Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI*)
Akhir
September kemarin kami mengadakan pelayanan pemeriksaan pap smear di Girisubo, sebuah kecamatan terpencil di Kabupaten
Gunungkidul. Kegiatan ini diprakarsai oleh Perwakilan BKKBN DIY bekerjasama
dengan BPKB (Balai Penyuluhan KB) dan UPT Puskesmas setempat. Targetnya adalah
75 peserta, tetapi alhamdulillah yang mendaftar lebih dari itu. Hanya saja,
setelah dilakukan screening, akhirnya
cuma 78 peserta yang bisa dilayani.
Butuh
kerja ekstra untuk sadarkan kaum ibu usia subur di daerah ini untuk mendaftar
sebagai peserta kegiatan ini. Secara umum masyarakat masih awam soal bahaya
kanker serviks atau kanker leher rahim ini. Ada juga alasan malu dan takut;
malu jika alat vital mereka diraba-raba atu dilihat orang lain (sama halnya
malu dipasangi IUD/spiral), takut bahwa pemeriksaan pap smear itu jangan-jangan menyakitkan. Jadi, kita harus
melibatkan banyak pihak dalam memberi penyuluhan atau KIE, juga dengan menggunakan
aneka teknik, untuk menarik minat warga ikut pemeriksaan pap smear.
Dan
akhirnya kerja keras kami membuahkan hasil. Pendaftarnya cukup banyak, bahkan
melebihi target. Ada dua hal, mungkin, yang menjadikan even ini direspon secara
antusias oleh masyarakat. Pertama
adalah soal lokasi. Kegiatan ini dilaksanakan di Puskesmas kecamatan, di
kawasan terpencil pula, sehingga benar-benar mendekatkan masyarakat kecil untuk
dapatkan pelayanan. Selama ini, dalam kaitan dengan pemeriksaan potensi kanker
serviks, Puskesmas paling banter baru
bisa memberi pelayanan IVA, adapun pap
smear hanya bisa dilaksanakan di RSUD atau rumah sakit swasta, yang
lokasinya di kota kabupaten. Pertimbangan kenapa baru IVA yang bisa dilayani
oleh Puskesmas, barangkali soal biaya. Biaya pemeriksaan IVA jauh lebih murah
daripada pap smear, sehingga mudah terjangkau oleh warga menengah ke bawah.
Kedua,
soal biaya. Pemeriksaan pap smear ini
gratis alias cuma-cuma. Akomodasi kegiatan, misalnya konsumi, honor petugas,
alat habis pakai, dan sebagainya, semua ditanggung oleh BKKBN DIY. Hal seperti
ini tentu saja jarang terjadi, sehingga warga berpikiran bahwa even ini harus
benar-benar dimanfaatkan. Ada beberapa peserta yang benar-benar bersyukur atas
kegiatan ini, karena sadar dan tahu, jika melakukan pemeriksaan pap smear di rumah sakit secara mandiri, biayanya lumayan mahal. Ada seorang ibu yang bergembira
sekali bisa ikut even ini, karena belum
lama ini ia dianjurkan oleh sebuah RS swasta di Gunungkidul untuk segera
melaksanakan pap smear, dan biayanya 750 ribu. Ibu tersebut belum jadi
periksa, dan syukurlah kemudian ada informasi tentang pap smear ini, sehingga ia tidak jadi keluarkan banyak biaya.
Hasil
pemeriksaan di Puskesmas itu kemudian kami kirim ke sebuah laboratium di Yogyakarta, untuk dibaca oleh dokter
ahli. Kami diberi waktu sepekan untuk menunggu. Sekian lama menunggu, akhirnya
hasil pembacaan oleh dokter ahli itu dikirim ke kami oleh pihak laboratorium.
Hasilnya, ada 7 (tujuh) peserta yang positif di leher rahimnya mengalami peradangan, sedangkan sisanya negatif. Meski ada 7 peserta (atau
setara 8,9%) yang positif, tetapi kami bersyukur karena gejala-gejala yang tampak masih relatif ringan, sehingga masih bisa ditangani dan disembuhkan.
Lebih bersyukur lagi bahwa hal itu terdeteksi dengan adanya kegiatan
ini. Coba seandainya tidak dilakukan pemeriksaan, maka ada potensi stadiumnya
meningkat ke 1, 2, 3, bahkan 4, sehingga bisa saja pada akhirnya tak bisa
disembuhkan. Ini berarti dengan even ini kita telah menyelamatkan nyawa orang
lain.
Ada hal menarik tentang fakta hasil pelayanan pap smear yang kami
adakan itu. Kami belum lama ini membandingan hasil pap smear tersebut
dengan beberapa kecamatan lain di Gunungkidul. Hasilnya agak mengejutkan, bahwa
di kecamatan-kecamatan tersebut, angka positif adanya potensi kanker serviks
(meski rata-rata di level peradangan) itu di kisaran 10 persen. Ini bisa saja
sebagai patokan generalisasi, bahwa jika semua wanita sasaran di Kabupaten
Gunungkidul melakukan pemeriksaan pap smear, maka 10 persennya memiliki potensi
terjangkit kanker leher rahim.
Pap smear merupakan salah satu cara merawat vagina yang
dapat dilakukan untuk mendeteksi kondisi kanker dan prakanker dalam serviks.
Biopsi (pengambilan jaringan) serviks umumnya dilakukan saat pap smear
bila ada indikasi kelainan signifikan, atau bila ditemukan kelainan selama
pemeriksaan dalam rutin, untuk mengidentifikasi kelainan tersebut. Hasil pap
smear dinyatakan positif, bila menunjukkan perubahan-perubahan sel serviks.
Biopsi (pengambilan jaringan) mungkin tidak perlu dilakukan segera, kecuali jika
pasien dalam kategori risiko tinggi. Untuk perubahan sel yang minor, umumnya
direkomendasikan untuk mengulang pap smear dalam 6 bulan ke depan. Hasil
pap smear normal menunjukkan hasil negatif, yaitu tidak adanya sel-sel
serviks yang abnormal.
Ada beberapa kondisi yang
mengharuskan seorang perempuan melakukan pemeriksaan pap smear, di
antaranya: (1) menikah pada usia muda [dibawah 20 tahun]; (2) pernah melakukan
senggama sebelum usia 20 tahun; (3) pernah melahirkan lebih dari 3 kali; (4) pemakaian
alat kontrasepsi lebih dari 5 tahun, terutama IUD atau kontrsepsi hormonal; (5)
mengalami perdarahan setiap hubungan seksual; (6) mengalami keputihan atau
gatal pada vagina; (7) sudah menopause dan mengeluarkan darah pervagina; dan
(8) berganti-ganti pasangan dalam senggama.
Yang menarik adalah, bahwa
berdasarkan pencermatan yang kami lakukan atas pasien yang dinyatakan positif
(yakni 10% tadi), diketahui rata-rata mereka menikah di bawah 20 tahun. Fakta
ini berarti mengkonfirmasi asumsi di atas, bahwa nikah di bawah umur (usia
dini) berpotensi besar menyebabkan kanker leher rahim di kemudian hari. Selain
itu, hal yang lebih mendasar lagi, pernikahan dini di Gunungkidul sendiri
merupakan sesuatu yang membudaya dan menjadi permasalah kompleks yang sulit
diberantas. Angka pernikahan dini di Gunungkidul selalu menduduki rangking
tinggi dalam konteks DIY.
Oleh karena itu, ada dua langkah
yang harus kita lakukan dalam menanggulangi potensi kanker serviks yang
mengancam kaum perempuan dalam konteks Gunungkidul ini. Sebab, jika tidak
dipikirkan dan ditangani dengan serius, pasti akan menjadi “bom waktu” yang
mematikan. Kita tahu, bahwa kanker serviks adalah pembunuh nomor satu kaum
wanita di Indonesia.
Pertama, harus ada upaya sinergis antara
pemerintah (lintas sektor) dan masyarakat untuk mencegah budaya atau praktik
pernikahan dini. Memang pernikahan dini bukan satu-satunya faktor yang
menyebabkan kanker serviks, akan tetapi potensinya paling besar di antara yang
lain dalam konteks Gunungkidul. Kita patut bersyukur bahwa di Gunungkidul ada
Perbup No 36 tentang pencegahan pernikahan dini, yang mewajibkan komitmen
sluruh pemangku kepentingan dari tingkat desa sampai kabupaten untuk mencegah
praktik pernikahan dini. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah kesadaran dan
kesediaan seluruh pihak, semua elemen, untuk melaksanakan Perbup tersebut
secara konsekuen.
Kedua, yang tak kalah penting adalah
bagaimana ada sinergi semua pihak, antara pemangku kepentingan dan masyarakat,
untuk membangun kesadaran ke tengah masyarakat, ihwal pentingnya melakukan
pemeriksaan dini atas potensi kanker leher rahim. Melihat budaya pernikahan
dini yang cukup tinggi di Gunungkidul, maka potensi kanker serviksnya tentulah
tinggi. Akan tetapi, potensi itu dapat dicegah, diminimalisir, dengan
pemeriksaan secara dini, baik melalui IVA ataupun pap smear. Layanan itu
sekarang bahkan sudah tersedia di tingkat Puskesmas, gratis bagi yang memiliki
kartu BPJS/KIS. Sayangnya, layanan itu kurag mendapat respon maksimal dari
masyarakat, terbukti minimnya kunjungan pemeriksaan IVA atau pap smear.
Sudah menjadi fenomena yang tak lumrah, dan amat disayangkan, kebanyakan pasien
kanker serviks di Gunungkidul melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan
(klinik, Puskesmas, RSUD, RS) ketika sudah menunjukkan gejala-gejala berat,
ketika kanker sudah stadium 3 atau 4, sehingga penanganannya sulit dan bahkan
tak bisa tertangani lagi. Apa kita semua akan tetap seperti ini? Sudah saatnya
berubah.(*)
*) Penulis adalah Penyuluh KB di
Kecamatan Girisubo, Gunungkidul.
0 Comments