Untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan kader PPKBD desa dan Sub PPKBD dusun
se-Kecamatan Girisubo, maka diadakan kegiatan Pertemuan KKBPK tingkat kecamatan.
Acara ini dihadiri, sebagai undangan menjadi peserta, oleh 5 orang kader setiap
desa, yang terdiri atas 1 (satu) orang PPKBD dan 4 (empat) orang Sub PPKBD.
Sekecamatan ada 8 desa, sehingga total peserta kegiatan adalah 40 orang. Acara
dilaksanakan Selasa (17/09) berlokasi di BPKB Girisubo dan dimulai pukul 08.30
WIB, berakhir pukul 13.00 WIB.
Acara
dibuka terlebih dulu dengan berdoa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars
KB. Kemudian, acara dilanjutkan sambutan oleh Sekcam Arif Yahya, SSTP, yang
intinya mengapresiasi kegiatan seperti ini karena dapat meningkatkan kualitas
SDM kader kecamatan. “Apalagi, materi hari ini adalah Kesetaraan Gender dan
Perlindungan Perempuan dan Anak, dua materi yang sangat penting, mengingat
masalah-masalah pemberdayaan kaum perempuan di sektor publik, kekerasan
terhadap perempuan dan terhadap anak, dan sejenisnya, masih menjadi isu hangat
di lingkungan kita, sehingga kita perlu mengetahui seluk beluk masalah ini,
serta bagaimana mencari jalan keluarnya, sehingga masyarakat kita bisa hidup
sejahtera dan terhindar dari masalah-masalah seperti itu. Minimal, angka
kasusnya bisa kita turunkan,” ujar Arif.
Hudoyo, SSos, selaku Koordinator PKB Girisubo memberi
penekanan bahwa kegiatan ini merupakan paket dari OPD KB tingkat kabupaten,
yakni DP3AKBPMD Gunungkidul, dengan dana BOKB BKKBN Pusat, sehingga memang
semua kecamatan di Gunungkidul menyelenggarakan kegiatan yang sama. Harapannya,
kata Hudoyo, para kader bisa tahu dan paham lebih jauh tentang permasalahan
gender, perlindungan perempuan, perlindungan anak, lalu menerapkannya dalam
kehidupan bermasyarakat, juga mensosialisasiakannya agar ilmu dan pengetahuan
ini sampai ke masyarakat, sehingga lebih banyak lagi warga masyarakat yang
mengetahuinya. “Kami tidak mungkin menjangkau semua lapisan masyarakat. Ibu-ibu
kader lah yang menjadi kepanjangan tangan petugas kecamatan,” tegas Hudoyo.
Materi
pertama disampaikan oleh Ketua TP PKK Girisubo, Margiyati, SPd, yang memaparkan
tentang gender dalam program KKBPK. Disampaikan oleh Margiyati pengertian
tentang gender dan seks. Gender adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan
perempuan karena konstruksi sosial dan bisa berubah, bisa diubah, sesuai
tuntutan perkembangan zaman. Sedangkan seks adalah perbedaan fungsi biologis laki-laki
dan perempuan yang merupakan bawaan kodrati dari Tuhan yang tidak bisa berubah.
“Sekarang banyak kaum perempuan yang ambil peran dalam lingkup domestik,
menunjukkan bahwa mereka bisa bertukar peran dengan kaum laki-laki di ranah
sosial. Akan tetapi, satu hal yang tak boleh ditinggalkan adalah bahwa secara
kodrati mereka adalah kaum perempuan yang punya tugas hamil, melahirkan,
menyusui, yang ini semua tidak bisa digantikan oleh kaum lelaki. Jadi, boleh
berperan di luar rumah sepanjang tidak meninggalkan fungsi kodratiahnya sebagai
perempuan,” papar Margiyati.
Materi
kedua disampaikan oleh Dewi Julianti, SH, dari Rifka Annisa Yogyakarta, dengan
tema, Perlindungan Perempuan dan Anak.
Terlebih dulu Mbak Ulie, panggilan akrabnya, memaparkan data kasus kekerasan
terhadap perempuan di wilayah DIY yang masuk dalam data Rifka Annisa per
Agustus 2019 yang sudah mencapai angka 300-an lebih, yang mayoritasnya adalah
KTI (kekerasan terhadap istri). Menurut Ulie, konstruksi gender di masyarakat
sangat berpengaruh pada besar kecilnya kasus yang muncul. Belakangan ini
kasus-kasus yang dilaporkan ke Rifka meningkat cukup tajam. “Tetapi, kami
bersyukur karena data ini menunjukkan semakin banyaknya perempuan yang sadar
akan haknya, sadar bahwa perlakuan kekerasan terhadap mereka tidak bisa
didiamkan begitu saja, sadar bahwa mereka berhak menentukan nasibnya sendiri,
jangan selalu disubordinasi oleh kaum lelaki secara semena-mena,” kata Ulie.
Lebih
lanjut Ulie menyarankan agar kaum perempuan berani bersuara demi kepentingan
mereka sendiri. Selama ini banyak program yang dibuat oleh pemerintah,
khususnya di tingkat desa, tidak responsif atau sensitive terhadap urusan
perempuan. Artinya, kepentingan-kepentingan kaum perempuan seperti penyuluhan
gender, perlindungan perempuan, dll, atau pelatihan bagi kaum perempuan untuk
meningkatkan kapasitas, dan sejenisnya, kurang terakomodasi. Tetapi, kata Ulie,
ini salah perempuan juga karena kurang bersuara ketika menyusun program. “Maka
dari itu, di dalam forum Musrenbangdesa, semestinya kaum perempuan hadir,
bersuara, dan mengusulkan program yang menyasar kaum perempuan dan mengawal
betul agar program tersebut dilaksanakan secara riil,” ajak Ulie.
Terhadap
masalah-masalah yang dialami kaum perempuan di unit RT, dusun, atau desa, diharapkan
kader bisa memaksimalkan perannya masing-masing sebagai konselor yang baik.
Jika ada masalah KTI (kekerasan terhadap istri), misalnya, para kader bisa
menjadi pendengar yang baik jika ada warga yang curhat, dan tidak usah
menghakimi. Prinsip utama seorang konselor ada mendengar, dan hanya mendengar,
itu saja. “Kita juga tidak boleh mengarahkan ke klien kita tentang suatu
solusi,” lanjut Ulie. “Kita hanya bisa memberi wawasan dan gambaran tentang
beberapa alternatif solusi, disampaikan segi baik dan buruknya,
akibat-akibatnya, keuntungan dan kerugiannya. Tetapi solusi apa yang akan
dipilih, itu sepenuhnya hak klien kita. Karena, sebenarnya, ketika seseorang
memiliki masalah, ia sudah memiliki solusi pada dirinya sendiri. Tugas kita
hanya bantu dia menggali solusi tersebut.”
Ulie
juga memaparkan secara ringkas kecenderungan klien dalam menyelesaikan masalah
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami kaum perempuan. Secara umum dibagi
menjadi tiga; yang terbesar adalah dengan jalan damai atau penyelesaian secara
kekeluargaan, berikutnya adalah dengan jalan perceraian karena merasa sudah
tidak kuat menghadapi kekerasan yang dialaminya, dan yang terakhir (dengan
jumlah terkecil) adalah dengan jalan pemidanaan, yakni mealporkan ke pihak
berwajib dengan pasal pidana.
Dipaparkan
oleh Ulie juga bermacam-macam kekerasan terhadap perempuan, yakni antara lain:
kekerasan secara psikologis, kekerasan secara ekonomi, kekerasan secara
seksual, kekerasan secara fisik, dan kekerasan secara sosial. Semua jenis
kekerasan ini banyak terjadi di masyarakat. “Saya harap ibu-ibu kader di rumah
menjadi teladan bagi warga di sekitarnya untuk menghindarkan seluruh anggota
keluarga dari praktik KDRT, yang biasanya para pelaku adalah orang-orang
terdekat. Selanjutnya, saya berharap sekali, ibu-ibu kader menjadi penyuluh,
menjadi pasukan getok tular untuk
menginformasikan tentang pentingnya gender, perlindungan perempuan, perlindungan anak ini, kepada masyarakat secara lebih luas,” pungkas
Ulie.
Selesai
materi, acara dilanjutkan tanya jawab dan kuis. Banyak pertanyaan yang muncul
dari para kader dan dijawab oleh nasrum dengan baik. Pada sesi kuis, PKB dan
narsum memberikan pertanyaan seputar materi yang disampaikan, dan kader yang
bisa menjawab dengan baik dan benari dihadiahi buku dari Rifka Annisa. Acara
ditutup dengan doa dan dilanjutkan acara makan siang dan salat, lalu pulang.(*)
[Sabrur Rohim, SAg,
MSI, PKB Girisubo]
0 Comments