Membangun
peradaban masyarakat suatu bangsa tidak akan terlepas dari membangun sebuah
keluarga. Masyarakat yang mempunyai
ketahanan kuat hanya akan disusun dari kumpulan banyak
keluarga yang memiliki ketahanan yang kuat pula di dalamnya.
Sebagai sebuah system, keluarga yang memiliki ketahanan terhadap berbagai
serangan dari luar pun tentunya juga dibangun dari individu-individu yang
memiliki ketahanan pribadi yang prima pula.
Konsep
PATBM
Pertanyaan mendasar dalam upaya memberikan perlindungan anak secara terpadu antara keluarga dan
masyarakat adalah: bagaimana memberikan perlindungan anak
secara terpadu di dalam keluarga dan masyarakat? Pertanyaan
ini cukup luas cakupan pembahasannya. Pertama,
apa yang dimaksud dengan perlindungan. Kedua,
batasan anak itu sendiri pada umur berapa. Ketiga,
apa yang dimaksud dengan terpadu antara keluarga dengan
masyarakat.
Konsep perlindungan
pada diri anak bisa mencakup perlindungan fisik jasmani yang mencakup
pertumbuhan yang normal, seperti: tinggi
badan, berat badan, pertambahan jumlah sel jaringan dalam tubuh dan sebagainya.
Kemudian “perlindungan”, dalam pengertian fisik terbebas
dari ancaman dan rasa sakit, pertumbuhan yang tidak normal atau cacat dsb. Sedangkan perlindungan dari aspek
psikis bisa mencakup perkembangan mental, kecerdasan motorik, kecerdasan
berbahasa, kecerdasan bersosial dan kecerdasan intelektualnya, terhindar dari rasa takut, cemas, dsb. Tidak kalah
pentingnya perlindungan terhadap aspek rohaniah yang mencakup segala sesuatu
yang menyangkut aklak kepribadian serta hubungan anak dengan
Tuhannya baik kebaikan di
dunia sampai di akherat nanti.
Di sini perlindungan pada anak juga mencakup di dalamnya
perlindungan dari ancaman pengaruh buruk dari berbagai informasi yang bisa merusak
kepribadian anak baik melaui media cetak maupun elektronik.
Berikutnya batasan pengertian tentang konsep “anak”.
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau
perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Dalam UU No 23 tahun 2002,
misalnya, tercantum dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Konsep “terpadu antara keluarga dan masyarakat”, bisa didefinisikan bahwa upaya
memberikan perlindungan pada anak bukan hanya menjadi tanggung jawab dan beban
keluarga semata, namun juga menjadi kewjiban bagi lingkungan masyarakat
sekitar, termasuk di dalamnya lingkungan sekolah secara bersama-sama.
Pendekatan
Islam
Islam
mengajarkan bahwa anak sebagai amanat dari Allah SWT, wajib hukumnya bagi orang
tua untuk melindungi sejak dini. Artinya, semenjak proses awal reproduksi
sudah diberikan oleh calon orang tua, melalui doa ketika akan berhubungan intim antara suami dan istri. Proses ini dilanjutkan dengan selalu memberikan doa-doa
kebajikan baik
yang bersifat harian maupun pada even tertentu. Misalnya, dalam
agama Islam kita diajarkan untuk melakukan prosesi azan dan ikamat saat bayi
sedang dilahirkan, dengan tujuan memberikan perlindungan pada anak dari
gangguan setan serta mengenalkan lebih awal pada ketauhidan di awal
kehidupannya. Prosesi pendidikan agama dilanjutkan melalui kegiatan akikah dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur pada Allah SWT, serta
memberikan doa kebaikan pada si anak. Kemudian,
setelah itu dilanjutkan dengan prosesi khitan pada
anak laki-laki, dan inipun bertujuan untuk melindungi anak dari gangguan kesehatan pada alat
reproduksinya. Semasa lajang anak
dididik untuk berpuasa (dalam pengertian menjauhkan diri dari perbuatan zina) dan
akhirnya anak akan dilepas sebagai orang dewasa melalui proses pernikahan yang
sah menurut agama.
Agama Islam juga mengajarkan agar
kita selaku orang tua memberikan asupan makanan pada anak-anak dengan makanan
yang halal (dari sisi zat dan sumber didapatkannya), serta thayyib atau
baik untuk kesehatannya. Perlindungan sejak dini juga diperintahkan dalam Islam
supaya para ibu memberikan ASI pada bayinya sampai dua tahun sebagai waktu yang
sempurna, seperti tercantum dalam Alquran surat al-Baqarah:
233.
Rasul Muhammad SAW
banyak memberikan keteladanan dalam pengasuhan
dan perlindungan pada anak. Misalnya, orang tua harus memberikan kasih
sayang, perlindungan, serta bersikap adil pada
anak, baik itu pada anak laki-laki maupun perempuan melalui hubungan interaksi keseharian. Anak juga harus
diberikan perlindungan diri untuk meraih masa depannya agar tidak menjadi
generasi yang lemah melalui pendidikan atau pelatihan, seperti berolah raga
berkuda, panahan, berenang, membaca dan menulis. Itulah sekelumit contoh
bagaimana sikap orang tua yang harus diberikan pada anaknya dalam memberikan perlindungan melalui pendidikan yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Islam sangat mengedepankan perlindungan
anak melalui pembangunan akhlak yang karimah. Adalah wajib bagi orang tua untuk
meletakkan dasar pembangunan karakter dengan nilai ketauhidan,
sikap santun kepada kedua orang tua, tidak berlaku
sombong dalam kehidupan serta mendidik hati agar memiliki akhlak
yang mulia. Semua itu tecermin dalam
keteladanan Lukman al-Hakim yang termuat dalam Alquran. Fondasi
pembangunan akhlak ini sangat vital guna melindungi anak dari berbagai bahaya
pengaruh buruk nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, materialisme, terjangan arus kebebasan individualisme, informasi media
massa, pergaulan bebas, dsb.
Unsur
Keteladanan dan Peran Masyarakat
Perlindungan pada anak oleh orang tua
tidak cukup hanya dalam bentuk pemberian makanan yang cukup
lagi sehat;
mengajari atau mendampingi dalam proses belajar di bangku sekolah formal. Yang
lebih penting lagi yang harus dilakukan orang tua adalah keteladanan, idola
untuk dijadikan model dalam hidupnya. Artinya,
sudah seharusnya orang tua menjadi sosok idola, panutan dalam bersikap,
berbicara, bertingkah laku, bergaul dalam kesehariannya.
Sebagai
contoh, untuk melindungi anak dari pengaruh buruk media informatika (seperti HP, TV, game, dsb), sudah seharusnya orang
tua mengkondisikan kehidupan rumah tangganya untuk tidak terlalu bebas menikmati HP, TV, game, dsb,
dalam durasi waktu yang tidak teratur pada saat jam belajar. Contoh lain, orangtua tidak
seyogianya memberikan tauladan prilaku buruk, seperti berpola kepribadian buruk: mengumbar amarah,
mengumbar sahwat, berbicara kasar, bertindak kasar, berbohong, minum
minuman beralkohol, dsb.
Anak bukanlah benda mati yang hanya berada
di dalam rumah. Mereka butuh bergaul berinteraksi dengan anak-anak lain, orang
dewasa di luar rumah. Tidak mustahil, meskipun pendidikan karakter dirumah sudah cukup baik, misalnya adanya perlindungan dari bahaya
buruk makanan, tontonan,
permainan yang
tidak menyehatkan, namun ancaman bahaya dari luar rumah bisa saja terjadi. Misalnya, keburukan akan
menimpa manakala anak terjerumus dalam pergaulan bebas, ikut atau
terjerumus dalam gang anak
nakal, geng motor, geng klithih, dsb.
Sampai
di
sinilah perlunya peran serta masyarakat, sekolahan dalam
memberikan perlindungan pada anak. Banyak yang bisa dilakukan oleh lembaga di luar rumah. Misalnya, akhir-akhir ini sudah biasa sekolahan menerapkan
aturan bagi murid-muridnya untuk melarang jajan sembarangan. Aturan bagi murid
untuk tidak menggunakan HP di saat ada di lingkungan sekolahan,
larangan merokok, serta tidak diizinkannya murid murid menggendarai motor sebelum memiliki SIM. Sekolahan pun sudah mulai membuka diri untuk secara langsung bagi wali murid
berkonsultasi tentang progres anak-anaknya baik berkaitan dengan akademik
maupun perkembangan perilaku kepribaiannya. Ini adalah upaya bentuk kerjasama
antara keluarga dengan pihak sekolah dalam
upaya memberikan perlindungan anak dari bahaya buruk yang mungkin bisa menimpanya.
Peran masyarakat dalam memberikan
perlindungan pada anak-anak disekitarnya pun banyak bentuk modelnya, seperti
pemberlakuan JBM (Jam Belajar Masyarakat), pembatasan jam kunjung bertamu, pelarangan
kegiatan “malima”
(bahasa Jawa: dilarang maling atau mencuri, madat atau minum napza, minum
minuman beralkohol, madon atau main perempuan, dan mateni
atau membunuh), pelarangan main petasan dsb. Itu semua upaya
masyarakat dalam perlindungan anak agar
terhindar dari bahaya keburukan. Sedangkan upaya untuk mengembangkan
kepribadian anak melalui pendidikan, masyarakatpun banyak berperan. Misalnya di mana-mana bermunculan lembaga PAUD atau yang sejenis, berbagai kursus atau
kelompok kelompok ketrampilan, seperti klub olah raga, klub pengembangan bakat
seni,
dsb.
Peran
BKKBN
Secara spesifik BKKBN memiliki lembaga
yang namanya kelompok kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita), BKR (Bina Keluarga
Remaja), PIK Remaja. Lembaga-lembaga ini bertujuan pada akhirnya untuk
memberikan perlindungan, pendidikan pada anak dan remaja agar menjadi anak dan
remaja yang berkembang secara optimal baik pertumbuhan jasmani dan perkembangan
rohaninya sehingga kelak pada akhirnya akan menjadi anak yang sehat, tangguh,
serta berakhlak mulia selamat di dunia dan akherat.
Saat ini yang menjadi pekerjaan rumah
adalah bagaimana agar lembaga seperti BKB, BKR, dan PIK Remaja ini benar-benar
bisa eksis dan memnberikan manfaat secara obtimal bagi anak dan remaja melalui
pendidikan orang tua di keluarga. Tentunya buka pekerjaan mudah. Di era PKB
sebagai ASN pusat diharapkan para PKB memiliki inovasi, kreativitas, etos kerja,
dan daya juang yang lebih baik lagi dalam upaya membangkitkan dan
mengobtimalkan fungsi BKB, BKR dan PIK Remaja, sehingga akan memberikan
kontribusi yang nyata bagi perlindungan anak. Dengan demikian keterpaduan
perlindungan anak yang dilakukan di rumah akan bersinergi dengan perlindungan
yang diberikan di
masyarakat.
Dalam
konteks Gunungkidul, menyatunya program KB dengan bidang perlindungan anak
dalam wadah DP3AKBPMD tentunya menjadi nilai positif sekaligus menguntungkan
untuk semakin menguatkan sinergi di lini lapangan dalam mengimplementasikan
program-program perlindungan anak. Poktan-poktan yang selama ini menjadi
garapan petugas lini lapangan, yakni PKB dan kader desa, seperti BKB, BKR, dan
PIK-R, seyogianya bisa makin diberdayakan melalui kerjasama dengan bidang
perlindungan anak (PA) DP3AKBPMD Gunungkidul. Sebab, sebagaimana ditegaskan ole
Kasi KS DP3AKBPMD, Muh Amirudin, SSos, ke depan titik tekan program KB bukan
lagi semata-mata pada cakupan kesertaan KB atau pemakaian alat kontrasepsi,
akan tetapi juga memperhatikan aspek ketahanan keluarga. Dalam bidang ketahanan
keluarga, salah satu aspek terpentingnya adalah pengasuhan (parenting)
yang baik kepada anak. Dengan pola asuh yang baik, insya Allah anak akan
menjalani setiap tugas perkembangannya dengan baik pula, dari fase 0-2 tahun,
batita, balita, kanak-kanak (usia SD/SMP), hingga remaja (usia SMA), sehingga
ke depan anak akan memiliki karakter yang baik sebagaimana diharapkan
orangtuanya, dan dalam konteks lebih luas, anak akan menjadi generasi harapan
bangsa di masa depannya. “Ingat, kita akan menyambut Indonesia Emas tahun 2045.
Kita harus menyiapkan generasi muda kita, anak-anak kita, jauh-jauh hari agar
mereka benar-benar siap di tahun 2045 nanti,” imbuh Amir.
Masalahnya,
proyek pembentukan karakter anak bukanlah sesuatu yang mudah ibarat membalik
telapak tangan. Ia merupakan proyek yang harus dilaksanakan secara sinergis dan
berkesinambungan, selain juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun
demikian, dengan kerjasama lintas sektor, seberat apa pun bebannya akan menjadi
ringan. Bidang perlindungan anak, dalam hal ini, bisa bekerjasama dengan PKB
untuk menyasar kelompok-kelompok kegiatan (BKB, BKR, dan PIK-R) untuk
mensosialisasikan informasi dan wawasan tentang seputar perlindungan anak yang
berbasis masyarakat. Di sinilah sebenarnya signifikansi dari konsep “terpadu”
itu, yakni bahwa kerja dari implementasi program perlindungan anak bukan saja
menjadi tugas satu sektor saja, tetapi semua elemen bangsa dan masyarakat ikut
berperan, baik pemerintah maupun swasta, baik formal maupun informal, dan
seterusnya.
Keterpaduan
Program KB dan PA
Implementasinya, secara kreatif, bisa juga
melalui keterpaduan antara PIK Remaja dengan Forum Anak yang sekian lama ini
menjadi binaan bidang PA. Konsep Forum Anak ini
sendiri, yang eksistensinya dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, adalah
bagaimana agar anak-anak terus didorong untuk mau terlibat di tengah
pembangunan di era partisipatif. Ini tentu sejalan dengan konsep PIK-R itu
sendiri, yang memang merupakan sebagai wadah dari, oleh, dan untuk remaja (anak-anak) dan memberi
informasi, mengedukasi, atau mengkonsultasi teman sebaya mereka sendiri.
Kepala seksi
Perlindungan Anak DP3AKBPMD Gunungkidul, Tomy Darlinanto, SH, MHum, mengatakan,
bahwa sampai dengan Maret 2018 saja tercatat sudah ada 60 desa di Gunungkidul
yang membentuk Forum Anak. Keberadaan komunitas Forum Anak Desa ini, lanjut
Tomy, akan terus dioptimalkan sebagai wadah anak-anak mewujudkan empat hak
utama. Empat hak utama itu yakni hak hidup, hak tumbuh
kembang, hak perlindungan, dan hak
partisipasi. Keempatnya merupakan 31 jenis rangkuman hak anak-anak
yang harus diwujudkan negara (pemerintah) yang telah menjadi amanatkan
undang-undang untuk menjamin hak dan perlindungan anak. Melalui konsep
keterpaduan dengan PIK Remaja, setidaknya ada peluang dan ruang agar hak-hak
utama yang empat itu dapat terakomodasi secara maksimal. Di Forum Anak, di
forum PIK-R, Anak (remaja) akan hidup secara wajar sebagaimana kanak-kanak,
bertumbuh kembang dengan maksimal, terlindungi dari ancaman-ancaman yang
membahayakan diri mereka sendiri (misal: narkoba, seks bebas, pernikahan dini),
serta bisa berpartisipasi aktif untuk menentukan masa depannya sendiri, sesuai
minat dan bakatnya, termasuk mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan
berumah tangga.
Yang tak kalah
penting adalah bagaimana mensosialisasikan, mengampanyekan, ataupun menanamkan
kesadaran tentang pentingnya perlindungan anak ini kepada orangtua dan
masyarakat. Di sinilah peran yang perlu diambil oleh para petugas lapangan,
misalnya PKB, kader KB (PPKBD, Sub PPKBD), kader poktan, dsb untuk menjadi
corong atau kran informasi kepada masyarakat. Forum BKB (Bina Keluarga Balita)
sangat penting menjadi wadah sosialisasi tentang pola asuh balita (parenting)
yang baik, dengan tujuan memberi bekal kepada para orangtua balita guna mendampingi
setiap tugas perkembangan balita mereka secara optimal. Apalagi, yang patut
disyukuri, sekarang banyak BKB yang terpadu atau terintegrasi dengan PAUD,
dengan Posyandu, sehingga dari sisi balitanya sendiri juga terpantau aspek
pertumbuhan fisik (kesehatan) dan pendidikannya.
Sementara itu,
forum BKR (Bina Keluarga Remaja) bisa menjadi forum sosialisasi tentang pola
asuh remaja, parenting kepada remaja,
yang baik. Sebab, remaja memang membutuhkan perlakuan khusus dari
lingkungannya, terutama anggota keluarganya di rumah. Yang lebih penting lagi,
perlunya penekanan kepada para orantua remaja (anggota BKR) untuk membiarkan
anak-anak mereka (remaja) agar bertumbuh kembang secara maksimal, yakni sampai
minimal 21 tahun, jangan sampai dirusak oleh seks bebas, narkoba, dan
pernikahan dini. Orangtua akan mendapatkan pencerahan dan informasi seputar PUP
(pendewasaan usia perkawinan).
Angka Kasus Bertambah
Dalam kurun Juli 2018, patut
disyukuri, bahwa bidang perlindungan anak (PA) DP3AKBPMD Gunungkidul telah secara
intensif melakukan sosialisasi dan kampanye PATBM melalui kerjasama dengan BPKB
(Balai Penyuluhan KB) di masing-masing kecamatan (ada 18). Sebagai narsum utama
dalam kegiatan marathon ke 18 kecamatan ini adalah Kasi PA, Tomy Darlinanto,
SH, MHum (salah satu laporan tentang kegiatan ini bisa dilihat di bagian lain
edisi ke 8 majalah Cahaya Keluarga
ini). Menurut Kasi KS, Muh Amirudin, SSos, ini sebagai langkah awal untuk
mensinergikan dan memadukan pelaksanaan program perlindungan anak antara lini
KB dan PA. Pendekatan program seperti ini akan terus dikembangkan di masa-masa
mendatang, agar bersenyawa dengan status Gunungkidul yang sudah mencanangkan diri
untuk menjadi kabupaten layak anak.
Ikhtiar untuk makin mengarusutamakan isu
perlindungan anak ini, dengan segala macam pendekatannya, sangat penting, mengingat persoalan menyangkut hak-hak anak di
Gunungkidul memang belum menunjukkan angka yang memuaskan. Jumlah anak
Gunungkidul yang berhadapan dengan hukum hingga korban kekerasan mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Di tahun 2015, misalnya, terdapat 7 anak
dan meningkat drastis di tahun 2016 menjadi 21 anak yang berhadapan dengan
hukum. Jumlah kekerasan psikis anak tahun 2015 semula nihil, tetapi di tahun
2016 terdapat 5 anak. Tak kalah mencengangkan, angka kasus kekerasan seksual anak Gunungkidul tahun 2015 menimpa 11 anak, naik
di tahun 2016 menjadi 59 anak. Di tahun tahun 2017 ada 41 kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak, dan 2018 hingga Agustus ini ada 17 kasus. Meski
ada tren penurunan, tetapi angkanya tetap banyak.
Sejalan data di
atas, angka putus sekolah anak Gunungkidul tergolong tinggi. Tahun 2015 putus
sekolah jenjang SD sebanyak 12, jenjang SMP 58 anak, dan jenjang SLTA
sebanyak 66 anak. Jumlah tersebut beriringan dengan naiknya jumlah anak
Gunungkidul yang hidup di jalan pada tahun 2015 sebanyak 47 anak dan tahun 2016
bertambah menjadi 50 anak.
Tugas Bersama, Komitmen
Bersama
Naiknya peristiwa menyangkut
anak tentu harus mendapat perhatian semua pihak, semua elemen masyarakat.
Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa, institusi pendidikan, petugas
dan kader di lini lapangan (PKB, penyuluh sosial, kader KB/Kesehatan), dan
utamanya keluarga harus memiliki keterampilan dan wawasan menghadapi
tantangan-tantangan perubahan zaman dan cepatnya laju pembangunan, selain juga
keterpaduan dalam sosialisasi, kampanye, dan penggerakan kepada masyarakat. Semua
pihak perlu memperhatikan gajala-gejala yang mungkin akan muncul, dan dapat
segera mengantisipasi sejak dini. Pencanangan “Kabupaten Layak Anak” tidak lain
berorientasi untuk mewujudkan kawasan yang ramah terhadap anak, dalam rangka pemenuhan
empat hak utama anak sebagaimana terpaparkan di atas.
Semua pihak,
sekali lagi, harus bersinergi untuk mewujudkan terjaminnya hak-hak anak, dan
ini bukan hal yang ngayawara (mengada-ada),
karena Indonesia sebagai salah satu bangsa yang menyatakan diri
berkomitmen melalui penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 2001, atas
hasil sidang utama PBB 1989 silam. Dari komitmen tersebut, Pemerintah akan
secara terus-menerus mewujudkan upaya perlindungan terhadap hak anak, melalui
berbagai macam program dan pendekatan, demi membentuk lingkungan yang sehat,
tata kelola kawasan, layanan umum, dan sebagainya, dalam rangka memudahkan anak
memperoleh ruang untuk mendapatkan hak-haknya. Semoga. Wallahu a’lam.(*) [Edy
Pranoto, Kontributor Playen]
0 Comments