Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI*)
Kampung Keluarga Berencana (Kampung KB) kini menjadi
progam nasional, setelah kali pertama dicanangkan oleh Presiden Jokowi di
perkampungan nelayan Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, beberapa
waktu lalu. Target pemerintah adalah terbentuknya 536 Kampung KB, sesuai jumlah
kabupaten/kota di Indonesia. Akhir September 2016, tepatnya Selasa (27/9),
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul baru saja mencanangkan Kampung KB kedua di
Dusun Nanas, Tileng, Kecamatan Girisubo, sebuah kawasan nelayan di pesisir
Gunungkidul, bersamaan dengan momentum evaluasai program TNI Manunggal
KB-Kesehatan (TMKK) tahun 2016 oleh Korem 072 Pamungkas DI Yogyakarta.
Pencanangan pertama dulu di Dusun Wonolagi, Ngleri, Playen, awal tahun 2016
silam, langsung oleh Sultan HB X.
Menurut Kepala BKKBN Pusat, Surya Chandra, Kampung
KB merupakan sebuah miniatur pembangunan manusia Indonesia. Kalau kita amati,
demikian Surya, selama ini pembangunan Indonesia melulu berdimensi fisik, kuantitatif,
belum menyentuh aspek kemanusiaan. Kampung KB diwujudkan untuk menyentuh
pembangunan non fisik tersebut, demi mengubah mental masyarakat agar keluar
dari belenggu kemiskinan yang selama ini menjerat mereka.
Apa yang diungkapkan Surya sudah menjadi rahasia
umum. Tidak usah jauh-jauh, dengan adanya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, di
mana pemegang kekuasaan di desa (kades, lurah, dan aparatnya) diberi kewenangan
untuk mengelola sendiri dana desa, apa yang terjadi? Faktanya, pembangunan di
tingkat pedesaan masih berfokus pada aspek-aspek fisik, seperti pembangunan
gedung, jalan, gapura, dsb. Jarang sekali prioritas penganggaran menyasar pada
aspek-aspek non fisik, kualitatif, misalnya peningkatan kapasitas SDM baik
melalui pelatihan, penyuluhan (KIE), dll.
Dalam keadaan seperti itu, kita membutuhkan sebuah revolusi karakter bangsa
melalui revolusi mental yang mengakar pada masyarakat, utamanya masyarakat
miskin dan terpinggirkan, atau sering kita sebut masyarakat “galcitas”,
tertinggal, terpencil, dan di perbatasan. Inilah misi utama program Kampung KB.
Namun demikian, karena tentu saja lini depan dalam
program ini adalah BKKBN, maka penekanannya adalah kawasan-kawasan miskin dan
kumuh yang di sana terdapat banyak anak. Artinya, kawasan di mana kesadaran
untuk membatasi besaran keluarga masih rendah, yang mengakibatkan tingginya
natalitas di kawasan tersebut. Tingginya natalitas tanpa disertai peningkatan
kualitas justru akan menghambat dan membebani pembangunan.
Dengan program ini, yang di dalamnya ada proses
revolusi mental, proses mengubah atau mind
set, diharapkan masyarakat miskin bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Tanpa perubahan cara berpikir, kaum miskin tidak berubah kondisinya. Yang ada justru
kemiskinannya terus mereproduksi kemiskinan. Orang tua miskin melahirkan anak
miskin, lalu sang anak menikah dengan anak miskin lagi. Hasilnya keluarga
miskin yang kelak melahirkan anak miskin lagi, begitu seterusnya, seperti
lingkaran setan.
Dalam Kampung KB, yang lokus kegiatannya adalah di
unit kampung (dusun), akan diterapkan pembangunan berwawasan kependudukan yang
melibatkan seluruh elemen dan unsur terkait dari stakeholder di tingkat
kecamatan dan desa bersama warga setempat. Di situ akan dibuat perencanaan
program kependudukan KB dan pembangunan keluarga bersama sektor lainnya,
seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan, dll.
Tujuannya, para warga akan lebih sejahtera dan
berbahagia lahir batin, dan itu dimulai pertama-tama dengan hanya memiliki dua
anak. Sebab, sekian lama ini, banyak keluarga yang sudah ikut program KB, hanya
punya dua anak, tetapi tetap belum mencapai taraf sejahtera. Ini, sekali lagi,
terjadi karena untuk mencapai tahapan sejahtera lahir batin, dengan
meminimalkan jumlah anak saja belum cukup, tanpa disertai perubahan cara
pandang, sikap, dan perilaku yang konstruktif. Lha yang sudah ikut KB saja
belum otomatis sejahtera, apalagi yang tidak ikut?
Memang betul bahwa core utama program KB adalah pembatasan
kelahiran, menekan natalitas, tetapi sesungguhnya ada 4 pilar lain dalam
program KB (selain menekan kelahiran) yang merupakan bagian dari program umum
pengentasan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, sebagaimana tertuang dalam
UU No 59 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, yakni: pendewasaan usia perkawinan (PUP), pemantapan ketahanan keluarga,
pemberdayaan ekonomi, serta pembinaan kepada penduduk.
Dengan mengacu pada lima pilar tersebut, maka
program-program dalam Kampung KB tidak melulu berfokus pada upaya meningkatkan
angka kesertaan ber-KB. Kalau hanya aspek ini yang digenjot, sasaran programnya
hanya kepada pasangan usia subur (PUS), di mana segmentasinya perempuan menikah
hingga usia 49 tahun. Dengan dasar lima pilar tersebut, sasaran programnya
adalah ke semua elemen warga, masyarakat, dengan segala tataran usianya.
Dalam hal ini, ada beberapa kegiatan khas Kampung KB
dengan segmentasinya yang juga khas. Pertama,
Tribina, yakni BKB, BKR, dan BKL. BKB atau Bina Keluarga Balita, menyasar
kepada keluarga yang memiliki balita, sebagai wadah KIE (konsultasi, informasi,
dan edukasi) bagaimana pola pengasuhan balita yang baik; BKR atau Bina Keluarga
Remaja sasarannya adalah keluarga yang di dalamnya ada remaja (usia 13 tahun
hingga 24 tahun/belum menikah), sebagai forum KIE tentang pola pengasuhan
remaja yang baik; dan BKL atau Bina Keluarga Lansia, dengan sasaran keluarga
yang memiliki lansia (60 tahun ke atas), sebagai wahana KIE tentang bagaimana
merawat dan mengasuh lansia secara baik. Tribina ini untuk mendukung pilar
ketahanan keluarga.
Kedua, PIKR atau Pusat
Informasi dan Konseling Remaja, menyasar secara khusus kepada remaja usia
sekolah menengah hingga maksimal 24 tahun, atau yang belum menikah, sebagai
forum KIE bersama dari, oleh, dan untuk remaja, di mana satu sama lain menjadi
konselor dan/atau pendidik (peer concellour, peer educator), dengan misi utama
menghindarkan remaja dari tiga ancaman dasar kesehatan reproduksi remaja (triad
KRR): seks bebas, narkoba, dan HIV/AIDS, serta persiapan kehidupan
berumahtangga bagi remaja (PKBR). PIKR ini sebagai lini kegiatan untuk
meneguhkan pilar pendewasaan usia perkawinan (PUP).
Ketiga, UPPKS (Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera), sebagai wadah bagi
keluarga-keluarga untuk meningkatkan taraf ekonomi melalui kegiatan usaha
kelompok berbasis rumah (home industry).
UPPKS ini bentuknya kelompok, dan diutamakan anggotanya adalah
keluarga-keluarga miskin (gakin). Kegiatan usahanya didukung oleh suntikan
modal dengan bunga ringan dari Koperasi AKU (Asosiasi Kelompok UPPKS), atau
bisa juga mengajukan pinjaman ke lembaga-lembaga keuangan (misalnya ke PNPM).
Bersamaan dengan itu, kelompok ini juga akan sering mendapatkan bimbingan dan
pelatihan ketrampilan. Lini UPPKS ini untuk mengimplementasikan pilar
pemberdayaan ekonomi.
Keempat, kelompok KB, sebagai
wadah bagi kader di dusun/kampung yang membantu petugas (penyuluh KB) dalam
mempromosikan program KB. Mereka selalu berkoordinasi dengan petugas lapangan, sebagai
ujung tombak program KB di tengah masyarakat. Fungsi mereka utamanya adalah
memberikan KIE kepada masyarakat tentang pentingnya program KB, persisnya memakai
alat kontrasepsi, selain juga memberikan alat kontrasepsi itu sendiri, yakni
pil dan kondom, kepada akseptor/PUS yang membutuhkan. Kelompok KB inilah, serta
sejauh menyangkut tugas dan fungsi mereka, sebagai pendukung pilar pengaturan
kelahiran dan pembinaan kepada masyarakat/penduduk.
Dengan program-program tersebut, beserta
program-program lain seperti PAUD (sektor pendidikan), posyandu balita dan
lansia (sektor kesehatan), kelompok wanita tani/KWT (sektor pertanian), dll,
diharapkan ada sinergi yang baik antara semua petugas lini lapangan, baik di tingkat
dusun dan desa (kader, toma dan toga, institusi masyarapat perdesaan/IMP)
maupun kecamatan (misal: penyuluh lapangan, petugas promkes Puskesmas, dll)
untuk bersama-sama secara aktif mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku warga
kampung, melalui kegiatan penyuluhan, pembinaan, pendampingan, dll. Di sisi
lain, warga kampung sendiri juga diharapkan, baik atas kesadaran sendiri atau
bimbingan kader dan petugas, mengapresiasi secara positif dan proaktif
berpartisipasi di dalam program tersebut. Apresiasi positif ini penting, mengingat
tidak sedikit orang yang masih alergi terhadap program KB dari pemerintah. Menjadi
tugas kita bersama, yakni pemerintah dan masyarakat, memberi mereka wawasan dan
kesadaran tentang pentingnya program tersebut. Jika kesemua ini bisa
dilaksanakan dan diatasi dengan baik, maka misi untuk mengubah cara pandang, mental,
dan perilaku masyarakat agar lebih maju bisa terlaksana, dan tujuan akhirnya
nanti, yakni masyarakat yang sejahtera, insya Allah akan bisa dicapai.
Profil atau gambaran program Kampung KB yang
terpapar di atas itu sesungguhnya dalam rangka mengimplementasikan Nawa Cita
ketiga Presiden Jokowi, yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat pedesaan” serta cita kelima yakni untuk “meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia”. Dua cita tersebut memang layang dikaitkan erat dengan
tujuan program tersebut: terciptanya keluarga dan masyarakat yang sejahtera.
Sebab, di antara faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kemiskinan di
pedesaan dan kawasan pinggiran adalah karena minimnya perhatian pemerintah
(baik pusat maupun daerah), yang biasanya bersandar pada alasan klise: akses yang sulit, sehingga pembangunan
lebih dipusatkan di perkotaan. Dampaknya, warga desa, warga kawasan terpencil, sulit
mendapatkan akses atas, terutama, konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang
layak, demi meningkatkan kapasitas pengetahuan dan skill, dua hal yang sangat
urgens untuk meningkatkan derajat dan kualitas hidup yang maju dan sejahtera.
Dengan pencanangan
Kampung KB di seluruh kabupaten/kota, bahkan ke depan di setiap kecamatan,
diharapkan bisa jadi momentum kesadaran bagi pemerintah, penyelenggara negara,
dari pusat hingga daerah (yang di dalamnya mencakup: kabupaten, kecamatan,
desa) tentang pemerataan pembangunan sebagai sesuatu yang mutlak, tak bisa
ditawar. Warga di daerah tertinggal, terpencil, di perbatasan, juga bagian dari
warga bangsa yang harus diperhatikan; tidak boleh ada diskriminasi dalam
pembangunan. Selain itu, yang tak kalah penting, kesadaran untuk tidak memforsirkan
pembangunan hanya pada sarana dan prasarana fisik, infrastruktur, dengan
mengabaikan pembangunan SDM dan karakter manusia. Ini sebagai kritik kepada
para penguasa politik lokal (bupati/walikota, kades/lurah) yang lebih
memrioritaskan pembangunan fisik, sebagai sarana politik pencitraan untuk
mendapatkan dukungan agar terpilih kembali (pada periode berikutnya). Memang
betul, pembangunan SDM, pembangunan karakter manusia, sebagaimana
termanifestasi melalui program Kampung KB ini, tidak tampak secara lahiriah
indikasinya, dan hasilnya tidak terwujud dalam jangka pendek. Sebab, hasilnya
akan kita tuai dalam jangka sepuluh dua puluh tahun yang akan datang, ketika
anak cucu kita mau tidak mau harus menerima tugas sejarah, meneruskan estafet
perjuangan kita mengawal dan mengelola bangsa dan negara ini. Pilihan ada di
tangan kita. Wallahu a’lam.(*)
*) Penulis adalah Penyuluh KB Kecamatan Girisubo, Gunungkidul
0 Comments