
Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya taraf kespro, setidaknya jika ukurannya adalah terpenuhinya empat hak
dasar di atas. Jika dianalisis lebih dalam, keempat hak di atas bisa dipilah
menjadi dua menurut faktor yang mempengaruhinya. Pertama, untuk hak
dasar yang pertama, tingkat tinggi rendahnya lebih dipengaruhi oleh faktor pendidikan
dan ekonomi. Rendahnya derajat pendidikan, misalnya, berakibat miskinnya
wawasan tentang pelbagai hal, baik itu sikap, cara pandang, atau perilaku, yang
menunjang ataupun mengganggu kespro. Karena miskin wawasan, maka tidak ada akses
maksimal atas info-info aktual seputar kespro, atau minim, bahkan nir,
kesadaran untuk mengambil langkah-langkah proaktif agar kesehatan reproduksinya
tetap terjaga. Tak kalah penting, rendahnya tingkat perekonomian (baca:
kemiskinan), jelas sangat berpengaruh terhadap kespro. Kemiskinan, misalnya,
nyata-nyata ikut berperan dalam meninggikan angka kematian ibu (AKI)—dan tentu
saja angka kematian bayi (AKB), karena kemiskinan menjadi alasan kuat rendahnya
akses terhadap sarana dan layanan kesehatan, terutama dalam soal kehamilan dan
persalinan.
Kedua, untuk tiga hak dasar
lainnya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di masyarakat.
Misalnya, yang paling kentara, budaya patriarkhis. Budaya ini memandang
bahwa perempuan adalah makhluk “kelas dua” (second class). Artinya,
laki-laki dan perempuan tidaklah setara, melainkan yang pertama lebih tinggi
dibanding yang terakhir. Pandangan ini bertolak dari pandangan konservatif—yang
ironisnya dikuatkan oleh teks agama (Islam)—bahwa perempuan “separuh
laki-laki”. Atas dasar ini, maka laki-laki dianggap lebih tinggi derajatnya
dibanding perempuan. Sehingga, laki-laki di posisikan sebagai “pemimpin kaum
perempuan” (dalam bahasa agama: qawwamun ‘ala al-nisa’).
Intinya, pandangan ini memposisikan
laki-laki sebagai sebagai first-class. Dalam lingkup kehidupan keluarga,
dengan dasar pandangan ini, mewujudlah suatu budaya di mana kaum perempuan
ditempatkan di bawah kendali laki-laki, wali-nya, yakni ayah, saudara
laki-laki, paman (dari garis ibu), dst, (meski) di dalam hal-hal menyangkut
kepentingan perempuan itu sendiri. Khusus dalam soal perkawinan, posisi ini
memberi kewenangan kepada sang wali untuk menentukan kapan si (anak) perempuan
menikah, yang berarti pula, kapan ia menjalani hubungan seks (secara resmi)
untuk pertama kalinya. Meskipun si (anak) perempuan masih berbau kencur
sekalipun, tetapi sang wali menghendaki, memperbolehkan, mengizinkan (ketika
ada lelaki yang melamarnya), maka tak bisa ada kata penolakan; ia harus
menikah, yang berarti, ia harus berhubungan seks di bawah umur (usia dini).
Sedangkan dalam kehidupan rumah tangga,
persisnya dalam relasi suami istri, pandangan yang demikian itu
mengimplikasikan dampak yang cukup krusial, bahwa suamilah sebagai penentu
keputusan mutlak. Perempuan (istri) harus taat kepada laki-laki (suaminya)
dalam segala hal menyangkut masalah rumah tangga. Termasuk dalam soal-soal
terkait reproduksi, suamilah yang menjadi penentu keputusan tentang, misalnya,
(1) berapa jumlah anak mereka, yang berarti pula, berapa kali kehamilan dan
persalinan yang musti dijalani istri), (2) jika pun punya anak lebih dari satu,
atau bahkan lebih dari dua, dst, berapa jarak kelahiran antar anak, (3) jika
ada perencanaan kelahiran, alat kontrasepsi apa yang musti dipakai, (4) jika memang
berencana memakai alat kontrasepsi, siapa yang memakainya, (5) jika karena
keadaan darurat tertentu harus melakukan aborsi, siapa yang berhak memutuskan
untuk aborsi, dst. Jelasnya, dalam lima hal itu, keputusan bersifat monologis
di tangan suami, bukan dialogis dari suami dan istri.
Nah, sampai di poin inilah saya hendak
memberi penekanan. Yakni bahwa budaya patriarkis yang bercokol dalam kehidupan
masyarakat, nyata-nyata, baik secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh
bagi rendahnya taraf kesehatan reproduksi. Asumsi ini saya ajukan dengan
mempertimbangkan kenyataan ironis yang berkembang di masyarakat belakangan ini,
yakni fenomena pernikahan dini. Sudah jamak diketahui, pernikahan dini adalah
salah satu sebab utama maraknya kasus-kasus yang berkait dengan masalah
kesehatan reproduksi seperti keguguran, kematian bayi, kematian ibu saat
persalinan, dan kanker serviks (leher rahim).
Disebut pernikahan dini adalah ketika
seseorang melangsungkan pernikahan padahal usianya masih kategori anak-anak
(kurang dari 18 tahun). Seringnya yang sebagai korban adalah (anak) perempuan,
dalam artian bahwa yang di bawah umur adalah si mempelai perempuan, sementara
si lelakinya sudah cukup umur, atau malah sudah kepalang tua (bujang lapuk,
duda, atau malah pria beristri).
Ada banyak faktor kenapa pernikahan dini
bisa terjadi, tetapi secara umum ada dua yang merupakan arus utama dan
akhir-akhir ini cukup menggejala.
Pertama, faktor anaknya sendiri,
yang biasanya karena sudah telanjur hamil terlebih dulu, sehingga demi menutupi
malu mau tidak mau memang harus menikah (married by accidence).
Kenyataan ironis ini memang suka tidak suka musti kita maklumi, sebagai dampak
negatif dari perkembangan teknologi informasi, sehingga terjadilah akulturasi
budaya Barat yang secara umum memang kurang kompatibel dengan budaya kita
(ketimuran). Efeknya, antara lain, pubertas anak-anak remaja kita datang lebih
cepat dari seharusnya. Yang lebih parah, anak-anak remaja kita terjangkit gaya
hidup Barat yang negatif seperti pergaulan bebas, seks di luar nikah, dst. Maka
muncullah kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD). Ketika terjadi KTD,
kemungkinan tindak lanjutnya ya hanya dua: menggugurkan demi menutupi
malu, atau melangsungkan pernikahan meski usianya belum matang/dewasa—juga demi
menutupi malu.
Kedua, faktor orangtua si anak,
dalam artian bahwa orangtuanyalah yang memaksa anaknya yang nota bene masih di
bawah umur untuk menikah. Budaya ini masih bercokol kuat di masyarakat.
Alasannya secara umum dua, yakni tradisi atau kultur, dan persoalan ekonomi. Tradisi
atau kultur, karena pemahaman tradisional yang berkembang di
masyarakat umumnya berpandangan bahwa anak perempuan tidak usah sekolah terlalu
tinggi, cukuplah di rumah saja membantu pekerjaan dapur atau ladang. Yang
sekolah tinggi biar anak laki-laki saja, karena mereka kelak akan menjadi
pemimpin keluarga. Lagi-lagi ini merupakan efek buruk dari patriarkhisme dalam
benak masyarakat. Masalah ekonomi, karena di masyarakat pedesaan, anak
mungkin dianggap sebagai beban sekaligus aset ekonomi yang berharga. Dianggap
beban, karena harus memberi nafkah kepada mereka (makan, sandang pangan,
pendidikan, kesehatan, dll). Dus, jika semakin lama anak terikat dengan
orangtua, maka beban mereka akan semakin berat. Dengan cepat-cepat menikahkannya,
meski usianya masih dini, maka orangtua akan terbebas dari tanggungjawab
menafkahinya, karena sekarang tanggungjawab tersebut berada di pundak suaminya.
Dianggap sebagai aset, mungkin kasusnya seperti pernikahan dini seorang
pimpinan pesantren di Semarang beberapa waktu lalu. Ketika kebetulan ada lelaki
kaya yang datang melamar anak gadisnya yang masih kecil, diterimalah lamaran
tersebut, dan dilangsungkanlah pernikahan sesegara mungkin. Ada harapan besar,
jika sang anak mendapat suami orang kaya, maka setidaknya orangtua akan
“kecipratan” kekayaannya itu (na’udzu billah).
***
Mengapa saya katakan ada kaitan yang sangat signifikan
antara pesantren dan peningkatan taraf kesehatan reproduksi, terutama kesehatan
reproduksi remaja (KRR)? Argumen saya menyatakan ini adalah didasarkan pada
pengalaman dan survei kecil di pesantren gratis Al-Hikmah, Karangmojo,
Gunungkidul, lembaga di mana kebetulan saya menjadi salah ustad. Hasil dari
survei tersebut saya sistematisasi dan paparkan kurang lebih sebagai berikut
ini:
Pertama, seratus persen
santrinya, dari total 600-an anak (putra dan putri), diasramakan. Ada kebijakan pesantren, memang, bahwa semua santri wajib
mondok, baik dia berasal dari atau luar
Gunungkidul. Pesantren harus menanggung konsumsi per anak setiap
harinya secara cuma-cuma (kurang lebih 2 kwintal beras setiap hari), untuk makan pagi dan makan malam.
Anak-anak hanya boleh pulang tiga bulan
sekali, dibuat bergilir. Jika sudah terdaftar sebagai santri dan mondok,
tidak boleh mengundurkan diri kecuali alasan jelas. Mereka juga diharuskan
menempuh pendidikan baik pesantren maupun formalnya sampai tingkat menengah
atas (pesantren menyediakan pendidikan formal: SMP, SMK, dan MA). Bahkan, ada
tambahan, untuk yang tidak hendak melanjutkan kuliah, ijazah mereka ditahan
selama setahun, dan mereka harus mengikuti program “santri pengabdian” di
pesantren. Jadi, kalau mereka masuk pesantren di usia SMP, mereka setidaknya
musti mondok selama 7 tahun.
Kedua, lebih dari 60 persen
santri-santri di pesantren tersebut adalah berjenis kelamin perempuan, alias
santriwati. Penulis sudah pengalaman mengajar beberapa kelas. Faktanya, jumlah
santriwati rata-rata dua kali lipat jumlah santriwan.
Ketiga, lebih dari 75 persen
santri (tanpa membedakan jenis kelaminnya) adalah warga atau penduduk asli
Gunungkidul, DI Yogyakarta, di mana sebagian besar warga kabupaten ini identik
dengan tingkat perekonomian yang rendah (miskin).
Keempat, secara umum, tanpa
membedakan jenis kelamin maupun asal daerah, santri-santri di pesantren ini
merupakan anak-anak dari golongan ekonomi lemah. Dengan kata lain, umumnya,
kemiskinanlah yang menjadi alasan, kenapa mereka tertarik untuk menjadi santri
Al-Hikmah. Jika alasannya tidak tercukupi kebutuhan pangannya, pesantren
tersebut menggratiskan makan saban harinya. Jika alasannya tak punya biaya
pendidikan, pesantren tersebut juga menggratiskan biaya sekolah (baik tingkat
SMP maupun SMU-nya). Ada, memang, beberapa santri yang berasal dari golongan
menengah. Tetapi, umumnya, mereka “dititipkan” oleh orangtuanya ke pesantren
karena, konon, ingin anak-anaknya agar bisa “terdidik” untuk hidup prihatin,
atau ada juga—dan ini kecenderungan umum—karena tertarik dengan model pendidikan
yang diterapkan oleh pesantren.
Sebagai tambahan informasi, pesantren
hanya menyediakan makan dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Setiap Senin dan
Kamis santri diharuskan berpuasa sunnah. Untuk makan siang, bisa jajan sendiri
di lingkungan pondok, tentu saja dengan uang mereka sendiri (bagi mereka yang
dari keluarga mampu). Dengan pola makan ini, nyatanya sebagian besar santri
betah dan bisa menjalaninya. Namun asal tahu saja, secara umum, bukan karena
itu menjadi pilihan mereka, melainkan karena memang tidak ada pilihan lain,
disebabkan oleh kemiskinan keluarganya di rumah. Lebih baik bertahan dengan
makan dua kali sehari tetapi bisa sekolah, daripada pulang ke rumah orangtuanya
makan bisa lebih dari dua kali tetapi tidak sekolah. Mungkin itu yang ada dalam
pikiran mereka.
Dari profil gambaran “demografis”
tersebut di atas, saya kemudian mengambil sebuah kesimpulan mendasar, bahwa
pesantren (semacam) Al-Hikmah ini tidak saja berkontribusi dalam membantu
anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan yang memadai (sampai tingkat
SMU), namun bersamaan dengan itu juga berperan besar, dan bahkan signifikan,
dalam peningkatan taraf kesehatan reproduksi remaja. Mengapa demikian?
Pertama, dengan adanya keharusan
untuk merampung proses belajar sampai ke tingkat SMU (aliyah/SMK), berarti para
santri akan benar-benar telah mencapai taraf dewasa ketika lulus atau keluar
dari pesantren nantinya (kira-kira umur 18 atau 19 tahun). Sebab, menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak, batas antara kanak-kanak dan dewasa adalah
usia 18 tahun. Dengan menamatkan pendidikannya hingga tingkat SMU/SMK/Aliyah,
akan memungkinkan mereka terhindar dari praktik pernikahan dini. Berdasarkan
survei kecil yang saya lakukan, kebanyakan santri putri mengaku, ada
kecenderungan jika tidak sekolah atau mondok, orangtuanya di rumah akan
menyuruh mereka menikah saja.
Kedua, rata-rata, sebagian besar,
umumnya (untuk tidak mengatakan keseluruhan) yang menjadi korban dari praktik
pernikahan dini adalah anak perempuan; mereka menjadi “korban” dari wali mujbir
yang bisa memaksakan anak perempuan untuk melangsungkan pernikahan kapan saja,
sesuai kehendaknya, dengan mengatasnamakan agama. Faktanya, mayoritas santri di
Al-Hikmah adalah putri, perempuan (santriwati), sehingga dalam konteks ini
pesantren jelas ikut berperan dalam meminimalisir ataupun mengurangi angka
praktik-praktik pernikahan dini yang nota bene merugikan anak perempuan, karena
menempatkan mereka sebagai korban terbesar.
Ketiga, mayoritas santri adalah
dari keluarga kelas menengah ke bawah (miskin). Sementara, kemiskinan—seperti
sudah jamak diketahui—adalah salah satu alasan ataupun akar penyebab dari
kasus-kasus pernikahan dini. Fakta di lapangan banyak membeberkan kepada kita,
praktik pernikahan dini umumnya terjadi di daerah-daerah miskin. Kasus
pernikahan dini oknum syekh di Semarang adalah contoh paling kentara dalam
konteks ini. Asumsi yang berkembang, sangat patut diduga bahwa sang syekh ada
kecenderungan untuk mengeksploitasi kemiskinan keluarga si anak, dan begitu pun
sebaliknya, ayah si anak sendiri seolah-olah ada keinginan untuk mendapatkan
“manfaat finansial” jika anak gadisnya yang asih kencur itu dapat menjadi istri
seorang milyarder.
Keempat, dalam lingkup pesantren, jelas santri mendapatkan pendidikan agama yang ketat, sehingga memiliki filter moral-keagamaan yang relatif baik dan memadai, sehingga memiliki daya tahan untuk terhindar dari praktik-praktik amoral yang merusak kesehatan reproduksi: perzinahan, pemerkosaan, free-sex, dan sejenisnya, dengan berpijak pada pertimbangan kognetif-teologis bahwa tindakan atau perbuatan semacam itu adalah tidak bermoral secara keagamaan. Belum lagi, santri juga diberi ajaran-ajaran seputar fikih munakahat, hal mana di dalamnya jelas tercakup juga wawasan-wawasan keagamaan seputar bagaimana menjalin relasi biologis yang sehat antara lelaki dan perempuan dalam konteks hidup berumahtangga.
Kelima, nah ini yang menarik, di PP Al-Hikmah juga telah berdiri PIK Remaja, yakni PIKR “Bening Hati”, merupakan PIKR pertama yang dirilis oleh BKKBN di lingkup pesantren. PIKR Bening Hati berdiri tahun 2013, dan telah banyak mengukir prestasi baik di tingkat kabupaten maupun DI Yogyakarta. Yang jelas, dengan adanya PIKR ini, para santri memiliki wawasan dan kesadaran tentang kespro, tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan. Jadi memang ada nilai plus di PP Al-Hikmah ini, yakni selain mendalami nilai-nilai agama, pelajaran-pelajaran umum, juga wawasan tentang kesehatan reproduksi.
Oleh karena itulah, saya berpandangan,
sudah semustinya kita memberi apresiasi yang tinggi kepada lembaga-lembaga
pendidikan tradisional seperti pesantren, dan dalam kasus ini adalah semacam
pesantren Al-Hikmah ini. Sebab, peran dan kontribusinya sangat signifikan bagi
pembangunan generasi bangsa yang berkualitas di masa depan. Kemiskinan,
pendidikan, kesehatan (baca: kesehatan reproduksi), bukankah kesemua ini masih
menjadai masalah-masalah krusial bangsa kita? Pesantren (semacam) Al-Hikmah,
sebagaimana saya ketengahkan sebagai test case-nya, secara tidak
langsung berperan penting dalam membantu pemerintah menangani ketiganya secara
sekaligus, dengan menyelenggarakan pesantren dan sekolah gratis. Wallahu
a’lam.***
*) Penulis adalah PKB Girisubo dan Pembina PIKR Bening Hati
0 Comments