Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI*)
Inferno adalah film
garapan Ron Howard (2016), diadaptasi dari novel Dan Brown dengan judul yang
sama. Ini merupakan sekuel ketiga dari serial petualangan Prof Robert Langdon
(Tom Hanks), seorang pakar ikon dan simbol, dalam mengungkap pesan dan rahasia
besar yang tersembunyi di balik benda-benda seni, teks-teks sastra, prasasti,
dll. Sebelum Inferno, dua sekuel yang telah diproduksi adalah The Da
Vinci Code (2006) dan Angels and Demons (2009).Inferno pada
intinya menceritakan lika-liku Prof Langdon membantu WHO dalam usaha menelusuri
jejak dan letak disembunyikannya cairan virus pemusnah massal. Virus itu
diciptakan oleh seorang ilmuwan kontroversial, Bertrand Zobrist (diperankan Ben
Foster). Jalan menuju penemuan virus itu sangat pelik, karena harus menangkap
satu demi satu pesan di balik aneka macam benda seni (patung, lukisan, syair)
yang berkaitan dengan Dante, seniman Abad Pertengahan. Belum lagi, lokasi
benda-benda itu berbeda-beda. Yang menegangkan, Langdon harus berpacu dengan
waktu, karena virus akan menyebar dalam hitungan jam jika tak segera ditemukan
dan diisolasi.
Narasi besar dalam film ini bisa
dikatakan berada di tengah-tengah, di antara nyata dan fiktif, di antara fakta
dan khayal belaka. Ada beberapa asumsi yang dilontarkan dalam Inferno menyangkut
isu global tentang populasi manusia di bumi. Menurut data (dan ini menjadi
tayangan pembuka Inferno), butuh 100 ribu tahun di bumi ini untuk
mencapai populasi 1 milyar manusia; 100 tahun untuk sampai angka 2 milyar; 50
tahun untuk mencapai 4 milyar (di tahun 1970), dan sekarang, di dekade kedua
setelah milenium kedua, sudah di angka hampir 8 milyar; maka dalam 40 tahun ke
depan penduduk dunia akan mencapai kira-kira 32 milyar.
Diasumsikan juga, banyak bencana yang
terjadi disebabkan karena overpopulasi. Setengah spesies hewan di bumi sudah
musnah akibat overpopulasi. Jika kita tidak mengontrol populasi kita, demikian
Zobrist dalam kuliah propagandanya, maka giliran umat manusia yang akan musnah.
Kita memang telah bergerak untuk mengendalikan populasi. Tetapi, sejauh ini hal
itu belum menunjukkan hasil yang signifikan, karena terkendala isu HAM serta
keyakinan keagamaan yang fanatik dan eksklusif.
Maka Zobrist mengambil jalan itu:
menciptakan virus yang akan menjadi wabah pemusnah separuh populasi manusia.
Hanya dengan cara itulah eksistensi manusia dapat dipertahankan. Menurut
Zobrist, overpopulasi akan menghadapkan manusia pada aneka krisis. Sebab,
konon, bumi seharusnya hanya mampu mencukupi kebutuhan 4 milyar manusia.
Zobrist dan pengikut fanatiknya mendakukan diri sebagai penyelamat umat
manusia. Saking fanatiknya, mereka rela mati, demi misi menyebarkan virus itu.
Alasan mereka sungguh mulia: tak apa mati, asalkan orang lain terselamatkan.
Beberapa asumsi itu sepertinya malah
mengkonfirmasi apa yang sebagian orang duga sebagai konspirasi terkait dengan
fenomena populasi itu sendiri. Populasi penduduk dunia yang begitu kencang bisa
dilihat dari dua sisi: peluang dan ancaman. Bagi pebisnis, besarnya populasi
justru peluang untuk memasarkan produk. Ada anggapan, konon berbagai penyakit
berat yang menjangkiti manusia sesungguhnya sengaja diciptakan dan dipelihara.
Tujuannya: agar obat dan penangkalnya laku. Jadi, pencipta penyakit dan obatnya
adalah satu oknum, bisa orang, lembaga, korporasi, Negara, dll. Dugaan seperti
ini sah-sah saja, mungkin nyata mungkin juga fiktif.
Bagi sebagian yang lain, populasi justru
ancaman, dan karena itu harus dikontrol. Kontrol populasi sudah lama
dicanangkan banyak negara. Ini sudah menjadi “common sense” global,
dengan alasan yang kurang lebih sama, bahwa cadangan pangan, energi, SDA,
udara, dll, di bumi ini terbatas dan kian menipis. Maka populasi penduduk harus
dikendalikan, agar terjadi keseimbangan antara “supplay” (stok)
dan “demand” (kebutuhan). Jika tidak, akan terjadi banyak
krisis melanda umat manusia: krisis pangan, krisis air bersih, polusi udara,
dst.
Beberapa negara diketahui menerapkan
kontrol populasi secara ketat. Sebut saja yang paling mencolok, Tiongkok.
Negeri tersebut beberapa waktu lalu membuat kebijakan “one family one
child” (satu keluarga hanya boleh punya satu anak). Kebijakan ini
bukan tanpa alasan. Populasi penduduk Tiongkok sudah 1 milyar lebih, sehingga
muncul kekhawatiran akan terjadi masalah-masalah sosial di masa depan. Namun,
belakangan kebijakan itu dicabut, karena justru melahirkan masalah sosial baru.
Karena pilihannya cuma satu, banyak keluarga yang berpikir taktis memilih anak
lelaki, dengan alasan bahwa anak lelaki lebih punya nilai ekonomis bagi
keluarga. Dampaknya, banyak sekali kasus aborsi dan pembunuhan bayi menjelang
persalinan (modusnya: disuntik mematikan ketika masih di perut sang ibu, ketika
diketahui berjenis kelamin tidak sesuai keinginan).
Beberapa waktu lalu juga ada bocoran
laporan bahwa penjara-penjara di Israel lebih banyak dihuni oleh
tahanan-tahanan perempuan. Anehnya, rata-rata perempuannya adalah usia
produktif. Muncul dugaan bahwa rezim Zionis menempuh cara kotor seperti itu
untuk mencegah perempuan Palestina bereproduksi, dengan tujuan supaya populasi
bangsa Arab kelak makin sedikit, sehingga pendudukan Zionis atas tanah
Palestina makin kuat.
Adanya asumsi “populasi adalah ancaman”
memunculkan anggapan atau dugaan bahwa fenomena perang antar negara, perang
antar etnis, dll, adalah konspirasi untuk mengurangi atau bahkan melenyapkan
populasi kelompok tertentu demi eksistensi kelompok lain. Belakangan ini juga
muncul desas-desus, khususnya di media sosial, bahwa maraknya WNA di negeri
kita akhir-akhir ini, melalui ‘modus’ menjadi TKA, konon bagian dari konspirasi
untuk menjadikan Nusantara sebagai negara plasma (karena di negeri asal WNA
tersebut sudah sesak, penduduknya >1 milyar), dengan cara menyingkirkan
populasi pribumi. Dan, namanya desas-desus, validitasnya tentu belum
terkonfirmasi; bisa saja fakta, bisa saja hanya khayal belaka.
Reaksi senada juga datang dari sebagian
kaum beragama. Penulis sering menjumpai sebagian kecil umat Islam, khususnya
kelompok konservatif, yang beranggapan bahwa program KB (Keluarga
Berencana) yang dicanangkan di banyak negara Muslim (termasuk Indonesia) adalah
bagian dari konspirasi global untuk mengurangi populasi umat Islam di dunia,
karena takut jika umat Islam menjadi besar dan kuat. Makanya, mereka ini
menolak mentah-mentah program KB; apa pun argumen yang disodorkan tidak mereka
terima.
Wacana Agama
Dalam konteks Islam, soal KB atau
kontrol populasi bukanlah perkara yang definitif atau qath’iy (pasti)
secara hukum. Hal ini masuk ke ranah ijtihad. Ini tentu saja sesuatu yang
wajar, oleh karena isu-isu tentang kependudukan ataupun kontrol populasi jelas
tidak disinggung secara eksplisit baik di dalam nash Alquran ataupun hadis Nabi
SAW. Dalam berijtihad, para ulama kontemporer tentu saja tetap merujuk pada
teks Alquran maupun hadis, namun dengan pendekatan hermeneutik, yakni mengambil
pesan terdalam atau spirit di balik suatu teks untuk disesuaikan dengan isu
atau tantangan yang berkembang di zaman sekarang.
Dalam hal ini kita bisa ambil sebuah
hadis sebagai sampel. Nabi SAW mengajari kita doa sehari-hari, yakni: Allahumma
inni a’udzubika min jahd al-bala’, wa dark al-syaqa’, wa syamatat al-a’da’, wa
su’ al-qadla’ (artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari cobaan yang meletihkan, dari tertimpa celaka, dari serangan
musuh, dan dari ketentuan yang buruk). Hadis ini bisa dilihat dalam riwayat
Bukhari (hadis no: 6616) dan Muslim (hadis no: 7052).
Dikatakan dalam riwayat al-Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Ra, dari Rasul
Saw, beliau bersabda: “Cobaan yang meletihkan (jahdul-bala’) adalah
banyak anak (katsrah al-‘iyal) sementara nafkahnya kurang (qillah
al-syai’).” Maksudnya, bahwa cobaan (yang meletihkan) itu akan menjadi
(makin) banyak bersamaan dengan makin banyaknya anak, ketika dari sisi biaya,
nafkah (Jawa: ragad) tidak memadai. Inilah yang disebut jahdul-bala’ (cobaan
yang meletihkan) itu. Itulah kenapa, terkait dengan pengertian ini, Ibnu ‘Abbas
RA berkata: “Sesungguhnya banyak anak itu satu dari dua kefakiran, sedangkan
sedikit anak adalah satu dari dua kemudahan”. Dua kefakiran, artinya
banyak anak dan sedikit nafkah (harta), sedangkan dua kemudahan artinya sedikit
anak dan banyak harta (nafkah). Ketika seseorang memiliki anak yang sedikit,
maka ia telah diberi satu kemudahan. Karena, meski ia miskin, tetapi anaknya
sedikit, maka ia tidak menanggung nafkah yang berat. Begitupun sebaliknya,
ketika seseorang berharta melimpah, ia sama halnya telah diberi satu kemudahan,
karena kalaupun harus menanggung nafkah anak-anak dalam jumlah banyak, itu
sudah berbanding lurus. Yang ideal adalah mendapat dua kemudahan (al-yasarain)sekaligus,
yakni harta (materi) yang banyak sedangkan jumlah anak sedikit. Sebaliknya,
yang mengenaskan adalah tertimpa dua kefakiran sekaligus, yakni banyak anak
disertai harta (nafkah) yang sedikit, dan inilah yang disebut jahdul-bala’ itu.
Jahdul-bala’, dengan kata lain, adalah suatu kondisi kesenjangan ketika jumlah anak
yang harus ditanggung oleh keluarga relatif banyak di satu sisi, sementara
jumlah nafkah yang tersedia tidak memadai pada sisi yang lain. Dalam konteks
yang berbeda, kondisi itu pulalah yang dikhawatirkan oleh Zobrist dalam film Inferno.
Dalam hadis Nabi SAW 14 abad yang lalu itu skalanya adalah keluarga, sedangkan
dalam kerangka pikir Zobrist di zaman modern ini skalanya global; ia
khawatir akan adanya aneka krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh kesenjangan
antara overpopulasi manusia (katsrah al-‘iyal) pada satu sisi
dengan keterbatasan sumberdaya alam di bumi (qillah al-syai’) pada
sisi yang lain. Wawasan ini seperti mengingatkan kita pada teori lama yang
digagas Robert Malthus, dalam bukunya, An Essay on the Principle
of Population as it Affects the Future Improvement of Society (1789),
bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan
yang notabene terbatas. Penduduk tumbuh secara deret ukur sementara persediaan
makanan tumbuh secara deret hitung. Menurut Malthus, jika alam tak mampu
memproduksi makanan untuk menjaga eksistensi manusia yang tumbuh tak terbatas,
manusia akan terseret dalam kemiskinan dan kelaparan.
Yang membedakan adalah soal cara mengatasi kondisi seperti itu. Agama
(dalam hal ini Islam) mengajarkan jalan keluar yang logis dan beradab. Nabi SAW
mengajarkan, bahwa jika seorang suami tidak menginginkan lahirnya seorang anak
dari hubungan seksual dengan istrinya (karena alasan apa pun: ekonomi,
misalnya), maka ia bisa menempuh metode ‘azal, yakni dengan cara
menumpahkan sperma di luar liang senggama. Dalam istilah modern, cara ini
diberi nama “pantang berkala”. Imam Syafii RA, imam Ahlus Sunnah dan peletak
mazhab Syafiiah (mazhab mayoritas di Indonesia), ketika menafsirkan QS
al-Nisa’: 3, menegaskan bahwa jika seseorang merasa khawatir poligami yang
dilakukannya akan mengakibatkan anaknya banyak, dan banyaknya anak itu bisa
menjadikannya tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak itu (karena keterbatasan
ekonomi), maka sebaiknya ia monogami (beristri satu) saja.
Disebut logis, karena yang ditawarkan Islam adalah jalan alamiah dan
ilmiah, sesuai dengan hukum kodrat dan hukum sains; bahwa cara untuk mengurangi
atau mengontrol populasi manusia adalah dengan metode kontrasepsi, yakni
menghindari kehamilan atau mencegah bertemunya sel sperma dengan ovum. ‘Azal atau
“pantang berkala” yang diajarkan Nabi itu merupakan metode kontrasepsi yang
memungkinkan dan paling praktis untuk saat itu (abad VII M). Namun, substansi
dan tujuannya sama dengan metode kontrasepsi apa pun di zaman modern, yakni
mencegah pertemuan sel sperma dan sel telur dalam rangka menghindari pembuahan.
Dikatakan beradab, karena Islam menyodorkan jalan atau cara yang santun dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (against humanity).
Agama merekomendasikan metode kontrasepsi (dalam pengertian klasik maupun
modern), karena metode itu bekerja pada fase pra-kehidupan; bahkan tidak
mungkin terjadi kehidupan, karena pembuahan sudah tercegah dengan metode
tersebut. Sehingga, secara moral dan secara hukum bisa diaktegorikan sebagai
pembunuhan. Secara tegas Islam mengharamkan tindakan menghilangkan nyawa atau
membunuhn tanpa haq (alasan yang benar), sehingga tentu
menentang cara yang ditawarkan oleh tokoh atau karakter Zobrist dalam Inferno—atau
siapa pun di dunia nyata yang sepakat dengan jalan pikirannya—yang hendak
mengurangi populasi manusia di bumi melalui proyek pemusnahan massal.
Alih-alih, bahkan Islam pun menentang praktik aborsi tanpa alasan yang bisa
dibenarkan secara medis maupun moral, karena tindakan aborsi secara umum
dilakukan pada fase ketika janin sudah dimasuki nyawa (jiwa). Alquran
menyatakan: : “Siapa yang membunuh jiwa bukan karena ia (korban)
membunuh orang lain, bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan ia (pelaku) telah membunuh semua manusia. Dan
(sebaliknya) siapa yang memelihara kehidupan suatu jiwa,
maka seakan-akan ia memberi kehidupan kepada seluruh manusia...” (QS al-Maidah:
32). Wallahu a’lam.(*)
*) Penulis adalah penyuluh KB di Kec Girisubo, Gunungkidul
0 Comments