas minimal umur
perkawinan yang ketat harus dibarengi sosialisasi dan edukasi intensif
mengingat peristiwa menikah dini sering kali disebabkan berbagai faktor seperti
paham keagamaan, kehamilan tidak diinginkan, faktor orang tua, dan
lain-lain.
Edukasi tentang akibat
buruk menikah dini dan perlunya kedewasaan membentuk keluarga/rumah
tangga yang kukuh harus diupayakan. Jika ini dapat dilaksanakan dengan
baik, permohonan dispensasi menikah dengan sendirinya akan berkurang.
Jika tidak, pada masa depan
angka permohonan dispensasi menikah karena alasan kurang umur akan naik
drastis. Upaya membangun keluarga yang kukuh dan berkualitas tidak cukup hanya
dengan menaikkan usia minimal menikah. Untuk itu setidaknya dua hal berikut
perlu dilakukan.
Pertama,
pembekalan untuk setiap pasang pengantin tentang membangun keluarga
kukuh dan harmonis. Bila perlu setiap pasang pengantin diwajibkan mengikuti
pembekalan sebelum melangsungkan perkawinan. Kedua, penguatan sumber daya manusia dan
revitalisasi lembaga yang berkecimpung dalam pelayanan perkawinan dan
pemberdayaan keluarga.

*Note: artikel ini sudah pernah dimuat di Solopos edisi 2 September 2019, dipublikasikan ulang di blog ini atas seizin penulis.
0 Comments