Angka bunuh diri di Gunungkidul saban tahun selalu
tinggi. Rata-rata di kisaran 30-an per tahun, kurang dan lebih. Tahun 2018
kemarin 30. Tahun ini, per Agustus 2019 (ketika tulisan ini dibuat), sudah
mencapai 22 kasus, terakhir di Dusun Wuni, Nglindur, Girisubo. Menurut Wage
Dhaksinarga, sebenarnya tidak juga bisa dikatakan secara pasti bahwa di
Gunungkidul angkanya tertinggi di DIY, atau bahkan dalam konteks nasional.
Hanya saja, memang ada kelebihan di Gunungkidul, yakni kejelasan data
kasus-kasus tersebut. Datanya valid, obyektif, akurat, komprehensif, serta
terbarukan setiap waktu. Sedangkan di wilayah (kabupaten lain), datanya
cenderung tidak atau belum jelas, baik menyangkut angka ataupun detil-detil
yang lain. Sehingga, kasus bunuh diri di Gunungkidul pun lebih menarik untuk
diteliti, dikaji, dianalisis oleh orang-orang yang konsern dengan masalah ini
ketimbang di kabupaten/wilayah lain. Belum lagi ada sesuatu yang sangat “seksi”
di Gunungkidul untuk fenomena bunuh diri ini, yakni adanya mitos “pulung
gantung” yang berkembang di masyarakat.
Beberapa waktu lalu, pada acara seminar sehari “Pencegahan Gangguan Jiwa dan Bunuh Diri Melalui Ketahanan Keluarga dan Masyarakat,” Kamis (8/8), di auditorium STAIYO Wonosari, dalam sambutannya Bupati Gunungkidul, Hj Badingah, SSos, menjelaskan bahwa masih tingginya angka pengidap gangguan jiwa atau lazim disebut ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) dan bunuh diri di Daerah Istemewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Gunungkidul, cukup memprihatinkan kita semua. Kondisi ini, ujar Badingah, menjadi evaluasi seluruh pemangku kepentingan bahwa penanganan bagi pengidap ganguan jiwa dan juga kasus bunuh diri ini, baik secara promotif maupun prefentif, belum dapat dilakukan dengan optimal. Banyak aspek yang menjadi sebab masih tingginya angka gangguan jiwa dan kasus bunuh diri ini, dan ini harus menjadi perhatian kita semua, agar semakin ke depan semakin sungguh-sungguh dalam mengevaluasi masalah tersebut sesuai dengan peran kita masing-masing secara proposional dan prefektif.
Dalam konteks ini, menurut Badingah, kondisi atau
keberadaan keluarga ini dinilai menjadi faktor yang yang menentukan keberhasilan
penangan kasus ODGJ atau percobaan bunuh diri. Menyadari betapa penting
keberadaan keluarga menyelesaikan permasalahan ini (ODGJ dan bunuh diri), maka
penting menggerakkan masyarakat untuk
bersama-sama berkontribusi menanggulanginya. Menurut Badingah, masalah ODGJ dan
bunuh diri ada kaitannya dengan persoalan kesehatan dan sosial. Badingah juga
mempermasalahan ketahanan keluarga yang dari hari ke hari mengalami krisis pada
sebagian keluarga kita, juga kearifan lokal yang semakin hari semakin luntur
dalam kehidupan masyarakat kita. Suasana kekeluargaan, kebahagiaan, dan kesehatan
keluarga semakin berkurang seiring kian menonjolnya sikap individualis pada
sebagian masyarakat kita.
Maka dari itulah, dalam kesempatan itu, Badingah
memberi apresiasi yang tinggi atas pencanangan Kampung KB Sehat Jiwa, di
Padukuhan Wareng, Desa Kemiri, Kecamatan Tanjungsari. Badingah berharap, dengan
semakin banyak komunitas juga dan gerakan-gerakan masyarakat di dalam mendorong
terwujudnya ketahanan keluarga, makin tingginya kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pola dan keteladanan dalam berperilaku hidup sehat secara jasmani dan sehat
rohani, maka keluarga-keluarga yang bahagia dan harmonis ini akan mengispirasi masyarakat
lain untuk melestarikan dan mengedepankan nilai-nilai etika sosial kemanusiaan
dan budaya. Sehingga keluarga mampu menjadi benteng yang kuat untuk
menangulangi sosial dan kesehatan.
Struktur
Penduduk
Ketua
Koalisi Kependudukan DIY yang sekaligus peneliti pada PSKK (Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan) UGM, Dr Pande Made Kutanegara, MSi, dalam
kesempatan seminar sehari itu, memaparkan bahwa Gunungkidul sekarang ini sudah
mengalami perubahan yang luar biasa. Sekarang Gunungkidul sudah berbeda dengan
beberapa dekade yang lalu, sudah lebih maju dan lebih sejahtera. “Dulu orang
Gunungkidul sendiri, ketika merantau dan ditanya asal daerah, mereka akan malu
berterus terang mengaku sebagai orang Gunungkidul. Mereka lebih percaya diri
menyebut asalnya Wonosari (nama salah satu kecamatan). Tetapi sekarang, orang
Gunungkidul sangat percaya diri menyebut nama Gunungkidul sebagai asalnya.
Karena memang sekarang Gunungkidul jadi primadona, jadi tujuan wisata, karena
tempat-tempat wisatanya sungguh memikat semua orang. Adanya banyak kunjungan
wisatawan ke Gunungkidul ini juga secara tidak langsung berdampak pada
meningkatnya perekonomian warga Gunungkidul, karena kemudian banyak membuka
peluang usaha di bidang kuliner, kerajinan, transportasi, pemandu wisata,
penginapan, dan lain sebagainya,” terang Pande.
Pande menambahkan bahwa jumlah orang miskin di
Gunungkidul setiap tahun bertambah, tetapi angka kemiskinan turun jika kita
melihat dari konsumsi penduduk. Yang jelas, lanjut Pande, meski keadaan
Gunungkidul sekarang sudah lebih baik, lebih sejahtera, tetapi itu belum
benar-benar menjanjikan perubahan hidup kepada sebagian besar warganya. “Ini
bisa kita lihat masih banyaknya warga Gunungkidul yang memilih keluar kota,
merantau, atau migrasi untuk memperbaiki perekonomian. Banyak penduduk yang
produktif mencaru uangnya bukan di Gunungkidul, tetapi di luar kota. Inilah
yang kemudian menyebabkan banyaknya lansia di Gunungkidul. Mereka tinggal di
rumah, sementara anak-anaknya pergi merantau. Kondisi seperti ini, jika tidak
dikelola dengan baik juga akan melahirkan masalah. Kesendirian, sebatang kara,
apalagi kemudian ditambah dengan sakit dan kekurangan secara ekonomi, bisa
berpotensi menimbulkan tekanan (stres), cemas, bahkan depresi. Jika berlarut,
ini yang kemudian akan berujung kepada aksi bunuh diri di kalangan orang-orang
yang lanjut usia dan sakit-sakitan,” papar Pande.
Gejala Sakit
Mental
Psikolog,
konsultan, sekaligus dokter di RSUD Wonosari, dr. Ida Rochmawati, MSc, SpKJ, yang juga menjadi
narsum utama dalam kegiatan tersebut mengajak para ibu-ibu PPKBD untuk
mewaspadai gejala-gejala yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami gangguan
mental. Menurut dr Ida, begitu sapaan akrabnya, ada sejumlah tanda dan gejala bahwa seseorang mengalami
gangguan jiwa, antara lain: (1) alam perasaan (affect) tumpul dan
mendatar. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak
menunjukkan ekspresi; (2) menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn),
ia tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day
dreaming); (3) delusi atau waham, yaitu keyakinan yang tidak rasional
(tidak masuk akal) meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya
itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya; ia sering
berpikir atau melamun yang tidak biasa (delusi); (4) mengalami halusinasi,
yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan, misalnya penderita mendengar
suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari
suara atau bisikan itu; (5) merasa depresi, sedih atau stres tingkat tinggi
secara terus-menerus; (6) kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas
sehari-hari walaupun pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun;
(7) paranoid (cemas atau takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak
perlu ditakuti atau dicemaskan; (8) suka menggunakan obat hanya demi kesenangan;
(9) memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri; (10) terjadi
perubahan diri yang cukup berarti; (11) memiliki emosi atau perasaan yang mudah
berubah-ubah; (12) terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya;
(12) pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa; (13) gejala gila yang
sangat mengganggu, yaitu kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya, misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan
pikirannya.
Selain itu, lanjut Ida, ada beberapa tanda sakit
mental berikut juga sangat mengganggu, di antaranya (1) membuat gaduh, gelisah,
tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira
berlebihan; (2) kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, dan pendiam;
(3) sulit dalam berpikir abstrak; serta (4) tidak ada atau kehilangan kehendak
(avalition), tidak ada inisiatif, tidak ada upaya usaha, tidak ada
spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas dan selalu
terlihat sedih.
Hindari
Stigma
Ida berharap agar para kader KB, yang notabene sebagai
tokoh-tokoh di masyarakat, sebagai kepanjangan tangan petugas kecamatan, bisa
mengawal dalam bersikap secara bijak dalam melihat fenomena gangguan mental.
Selama ini ada kecenderungan, ketika seseorang mengalami gejala-gejala yang
mengarah kepada gangguan mental, lantas masyarakat memberi stigma negatif, yang
memberi kesan bahwa sakit jiwa itu sesuatu yang negatif, membahayakan, sehingga
penderita harus diisolasi; sakit jiwa itu sebentuk “kerasukan setan”, “kerasukan
jin”, sehingga penderita harus dibawa ke “orang pintar” (dukun), dan
seterusnya. Padahal, tegas Ida, sakit mental adalah tidak berbeda dengan sakit
pada umumnya, hanya saja yang sakit adalah psikisnya, mental, bukan fisiknya,
sehingga memang tidak kelihatan secara kasat mata. Ketika seseorang mengalami
gejala sakit mental, sakit jiwa, harusnya kita jangan memberi stigma negatif,
karena stigma itu justru akan membuat keluarganya malu dan kemudian menutup
diri, mengisolasikan, dst. Kita harus membantu keluarga penderita untuk
menguatkan ikatan keluarganya, mengajak penderita agar konsultasi ke psikolog,
dokter jiwa, baik di rumah sakit, dokter praktik, atau fasilitas kesehatan
lainnya. Dengan pengobatan medis yang rutin dan baik, maka gejala-gejala itu
bisa diredam, sehingga pasien tidak sampai ke taraf ke sakit jiwa (gila), atau
sampai melakukan tindakan bunuh diri.
“Sekian lama ini ada kecenderungan, akibat
stigma negatif tersebut, penderita gejala sakit jiwa tidak segera dibawa ke
fasilitas kesehatan, tetapi malah diisolasi, dan ketika sampai pada taraf akut
yang mengganggu masyarakat, baru kemudian diobati. Tentu saja, itu sudah
terlambat. Walhasil, tidak ada jalan lain lagi. Penderita dibawa ke rumah, dank
arena khawatir akan menggangu lingkungan, dipasung,” lanjut Ida. “Harusnya,
ketika masih pada taraf gejala, masih berupa tanda-tanda awal, segera saja
diobati, dibawa ke fasilitas kesehatan, sebelum menimbulkan dampak yang lebih
luas. Sebab, kalau sampai terjadi kegilaan, kemudian sampai si penderita
melakukan hal-hal yang di luar kontrol, maka lingkungan masyarakat sendiri yang
akan merasakan dampaknya.”
Pulung
Gantung. Adakah?
Dalam kesempatan itu pula, dr Ida menyatakan
terang-terangan tidak setuju jika kasus-kasus bunuh diri dikaitkan dengan
pulung gantung. Sejauh yang beliau teliti, tidak bisa dibuktikan adanya kaitan
antara kasus bunuh diri dengan pulung gantung—sebagaimana yang berkembang dalam
pembicaraan publik. “Sekarang saya ingin tanya kepada ibu-ibu semua,” tantang
dr Ida selanjutnya, “siapa di antara ibu-ibu yang pernah nyata-nyata melihat
bentuk pulung gantung? Coba tunjuk jari!”
Tidak ada satu pun kader PPKBD yang
mengacungkan jarinya. Ida kemudian menjelaskan, bahwa aksi bunuh diri lebih
disebabkan oleh keadaan jiwa atau mental yang sakit, yang terganggu, yang jika
tidak terobati dengan baik dan berlangsung terus-menerus akan sampai pada taraf
keinginan mengakhiri hidup dari si penderita. “Maka tugas kita adalah bagaimana
bersama-sama mencegah terjadinya kasus bunuh diri, dengan cara menunjukkan
empati dan kepedulian kepada orang-orang yang mengalami gejala sakit jiwa;
berkomunikasi dengan mereka, ngaruhke,
mengajak mereka berobat, diobati, ke fasilitasi medis, supaya jangan sampai
gangguan yang menimpa mereka justru makin berat dan kemudian sampai pada level
ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) ataupun bunuh diri,” pungkas dr Ida.
Dihubungi secara terpisah, Wage Dhaksinarga dari
Yayasan IMAJI (Inti Mata Jiwa), bahwa orang ingin bunuh diri sebenarnya bukan
ingin mati, tetapi ingin lepas dari permasalahan yang menghimpitnya, seperti ekonomi,
penyakit, atau masalah-masalah di rumah tangga, dan sebagainya. Wage sepakat
dengan dr Ida, bahwa bunuh diri lebih berkaitan dengan kesehatan mental. Wage
mencontohkan, berdasarkan pengalaman dan penelitiannya sendir, bahwa di
Gunungkidul ini banyak kasus di mana orang yang sudah 10 tahun dengan gagal
ginjal, tetapi dia semangat hidunya luar biasa, ada orang 19 tahun hidup dengan
stroke, tetapi semangatnya luar biasa. Tetapi, ada yang baru mengidap sakit
mata 2 minggu ternyata memilih gantung diri karena tak tahan dengan sakitnya.
Ini artinya apa? Ini artinya, sebabnya lebih karena mentalitasnya.
Lebih jauh, Wage juga tidak sepenuhnya sepakat bahwa
faktor kesulitan ekonomi adalah penyebab orang kemudian melakukan aksi bunuh
diri. Aksi bunuh diri sesungguhnya terjadi karena stres yang berat. Pemicu
stresnya bisa macam-macam. Bisa juga karena ekonomi, tetapi sekali lagi ekonomi
ini hanya sebagai stressor. “Dalam bahasa yang paling mudah, yang lebih miskin
dari orang kebanyakan yang akan melakukan bunuh diri; tetapi nyatanya, banyak
orang yang lebih miskin justru tidak melakukan bunuh diri. Itu kalau mau
disepakati perkaranya adalah ekonomi. Dari data yang saya punya, tampak bahwa
ada 5 besar kecamatan di Gunungkidu yang itu merupakan kecamatan yang maju
secara perekonomian, misal Wonosari, Playen, Semanu, Karangmojo, Ponjong. Itu 5
besar daerah yang subur, tetapi ternyata angka bunuh dirinya tertinggi dibanding
kecamatan yang lain di Gunungkidul. Jadi menurut saya, dari data itu jelas menunjukan
bahwa ekonomi itu tidak selalu menjadi maslah utama, tetapi kembali ke mental
diri kita masing-masing,” papar Wage.
Tentang pulung gantung, Wage mengamini apa yang
disampaikan dr Ida, bahwa tidak ada bukti yang benar-benar bisa disimpulkan
bahwa ada kaitan antara pulung gantung dengan aksi bunuh diri. “Saya mengamati
kasus ini sudah sangat lama, sejak 1998. Setiap ada kasus, orang selalu
mengaitkan. Tetapi satu hal, isu pulung gantung baru ada setelah terjadi gantung
diri, tidak ada yang sebelumnya. Setiap ada peristiwa gantung diri, semua orang
banyak berpekulasi tentang pulung gantung. Tetapi, saya tidak pernah jumpai
seorang pun yang bersaksi pernah melihat pulung gantung,” tegas Wage.
“Saya melihat, istilah pulung gantung sebagai
ungkapan untuk menamai,” papar Waeg. “Maksud
saya begini. Kalau di kebudayaan Jawa, kita melihat apa pun selalu diwujudkan
dalam bentuk fisik. Misalnya kalau dalam tradisi Jawa seperti kenduren itu kan
tetua kampung menyebut, bahwa benda ini untuk menandakan bla bla bla…, dst. Saya membayangkan dulu itu seperti itu. Atau
ini hanya imajinasi saya karena tidak punya pisau untuk membedah sebagai sebuah
analisis. Saya membayangkan, dulu itu ada pristiwa bunuh diri, terus kemudian
orang tidak bisa membongkar. Ini persoalanya apa? Kenapa dia bunuh diri?
Padahal segala apa pun dinamai. Di Jawa ini, ada kata pulung dan gantung. Itu bukan
satu kata, tetapi itu dua kata dari. Dalam kamus bahasa Jawa juga tidak ada yang
disebut pulung gantung. Tetapi, sebagaimana saya tegaskan tadi, sekali lagi
orang Jawa itu butuh menamai setiap hal. Sama halnya ketika misalnya ada orang
yang meninggal misterius, maka itu pun harus dinamai. Ini mau di namai apa? Karena
misterisu, maka mereka menamai “ pulung”. Tetapi pulung apa? Karena meninggal
secara menggantung diri, maka disebutlah pulung gantung.”
Wage melanjutkan, bahwa gelu sebenarnya hanya mitos belaka, sama dengan pulung gantung.
“Tidak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa ada kaitan antara
gantung diri dengan gelu,” ujar Wage.
Makanya hari, kata Wage, saya dan teman-teman IMAJI tidak peduli apakah ada pulung
gantung itu atau tidak, atau terserah mereka mau mengistilahkan apa, tetapi yang
terpenting hari ini adalah bagaimana pulung gantung itu tidak berada terus di
otak seluruh rakyat Gunungkidul.
Wage kemudian menjelaskan persoalan gangguan
kesehatan mental dan bunuh diri lebih dari sudut pandang ilmiah. “Sebenarnya
kita harus sadar bahwa manusia itu merupakan makhluk yang holistik,” kata Wage.
“Manusia adalah makhluk yang terdiri dari 3 hal, yakni fisik, psikologis, dan sosial,
dan bolehlah bisa kita tambahi sebagai makhluk yang spiritual. Tiga hal ini
harus imbang. Hanya saja, kadang-kadang ada manusia yang lebih unggul sisi
fisiknya, atau ada lainnya yang unggul di psikisnya. Idealnya, semuanya harus
seimbang ketiga-tiganya.”
Orang yang mengalami gangguan jiwa, ujar Wage,
berarti aspek psikologisnya bermasalah, tidak ada kaitan sama sekali dengan
masalah lemah iman atau sejenisnya. “Saya tidak setuju jika dikatakan, orang
sakit di jiwanya karena secara iman tidak kuat. Sila berpikiran seperti itu, tetapi
jangan kemudian meninggalkan aspek-aspek yang lain, karena pemahaman agama satu
orang dan yang satunya lagi bisa berbeda. Boleh Anda berbeda pendapat, tetapi
jangan terus kemudian menutup pendapat yang lain. Saya punya contoh kasus yang
lain. Saya punya teman seorang ibu ini hafiz Quran. Dia mengasuh pondok
pesantren, tetapi ibu ini dulu mengalami despresi. Ibu ini kalau kita lihat, dari
sisi iman itu kurang apa? Dia hafiz Quran, pengasuh pondok pesantren, tetapi si
ibu ini terkena ganguan jiwa. Syukurnya, karena pengobatanya maksimal, hari ini
dia stabil dan dia bisa kembali mengajar santri-santrinya. Asal tahu saja, ibu
ini sudah belasan kali melakukan percobaan bunuh diri. Dengan pendampingan yang
baik, serta perawatan medis yang terus-menerus, akhirnya ibu ini bisa selamat
percobaan bunuh diri,” papar Wage.
Peran Kader KB
Wal
akhir, Wage mengatakan, bahwa di Gunungkidul ini ada 3 risiko bunuh diri. Yang pertama adalah orang tua atau lansia
yang tinggal sendiri. Yang kedua
adalah orang dengan ganguan jiwa. Ganguan jiwa ini dalam artian bukan yang di
jalanan, tetapi ganguan jiwa ini macam-macam bisa despresi, stres, takut
berlebihan, tidak bisa tidur, dsb. Gangguan
jiwa itu bisa karena ekonomi, kangen kepada anak cucunya, karena sakit lama ini,
karena masalah keluarga, dll. Yang ketiga
adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini merupakan risiko yang tertinggi. Dari ketiga kelompok
ini, sebenarnya mereka hanya butuh kepercayaan dirinya di tingkatkan lagi,
aktualisasi dirinya, identitas dirinya. Mereka butuh teman. Seseorang bisa merasa
eksitensi kembali tumbuh dan tegak ketika banyak orang yang datang kepadanya terus
memposisikan dia sebagai seseorang.
Bagaimana peran dan tugas kita melihat masalah ini?
Dalam hal ini kita bisa menyimak harapan Hj Badingah, SSos, Bupati Gunungkidul
dalam acara seminar kesehatan mental sebagaimana dikabarkan di awal tadi. Beliau
berharap kepada kader-kader KB, baik PPKBD, Sub PPKBD, ataupun Kelompok KB,
serta kader kesehatan se-Kabupaten Gunungkidul bisa berpartisipasi membantu
pemerintah menanggulangi masalah ini. Sebab, sebagaimana diketahui, kader-kader
KB ini adalah tokoh masyarakat, sehingga mereka dituakan dan dihormati oleh
warga sekitarnya. Tentu saja, tekan Badingah, peran mereka sangat efektif untuk
menggerakkan dan mengubah pola pikir warga masyarakat terdekatnya. Para kader
bisa sering berkunjung dan berkomunikasi, bergaul intensif dengan masyarakat,
terutama kepada tiga risiko tertinggi sebagaimana disebutkan Wage, istilahnya
“ngaruhke”, mendampingi keseharian mereka, menguatkan eksistensi dan
aktualisasi mereka dalam kehidupan masyarakat.
Plt Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Rohdiana Sumariati,
SSos, MSc, juga mengamini harapan seperti itu, yakni tentang pentingnya peran
kader KB dalam ikut menanggulangi masalah ini. “Saya berharap kader-kader
PPKBD, Sub PPKBD, dan Kelompok KB, bisa mencerahi warganya, masyarakat di
sekitarnya untuk bisa membangun ketahanan keluarga yang baik. Para ibu hamil
digerakkan untuk rutin memeriksakan diri, dan ikut KB pasca salin; ibu-ibu
balita ikut BKB agar bisa memahami, mengerti, dan mempraktikkan pengasuhan
balita yang baik; ibu-ibu remaja agar bergabung dengan BKR, agar tahu pola asuh
remaja yang baik, tahu tentang kesehatan reproduksi, dll, sehingga bisa
memahami pentingnya pendewasaan usia perkawinan dan dengan demikian bisa mencegah
terjadinya pernikahan dini atas anak dan warga sekitarnya; keluarga yang punya
lansia, juga lansianya, bisa diajak gabung dengan BKL, agar bisa bergaul dengan
lansia di rumahnya dengan baik, mengerti tentang cara-cara menjadi lansia
tangguh, lansia mandiri, lansia yang berkualitas, dekat dengan Tuhan, dsb,”
ujar Rohdiana.
“Para PUS yang sudah ber-KB, sudah punya anak dua,”
lanjut Rohdiana, “bisa digerakkan untuk bergabung dalam wadah poktan UPPKS,
sehingga bisa menambah penghasilan keluarga. Dengan cara itu semua, insya Allah
ketahanan keluarga akan terwujud. Semua keluarga tentu
punya masalah, punya tantangan. Tetapi, setiap keluarga juga punya potensi,
punya SDM. Yang penting adalah bagaimana mengelola masalah dan SDM itu dengan
baik, untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga secara lahir dan batin. Itulah
pengertian dasar dari ketahanan keluarga. Tujuan utama keluarga berencana (KB)
adalah mewujudkan kesejahteraan keluarga. Jika keluarga sejahtera, sehat lahir
batin, insya Allah pikiran-pikiran buruk tentang keinginan bunuh diri tidak
akan terlintas.”(*) [Sabrur Rohim, SAg,
MSI, PKB Girisbo dan Pimred Cahaya
Keluarga, dari pelbagai sumber]
0 Comments