Lampu Merah Kasus Pernikahan Dini di Gunungkidul...!

Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI, pimred Cahaya Keluarga

Pernikahan dini merupakan isu yang serius di banyak negara, termasuk di Indonesia. Pernikahan dini dapat memiliki dampak yang negatif terhadap individu dan masyarakat, termasuk risiko kesehatan fisik dan mental, terbatasnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan, serta meningkatnya angka kemiskinan. 

Dalam laporan utama edisi kali ini (no 31 tahun 2023), redaksi akan menganalisis data pernikahan dini di Gunungkidul berdasarkan pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Wonosari, Gunungkidul, dampak lanjutan yang mungkin ditimbulkan, yang itu kemudian menjadi dasar untuk merumuskan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasinya oleh segenap sektor terkait di Kabupaten Gunungkidul, dari tingkat atas sampai level terbawah.


Tren Pengajuan Dispensasi Nikah

Berdasarkan data yang disediakan, terdapat penurunan jumlah pengajuan dispensasi nikah di Gunungkidul dari tahun 2021 hingga 2022 sebesar 21,46%. Pada tahun 2021, terdapat 218 kasus pengajuan dispensasi nikah, dengan 205 kasus dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama (PA) Wonosari. Sementara itu, pada tahun 2022, terdapat 171 pengajuan dispensasi nikah, dengan 161 kasus dikabulkan yang dikabulkan pengajuannya oleh PA Gunungkidul. Penurunan ini menunjukkan adanya perubahan dalam pola pernikahan dini di Gunungkidul.

Namun, data yang tersedia hingga April 2023 menunjukkan adanya peningkatan pengajuan dispensasi nikah, dengan 52 kasus. Jika dipetakan, pemohon dispensasi kebanyakan dari Wonosari, Karangmojo, Ponjong, dan Semanu. Ini 4 kapanewon terbanyak. Padal ini baru kuartal pertama di tahun 2023 ini. Logikanya, pada akhir tahun nanti, setidaknya angkanya bisa sama dengan tahun 2022 kemarin, atau jangan-jangan malah lebih tinggi.

Ini tak ubahnya lampu merah buat kita semua. Artinya, jika dibiarkan begitu saja angka-angka ini tanpa ada penanganan atau solusi anitisipatif sama sekali, maka hal ini merupakan sebuah peringatan tanda bahaya bahwa jumlah kasus pernikahan dini di Gunungkidul pada tahun 2023 kemungkinan masih akan tinggi, hal yang tentu sama sekali tidak kita inginkan. Oleh karena itu, apabila kita ingin tren ini tidak berlanjut, diperlukan langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengatasi pernikahan dini di daerah ini.


Faktor-faktor yang Memicu Pengajuan Dispensasi Nikah

Berdasarkan informasi yang kami peroleh, terdapat beberapa faktor yang memicu pengajuan dispensasi nikah di Gunungkidul oleh para pasangan muda yang nota bene jelas masih kanak-kanak (di bawah 19 tahun), yakni:


a. Hubungan seks sebelum menikah

Salah satu alasan utama untuk mengajukan dispensasi nikah adalah karena, menurut pengakuan mereka, sudah terjalin hubungan seksual layaknya suami istri sebelum pernikahan resmi dilangsungkan. Istilah teknisnya, mereka terlibat dalam praktik seks pranikah atau free sex, yakni kegiatan seksual tanpa/sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah (resmi). 

Ini memang menjadi keprihatinan kita semua, hampir di semua kapanewon di Gunungkidul kasusnya sama, yakni banyaknya calon pengantin baru yang sebelum mendaftarkan ke KUA, mereka sudah dalam kondisi tidak perawan. Artinya mereka sudah pernah melakukan hubungan suami istri. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka saat melangsungkan akad nikah di depan naib, si calon istri sudah dalam keadaan berbadan dua alias hamil.


b. Kehamilan 

Calon pengantin perempuan yang sudah hamil cenderung mengajukan dispensasi nikah. Pihak Pengadilan Agama kemungkinan besar akan mengabulkan permohonan tersebut, apalagi jika nyata-nyata calon pengantin perempuan telah melahirkan anak hasil hubungan pranikah tadi. Inilah yang disebut KTD (kehamilan tidak diinginkan), karena pihak si anak perempuan sebenarnya tidak menginginkan kehamilan tsb. Kalau sudah terjadi kehamilan, jalan keluar paling masuk akal ya harus menikah --dan karenanya mengajukan dispensasi nikah ke PA. Sebab, pernikahan adalah solusi satu-satunya untuk mengurangi beban sosial, rasa malu, dari si anak ataupun keluarga besarnya. Hanya saja, dengan menikah tersebut, si anak kehilangan dunia remajanya (yang identik dengan permainan) dan masa-masa pendidikannya (karena harus DO dari sekolah)


c. Khawatir akan berbuat dosa (zina)

Rasa takut dan kekhawatiran terhadap dosa zina juga menjadi alasan yang mendorong pengajuan dispensasi nikah. Umumnya, untuk alasan yang satu ini sangat kecil kemungkinan untuk dikabulkan pengajuan dispensasinya. Hakim lebih mempertimbangkan aspek kesehatan, mental, dan pendidikan si anak, sehingga dianjurkan agar mereka menunda waktu perkawinan sampai usia kedua calon mempelai mencukupi (setidaknya 19 tahun).


d. Keberadaan anak hasil hubungan pranikah 

Terdapat kasus di mana calon pengantin perempuan telah melahirkan anak sebelum menikah, yang kemudian menjadi alasan kuat untuk mengajukan dispensasi nikah. Kalau ini memang tidak bisa tidak, ya harus dikabulkan pengajuan dispensasi nikahnya. Meski tentu saja hal ini sangat disayangkan.


Persyaratan Dispensasi Nikah

Berdasarkan UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa, "perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun." Jika seseorang belum genap 19 tahun tetapi ingin melangsungkan perkawinan, maka mereka harus mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama.

Dalam Undang-Undang tersebut, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan). Batas usia tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik sehingga tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.

Pertimbangan UU Nomor 16 tahun 2019 terkait kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin antara lain bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Diharapkan, dengan perubahan usia tersebut akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Wawasan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana di dalamnya dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Proses pengajuan dispensasi nikah di Gunungkidul melibatkan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Kabupaten Gunungkidul. Sebelum mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Wonosari, calon pengantin perempuan harus menjalani pendampingan dari unit tersebut. Pendampingan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman, informasi, dan bimbingan kepada calon pengantin perempuan mengenai konsekuensi dan risiko pernikahan dini.

Hasil dari pendampingan ini kemudian diserahkan kepada pengadilan agama sebagai pertimbangan dalam memutuskan apakah calon pengantin tersebut layak atau tidak untuk melangsungkan perkawinan. Proses ini dilakukan dengan menjaga kerahasiaan dan privasi para pihak yang terlibat.

Selain pendampingan, salah satu syarat penting yang harus dilampirkan dalam pengajuan dispensasi nikah adalah bukti hasil tes laboratorium dari Puskesmas yang menyatakan bahwa calon pengantin perempuan sudah positif hamil. Hal ini menjadi faktor penentu yang mempengaruhi keputusan pengadilan agama dalam mengabulkan atau menolak permohonan dispensasi nikah.


Warning Terhadap Meningkatnya Kasus Stunting

Dalam banyak kasus, pernikahan dini terjadi di negara-negara berkembang dan sering kali melibatkan anak perempuan yang belum cukup matang secara fisik maupun emosional. Fenomena ini memiliki dampak yang serius terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan anak-anak yang lahir dari pernikahan dini.

Salah satu dampak yang paling signifikan dari pernikahan dini adalah terkait dengan masalah stunting. Yang menjadi keprihatinan kita semua, angka stunting di Gunungidul per Mei 2023 ini naik cukup signifikan, dari sebelumnya di kisaran angka 15%, kini di kisaran 17%. Menurut Koordiantor Satgas Stunting Kabupaten Gunungkidul, Erlando Henriques, meningkatnya angka stunting di Gunungkidul disebabkan cakupan sasaran yang naik. Ada sejumlah besar sasaran (baduta) yang di bulan-bulan sebelumnya tidak/belum diukur, sekarang diukur, dan ternyata kondisinya malah justru menambah angka stunting di tingkat kabupaten. "Sedangkan prosentase keluarga berisiko stunting, berdasarkan hasil verval pendataan keluarga, kini berada di kisaran 25%," ungkap Erlando.  

Stunting sendiri adalah kondisi di mana pertumbuhan fisik dan perkembangan anak terhambat, sehingga menyebabkan anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata anak seumurannya. Stunting bukan hanya masalah fisik semata, tetapi juga memiliki konsekuensi serius terhadap perkembangan kognitif, kesehatan, dan kemampuan anak dalam memaksimalkan potensi mereka (khususnya aspek akademis) di kemudian hari.

Kenapa kemudian praktik pernikahan dini akan berdampak sangat sugnifikan terhadap meningkatnya kasus stunting? Ini didasarkan pada analisis berikut ini: 

Pertama, jika seorang remaja putri menikah dini, maka berarti ia akan hamil pada usia yang sangat muda. Tubuh mereka belum siap secara fisik untuk menghadapi kehamilan dan melahirkan anak. Kekurangan gizi pada remaja yang masih tumbuh dan berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin di dalam kandungan. Jika seorang ibu hamil menderita kekurangan gizi atau kurang akses terhadap nutrisi yang memadai, ini dapat menghambat pertumbuhan janin dan menyebabkan stunting pada anak yang lahir.

Kedua, pernikahan dini seringkali mengakibatkan penghentian pendidikan bagi anak perempuan. Ketika seorang gadis menikah pada usia yang sangat muda, pendidikannya seringkali terhenti. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan formal dapat menghambat kesadaran akan pentingnya nutrisi yang seimbang dan pola makan yang baik. Akibatnya, orang tua muda ini mungkin tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memberikan asupan nutrisi yang optimal kepada anak-anak mereka, yang kemudian berkontribusi pada masalah stunting.

Ketiga, pernikahan dini sering terkait dengan kondisi sosio-ekonomi yang buruk. Banyak pasangan muda yang menikah belum siap secara finansial untuk mendukung keluarga mereka. Mereka mungkin tidak memiliki pekerjaan yang stabil atau pendapatan yang memadai untuk membeli makanan bergizi. Keadaan ini dapat menyebabkan keluarga tersebut menghadapi ketidakstabilan pangan, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka, dan akhirnya menyebabkan stunting.

Dampak pernikahan dini terhadap kasus stunting juga dapat terlihat dalam konteks kesehatan ibu. Kehamilan pada usia yang sangat muda meningkatkan risiko komplikasi kesehatan seperti anemia, preeklampsia, atau kelahiran prematur. Kondisi-kondisi ini dapat memengaruhi pertumbuhan janin dan menyebabkan stunting pada anak-anak yang lahir. Selain itu, ibu yang masih remaja mungkin tidak memiliki pengetahuan dan akses yang memadai terhadap layanan kesehatan reproduksi dan perawatan prenatal yang diperlukan untuk menjaga kesehatan ibu dan janin.

Anak-anak yang mengalami stunting cenderung mengalami kesulitan dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kognitif mereka. Hal ini dapat menghambat keampuan mereka untuk belajar, berpartisipasi dalam pendidikan, dan akhirnya mempengaruhi kesempatan pekerjaan di masa depan.


Langkah-langkah Antisipatif

Berdasarkan data dan informasi yang diberikan, pernikahan dini masih menjadi permasalahan serius di Gunungkidul. Meskipun terjadi penurunan jumlah pengajuan dispensasi nikah dari tahun 2021 hingga 2022, namun peningkatan yang terlihat pada awal tahun 2023 (di kuartal pertama saja sudah 52 kasus), hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut dalam mengatasi pernikahan dini di daerah ini.

Dalam hal ini diperlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah (dari tingkat kabupaten, kapanewon, hingga kalurahan dan padukuhan), lembaga perlindungan perempuan dan anak, lembaga/ormas/tokoh keagamaan, serta masyarakat dalam menangani pernikahan dini. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:


1. Pendidikan dan Informasi

Perlu dilakukan upaya pemberdayaan melalui pendidikan dan penyuluhan yang menekankan pentingnya pendidikan formal, kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, dan dampak negatif pernikahan dini. Informasi yang akurat dan mudah diakses tentang konsekuensi pernikahan dini juga perlu disebarkan kepada masyarakat.

Dalam hal ini, salah satu aspek penting dari pencegahan nikah dini adalah pendidikan formal. Dengan memperkuat akses pendidikan bagi anak-anak, terutama perempuan, mereka dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh sebelum memasuki ikatan pernikahan. Pendidikan formal memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Selain itu, pendidikan dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang hak-hak individu, termasuk hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Kesetaraan gender juga merupakan hal penting yang perlu ditekankan dalam upaya pencegahan nikah dini. Perempuan seringkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap praktek nikah dini. Dengan memberikan pendidikan yang setara bagi perempuan dan laki-laki, kita dapat mengurangi kesenjangan gender dan mendorong perempuan untuk menjadi mandiri serta memiliki peran yang setara dalam masyarakat. Kesetaraan gender tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga menciptakan kondisi sosial yang lebih baik untuk mencegah pernikahan dini.

Pendidikan tentang kesehatan reproduksi juga sangat penting dalam pencegahan nikah dini. Banyak remaja yang kurang mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang kesehatan reproduksi, kontrasepsi, dan hubungan sehat. Dengan memberikan informasi yang akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi, remaja dapat membuat keputusan yang sadar tentang kehidupan seksual mereka dan menghindari risiko pernikahan dini. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi juga dapat membantu mengurangi angka kehamilan remaja yang tidak diinginkan dan penyebaran penyakit menular seksual.

Selain itu, informasi yang akurat dan mudah diakses tentang konsekuensi pernikahan dini perlu disebarkan kepada masyarakat. Banyak remaja yang belum sepenuhnya menyadari dampak negatif pernikahan dini, seperti risiko kesehatan yang lebih tinggi bagi ibu dan bayi, penghentian pendidikan, dan keterbatasan ekonomi. Dengan menyebarkan informasi ini melalui berbagai saluran, seperti program pendidikan di sekolah, kampanye media sosial, dan penyuluhan masyarakat, kita dapat meningkatkan kesadaran tentang risiko pernikahan dini dan mendorong perubahan sikap dan perilaku. 

Menurut Kabid Dalduk dan KB, Muhammad Amirudin, SSos, terkait dengan hal ini, fungsi dan peran kelompok-kelompok kegiatan di masyarakat seperti BKR (bina keluarga remaja), PIK-R (pusat informasi dan konseling remaja), posyandu remaja, yang dibina oleh BPKB/BKKBN dan Dinkes sangat penting sebagai forum edukasi dan konseling tentang kesehatan reproduksi remaja. 

"Sekarang di setiap kanapewon di Gunungkidul sudah ada poktan BKR an PIK-R dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk PIK-R tidak hanya di jalur masyarakat, tetapi ada juga yang di jalur sekolah. Di setiap kapanewon sekarang kan ada kampung KB setidaknya 2 buah. Nah, di kampung KB pasti akan poktan PIK Remaja-nya. Kegiatan edukasi dan konseling remaja di PIK-R di kampung KB dapat menjadi contoh bagi kampung-kampung lain, baik di dalam satu kelurahan atau antar kalurahan, dalam rangka meningkatkan pemahaman dan wawasan remaja seputar kesehatan reproduksi," ujar Amir, sapaan akrabnya. 

"Dalam hal ini tinggal bagaimana para pemangku kepentingan mengambil peran dalam memberdayakan kampung KB, khususnya, dan kampung-kampung lain di kalurahan untuk mewujudkan wahana kegiatan edukasi dan informasi kesehatan reproduksi bagi para remaja. Tentu saja untuk merealisasikannya bida selalu berkoordinasi dengan penyuluh KB yang membina wilayah tsb," tegas Amir. 


2. Penguatan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak

Unit Pelayanan Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak di Dinsos P3A Kabupaten Gunungkidul perlu diberdayakan dengan sumber daya yang memadai untuk memberikan pendampingan yang efektif kepada calon pengantin perempuan.

Jelasnya, bahwa dalam upaya pencegahan nikah dini, penguatan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) merupakan langkah yang penting dan strategis. UPT PPA merupakan bagian dari Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang memiliki peran krusial dalam memberikan perlindungan dan pendampingan kepada calon pengantin perempuan yang berisiko terlibat dalam pernikahan dini. Penguatan UPT PPA dengan sumber daya yang memadai sangat diperlukan untuk memberikan pendampingan yang efektif dalam pencegahan nikah dini.

Salah satu peran utama UPT PPA adalah memberikan pendampingan dan bimbingan kepada calon pengantin perempuan. Melalui pendampingan yang dilakukan secara intensif, tentu oleh tenaga (ASN) yang berkualitas dan profesional, calon pengantin perempuan dapat mendapatkan informasi yang akurat tentang hak-hak mereka, risiko pernikahan dini, dan alternatif lain yang dapat mereka pilih. Pendampingan ini juga bertujuan untuk memberikan dukungan emosional dan sosial kepada calon pengantin perempuan, sehingga mereka merasa didengar, dihargai, dan memiliki pilihan dalam menentukan masa depan mereka.

Penguatan UPT PPA bertujuan untuk menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Karenanya, dalam hal ini UPT PPA perlu memiliki anggaran yang cukup untuk melaksanakan program pendampingan dan perlindungan bagi calon pengantin perempuan. Dalam hal ini, alokasi anggaran yang memadai dapat digunakan untuk melatih dan menggaji para tenaga profesional, memperluas jaringan kerja dengan lembaga dan organisasi terkait, serta menyediakan fasilitas yang memadai untuk kegiatan pendampingan. Dengan adanya sumber daya yang memadai, UPPPA dapat beroperasi secara efektif dan memberikan layanan yang berkualitas kepada calon pengantin perempuan.

Dalam implementasinya UPT PPA memiliki peran dalam melakukan advokasi dan pengembangan kebijakan terkait pencegahan nikah dini. UPT PPA dapat berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti Pengadilan Agama, Kementerian Agama (Kemenag), DPMKPPKB (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan, Pengendalikan Penduduk dan KB), lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat, untuk mengadvokasi pentingnya pencegahan nikah dini dan perlindungan bagi calon pengantin perempuan. UPT PPA juga dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah dalam pengembangan kebijakan yang berfokus pada pencegahan nikah dini dan peningkatan perlindungan perempuan dan anak.

Poinnya, bahwa penguatan UPT PPA sangat penting dalam pencegahan nikah dini. Karena, dengan memberikan pendampingan yang efektif, melibatkan pemangku kepentingan, serta menyediakan sumber daya yang memadai, UPT PPA dapat menjadi kekuatan yang berpengaruh dalam mencegah pernikahan dini dan melindungi hak-hak calon pengantin perempuan. Dengan upaya bersama dan kolaborasi yang kuat, diharapkan angka nikah dini di Gunungkidul dapat berkurang, sehingga berkontribusi di dalam memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perempuan muda untuk menggapai impian dan masa depan yang lebih cerah.


3. Peran Lembaga/Ormas/Tokoh Keagamaan

Lembaga atau ormas keagamaan, misalnya: NU, Muhammadiyah, MUI, pondok pesantren, dll, memiliki peran yang signifikan dalam pencegahan nikah dini. Sebagai lembaga yang dihormati dan diakui oleh masyarakat, lembaga keagamaan memiliki pengaruh yang besar terhadap keyakinan dan praktik kehidupan beragama. Dalam konteks pencegahan nikah dini, lembaga keagamaan dapat memainkan peran penting dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama terkait perkawinan dan pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai usia yang cukup matang.

Salah satu peran utama lembaga/ormas keagamaan adalah menyampaikan pesan-pesan agama yang mendorong kesadaran akan pentingnya menunda pernikahan. Melalui ceramah, khutbah Jumat, pengajian, atau kegiatan keagamaan lainnya, para pemimpin agama (ustaz, kiai) yang berafiliasi kepada lembaga/ormas keagamaan dapat menyampaikan nilai-nilai agama yang menekankan pentingnya pendidikan, perkembangan pribadi, dan kesiapan mental dan emosional sebelum memasuki ikatan pernikahan. Dengan memberikan pemahaman yang benar dan mendalam tentang ajaran agama, lembaga keagamaan dapat mengubah persepsi masyarakat terkait nikah dini dan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka.

Selain itu, lembaga/ormas keagamaan juga dapat melakukan kampanye dan penyuluhan yang mengedepankan nilai-nilai agama yang mendorong kesadaran akan pentingnya menunda pernikahan. Kampanye dan penyuluhan ini dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti ceramah di masjid, seminar, diskusi kelompok, atau melalui media sosial. Dalam kampanye ini, lembaga keagamaan dapat membahas konsekuensi negatif pernikahan dini, baik dari perspektif agama maupun sosial. Dengan cara ini, lembaga keagamaan dapat memberikan informasi yang akurat dan meyakinkan kepada masyarakat mengenai dampak buruk pernikahan dini bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.

Selain memberikan pemahaman dan melakukan kampanye, lembaga/ormas keagamaan juga dapat memberikan dukungan dan bantuan praktis kepada individu yang berisiko terlibat dalam pernikahan dini. Misalnya, lembaga/ormas keagamaan dapat membentuk Unit Konseling Keluarga yang berfokus pada pencegahan nikah dini. Unit ini dapat menyediakan layanan konseling, pendampingan, dan bimbingan bagi calon pengantin perempuan dan keluarganya. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh para pemuka agama yang berpengalaman, mereka dapat memberikan nasihat dan arahan yang sesuai dengan ajaran agama serta memberikan solusi alternatif bagi calon pengantin perempuan yang ingin menunda pernikahan.

Selain itu, lembaga/ormas keagamaan juga dapat berperan sebagai mediator dalam upaya mencegah pernikahan dini. Mereka dapat mengadakan pertemuan dengan keluarga dan calon pengantin untuk membahas secara terbuka dan memahami situasi yang dihadapi. Dalam mediasi ini, lembaga keagamaan dapat mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan gender, dan kepentingan terbaik bagi calon pengantin perempuan. Melalui dialog dan negosiasi yang dilakukan secara bijaksana, lembaga/ormas keagamaan dapat membantu keluarga dan calon pengantin memahami konsekuensi negatif dari pernikahan dini dan mengambil keputusan yang lebih baik untuk menunda pernikahan hingga mereka siap secara fisik, emosional, dan psikologis.

Dalam upaya pencegahan nikah dini, kolaborasi antara lembaga keagamaan, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sangat penting. Lembaga keagamaan dapat berperan sebagai mitra strategis dalam mengembangkan program pencegahan nikah dini, mengoordinasikan kegiatan pendidikan dan penyuluhan, serta memberikan panduan moral dan spiritual kepada masyarakat. Dengan bekerja bersama-sama, lembaga keagamaan dapat memperkuat upaya pencegahan nikah dini dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal calon pengantin perempuan.

Prinsipnya, bahwa lembaga/ormas keagamaan memiliki peran penting dalam pencegahan nikah dini. Melalui pemahaman yang benar tentang ajaran agama, kampanye, penyuluhan, pendampingan, mediasi, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, lembaga keagamaan dapat memainkan peran yang berarti dalam mengubah persepsi masyarakat, memberikan bimbingan dan dukungan praktis, serta membantu mengambil keputusan yang bijak dalam menunda pernikahan. Dengan upaya yang terkoordinasi dan sinergi, diharapkan angka nikah dini dapat berkurang, dan generasi muda dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, mengejar pendidikan dan membangun masa depan yang lebih cerah.


4. Perbaikan Akses Kesehatan Reproduksi

Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi merupakan langkah yang sangat penting dalam upaya pencegahan nikah dini. Akses yang baik terhadap layanan kesehatan reproduksi meliputi penyediaan informasi yang akurat, konseling yang komprehensif, serta metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau. Dengan memperkuat akses ini, diharapkan calon pengantin dapat memperoleh pengetahuan yang memadai, membuat keputusan yang lebih baik terkait perkawinan dan kehamilan, serta menghindari risiko pernikahan dini yang berdampak negatif pada kesehatan dan masa depan mereka.

Dalam hal ini, yang pertama kali harus diperhatikan adalah penyediaan informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi sangat penting. Calon pengantin (remaja pranikah) perlu memahami anatomi reproduksi, siklus menstruasi, fertilisasi, konsepsi, serta cara-cara untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Informasi yang jelas dan mudah dipahami tentang pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai usia yang matang secara fisik, emosional, dan psikologis juga perlu disampaikan. Dengan pemahaman yang benar, calon pengantin dapat membuat keputusan yang berdasarkan pengetahuan yang memadai dan memperhitungkan dampak jangka panjang dari pernikahan dini.

Selain itu, konseling yang komprehensif juga menjadi hal yang sangat diperlukan. Calon pengantin perlu memiliki akses terhadap konselor kesehatan reproduksi yang terlatih untuk memberikan dukungan, nasihat, dan informasi yang tepat. Konseling dapat membantu calon pengantin memahami konsekuensi pernikahan dini, risiko kesehatan yang terkait, serta alternatif lain yang dapat dipertimbangkan, seperti menunda pernikahan dan fokus pada pendidikan atau pengembangan pribadi. Dengan adanya konseling yang komprehensif, calon pengantin dapat merasa didengar, didukung, dan memiliki pilihan yang lebih baik dalam mengelola kesehatan reproduksi mereka.

Selain informasi dan konseling, penting juga untuk memastikan akses yang mudah dan terjangkau terhadap metode kontrasepsi yang aman. Calon pengantin perlu mengetahui dan memiliki pilihan yang beragam mengenai metode kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Perlu ada upaya untuk memperluas jangkauan dan ketersediaan metode kontrasepsi, termasuk kontrasepsi hormonal, kondom, spiral, dan metode jangka panjang lainnya. Selain itu, penting juga untuk memastikan bahwa metode kontrasepsi tersebut tersedia dengan harga yang terjangkau atau bahkan disubsidi, agar tidak menjadi hambatan bagi mereka yang ingin mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Untuk kategori yang bersubsidi ini, dalam hal ini sudah difasilitasi oleh Puskesmas.

Perbaikan akses kesehatan reproduksi juga harus melibatkan pendekatan yang komprehensif, termasuk pendidikan dan pelibatan masyarakat secara luas. Pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan reproduksi dan pencegahan nikah dini perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, kelompok-kelompok kegiatan (poktan) seperti PIK-R (pusat informasi dan konseling remaja, program binaan Balai Penyuluhan KB/KKBN), posyandu remaja (binaan Puskesmas/Dinkes), dan media massa sangat penting. Mereka dapat berkolaborasi dengan layanan kesehatan reproduksi dalam menyampaikan informasi yang akurat, mengadakan kampanye, dan menggelar acara penyuluhan yang melibatkan masyarakat secara aktif.

Selain itu, perlu juga adanya dukungan kebijakan yang memperkuat akses kesehatan reproduksi. Pemerintah dan lembaga terkait harus berperan aktif dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung akses mudah dan terjangkau terhadap layanan kesehatan reproduksi. Ini termasuk peningkatan investasi dalam infrastruktur kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan yang kompeten dalam pelayanan kesehatan reproduksi, dan pengadaan metode kontrasepsi yang memadai.

Selain itu, upaya pemberdayaan perempuan dan pendidikan gender juga harus menjadi bagian penting dari perbaikan akses kesehatan reproduksi. Pendidikan yang mempromosikan kesetaraan gender, hak-hak reproduksi, dan kemandirian perempuan dapat memberikan landasan yang kuat bagi calon pengantin perempuan untuk mengambil keputusan yang bijak terkait perkawinan dan kehamilan. Ini termasuk pendidikan tentang pilihan hidup yang mandiri, pengetahuan mengenai hak-hak reproduksi, dan kemampuan dalam membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati.

Poin pentingnya, bahwa perbaikan akses kesehatan reproduksi adalah langkah penting dalam pencegahan nikah dini. Dengan memberikan informasi, konseling, dan metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau, calon pengantin dapat mengambil keputusan yang lebih baik terkait perkawinan dan kehamilan. Melibatkan pendidikan, pelibatan masyarakat, dan dukungan kebijakan yang kuat, diharapkan akses kesehatan reproduksi dapat ditingkatkan secara signifikan. Hal ini akan membantu mengurangi angka pernikahan dini, melindungi kesehatan dan masa depan calon pengantin, serta memberikan kesempatan yang lebih baik bagi mereka untuk mencapai potensi mereka secara penuh dan menjalani kehidupan yang sehat, bahagia, dan bermartabat.


5. Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Nikah dini merupakan masalah serius yang mempengaruhi banyak negara, terutama di kalangan remaja. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan upaya yang melibatkan masyarakat secara aktif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini serta pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai kematangan fisik, emosional, dan psikologis sangatlah penting. Dalam upaya ini, kampanye sosial dan pendekatan komunitas dapat menjadi strategi yang efektif.

Dalam hal ini, pertama-tama, kampanye sosial dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pernikahan dini. Untuk konteks sekarang, kampanye ini dapat dilakukan melalui media media sosial, seperti IG, Facebook, YouTube, Tiktok, dsb, yang memang sudah sangat familier di tengah masyarakat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan informasi yang akurat dan mengedukasi masyarakat mengenai risiko dan konsekuensi negatif pernikahan dini. Kampanye ini juga dapat mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan nikah dini dengan mengubah pola pikir dan perilaku yang mendukung pernikahan dini.

Selain kampanye sosial, pendekatan komunitas juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Melibatkan tokoh masyarakat, seperti pemimpin/tokoh agama, lurah, tokoh adat, kader PKK, kader KB dan kesehatan,  dan sebagainya dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi pandangan dan praktek masyarakat terkait pernikahan dini. Mereka dapat menyampaikan pesan-pesan yang mendukung penundaan pernikahan, mengedepankan pentingnya pendidikan, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan gender.

Selain itu, melibatkan keluarga juga penting, karena mereka memiliki pengaruh langsung dalam membentuk sikap dan keputusan calon pengantin. Dengan membangun kesadaran dan mendapatkan dukungan dari keluarga, remaja akan lebih termotivasi untuk menunda pernikahan dan fokus pada pendidikan dan perkembangan pribadi. 

"Di sini peran para orangtua yang terlibat dalam kelompok kegiatan (poktan) seperti BKR (bina keluarga remaja) sangat penting dalam mengarahkan keputusan anak agar menunda keinginannya untuk menikah," ujar Hudoyo, SSos, koordinator PKB Kapanewon Semanu. 

"Sebab," lanjut Pak Hud, sapaan akrab beliau, "bagaimana pun juga, dibanding di sekolah atau masyarakat, waktu terbanyak remaja-remaja kita adalah di rumah bersama keluarga terdekatnya. Oleh karena itu, saya mengajak kepada para orangtua, marilah selalu membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak remaja kita, agar kita bisa menjadi teman berbagi pikiran, sehingga besar potensinya saran dan masukan positif kita akan didengar oleh remaja sebelum mengambil keputusannya terkait pernikahan." 

Pendekatan komunitas juga dapat mencakup kegiatan seperti lokakarya, diskusi kelompok, dan penyuluhan di tingkat komunitas/kelompok. Melalui kegiatan ini, informasi yang akurat dan relevan tentang pencegahan nikah dini dapat disampaikan kepada masyarakat secara langsung. Diskusi dan interaksi dalam kelompok dapat memungkinkan masyarakat, orangtua remaja, atau bahkan remaja sendiri, untuk berbagi pengalaman, memperoleh pengetahuan baru, dan mengubah sikap dan perilaku yang tidak sehat terkait pernikahan dini. Peran kelompok-kelompok kegiatan seperti BKR di kalurahan-kalurahan, PIK-R di sekolah atau kalurahan, dalam hal ini sangat penting dalam pendekatan ini.

Selain itu, penguatan pendidikan dalam lingkungan sekolah juga penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Pendidikan formal dapat menjadi sarana untuk menyampaikan informasi yang benar dan menyeluruh tentang dampak pernikahan dini, hak-hak reproduksi, dan pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai kesiapan yang cukup. Kurikulum sekolah dapat memasukkan topik-topik ini dalam pelajaran kesehatan reproduksi, pendididikan agama, atau pendidikan kewarganegaraan. Dengan demikian, para siswa akan mendapatkan pengetahuan yang komprehensif dan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu terkait pernikahan dini.

Yang tak kalah penting adalah menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para remaja. Hal ini meliputi pembangunan fasilitas pendidikan yang memadai, termasuk sarana dan prasarana yang memungkinkan akses pendidikan bagi semua anak, tanpa diskriminasi gender atau sosial. Selain itu, program-program pengembangan keterampilan dan peningkatan kesadaran diri juga perlu diperkuat. Dengan memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan potensi mereka, meraih pendidikan yang layak, dan memiliki akses ke informasi yang akurat, mereka akan lebih mampu mengambil keputusan yang bijak terkait perkawinan dan masa depan mereka.

Untuk mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan yang efektif di atas, dalam hal ini penting untuk melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, organisasi masyarakat, keluarga, dan individu. Kolaborasi dan kerjasama antara berbagai pihak akan memperkuat upaya pencegahan nikah dini. Pada akhirnya, tujuan utama adalah menciptakan kesadaran yang luas dalam masyarakat tentang pentingnya menunda pernikahan, memberikan akses yang memadai terhadap pendidikan, kesehatan reproduksi, dan pembangunan pribadi, sehingga para remaja dapat memiliki masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

Intinya, peningkatan kesadaran masyarakat merupakan kunci dalam upaya pencegahan nikah dini. Kampanye sosial, pendekatan komunitas, pendidikan formal, peran media massa, dan lingkungan yang mendukung adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan. Melalui upaya bersama dan komitmen dari semua pihak, diharapkan dapat terwujud perubahan yang signifikan dalam mengatasi pernikahan dini dan melindungi masa depan para remaja. Dengan membangun kesadaran yang kuat, kita dapat memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, mengambil keputusan yang bijak, dan mencapai potensi mereka sepenuhnya. Dengan masyarakat yang sadar akan pentingnya menunda pernikahan, kita dapat membentuk budaya yang menghargai pendidikan, kesetaraan gender, dan kesehatan reproduksi. Ini akan memberikan perlindungan dan kesempatan yang lebih baik bagi para remaja untuk mencapai impian mereka, membangun karir, dan berkontribusi secara positif dalam pembangunan masyarakat.

Oleh karena itu, upaya yang berkelanjutan dan terintegrasi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan nikah dini ini tidak bisa dianggap enteng. Dengan mengubah persepsi dan pola pikir masyarakat, serta membangun lingkungan yang mendukung bagi para remaja, kita dapat memutus siklus pernikahan dini dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi generasi muda. Semua pihak harus bergandengan tangan dalam melakukan upaya ini, memperkuat kolaborasi, dan memastikan bahwa pesan-pesan pencegahan nikah dini sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Hanya dengan melakukan ini bersama-sama, kita dapat mencapai perubahan yang signifikan dan mengakhiri praktik pernikahan dini yang merugikan para remaja dan masyarakat secara keseluruhan.


6. Penegakan Hukum

Penegakan hukum yang kuat dan efektif merupakan elemen penting dalam upaya pencegahan nikah dini. Melalui penegakan hukum yang tegas, dapat dibangun iklim yang memperkuat perlindungan terhadap hak-hak anak, memberikan sanksi kepada pelanggar, dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks pernikahan dini, penegakan hukum harus fokus pada dua aspek utama: proses pernikahan dan perlindungan terhadap anak.

Lanngkah pertama, dalam proses pernikahan, pengadilan agama memegang peran sentral dalam memberikan dispensasi nikah kepada calon pengantin yang belum mencapai usia yang cukup matang. Penting bagi pengadilan agama untuk melaksanakan tugasnya dengan seksama dan mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan anak. Pengadilan harus memastikan bahwa calon pengantin yang masih di bawah usia yang ditetapkan tidak diberikan izin untuk menikah secara prematur. Hal ini melibatkan pemeriksaan dokumen identitas yang valid dan proses verifikasi yang ketat untuk memastikan bahwa calon pengantin telah mencapai usia yang sah untuk menikah.

Selain itu, pengadilan agama juga dapat memainkan peran aktif dalam memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada calon pengantin. Mereka dapat menyampaikan informasi yang jelas tentang dampak negatif pernikahan dini, hak-hak reproduksi, dan pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai kematangan fisik, emosional, dan psikologis. Pendidikan ini dapat membantu para calon pengantin memahami konsekuensi jangka panjang dari pernikahan dini dan membuat keputusan yang lebih bijaksana.

Selain proses pernikahan, penegakan hukum juga harus berfokus pada perlindungan terhadap anak. Pernikahan dini sering kali melibatkan anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan dan belum siap secara fisik maupun mental untuk menjalani pernikahan. Oleh karena itu, perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap praktik pernikahan dini yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Pemerintah harus mengadopsi undang-undang yang jelas dan melarang pernikahan di bawah usia yang ditetapkan secara hukum, serta menetapkan sanksi yang tegas bagi pelanggar.

Dalam praksisnya, penegakan hukum yang efektif memerlukan kerja sama antara berbagai lembaga terkait, seperti kepolisian, pengadilan, dan dinas sosial. Kepolisian harus melakukan investigasi yang menyeluruh terhadap laporan pernikahan dini dan melibatkan para pelaku serta pihak yang terlibat dalam praktik ini. Pengadilan harus memastikan bahwa pelanggar dikenai sanksi yang sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk denda, hukuman pidana, atau tindakan rehabilitasi yang uai dengan kebutuhan. Dinas sosial juga memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban pernikahan dini, termasuk penyediaan layanan konseling, pemulihan psikososial, dan reintegrasi sosial.

Selain itu, penegakan hukum harus didukung oleh kampanye informasi yang luas dan jelas. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa harus bekerja sama dalam menyebarkan informasi yang akurat tentang dampak negatif pernikahan dini, hak-hak anak, dan upaya pencegahan yang ada. Kampanye tersebut dapat mencakup penyuluhan di sekolah, penyuluhan di kelompok kegiatan (poktan), ceramah di masyarakat, acara radio, serta materi informasi yang mudah diakses melalui platform online. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menunda pernikahan hingga mencapai usia yang matang dan melindungi hak-hak anak.

Terkait dengan sanksi kepada pelaku, perlu ada pendekatan rehabilitatif dalam penegakan hukum terhadap praktik pernikahan dini. Sanksi yang diberikan harus tidak hanya bersifat punitif, tetapi juga mendukung pemulihan dan reintegrasi sosial para korban. Dalam hal ini, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk menyediakan layanan rehabilitasi yang komprehensif, termasuk pendampingan psikososial, pemberian keterampilan, pelatihan kerja, dan akses terhadap pendidikan yang memungkinkan korban pernikahan dini untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang efektif, diperlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah, dukungan sumber daya yang memadai, dan kolaborasi yang erat antara lembaga pemerintah, lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum. Hanya dengan memastikan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, serta adanya upaya pencegahan dan rehabilitasi yang holistik, dapat kita mencapai pengurangan yang signifikan dalam praktik pernikahan dini dan melindungi hak-hak anak.

Pentingnya penegakan hukum dalam pencegahan nikah dini tidak boleh diabaikan. Melalui langkah-langkah yang kuat dan berkelanjutan, kita dapat melindungi generasi muda dari praktik yang merugikan ini, memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, serta membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan. Penegakan hukum yang efektif dalam pencegahan nikah dini akan memberikan dampak jangka panjang yang positif bagi masyarakat.

Yang tak kalah penting, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap penegakan hukum dalam pencegahan nikah dini. Dengan melakukan evaluasi secara berkala, dapat diidentifikasi kelemahan dan tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan peningkatan yang diperlukan. Dalam hal ini, lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan lembaga akademik dapat berperan dalam melakukan penelitian, pengumpulan data, dan analisis untuk memperkuat kebijakan dan tindakan yang efektif.

Penegakan hukum dalam pencegahan nikah dini tidak hanya berdampak pada individu dan keluarga yang terlibat, tetapi juga pada perkembangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan mencegah praktik pernikahan dini, kita membuka peluang bagi para remaja untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik, mengembangkan keterampilan, dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan masyarakat, yang kesemua itu tak mungkin tercapai jika anak-anak terjebak dalam praktik pernikahan dini. Selain itu, penegakan hukum yang kuat juga menunjukkan komitmen negara dalam melindungi hak-hak anak dan mempromosikan kesetaraan gender.

Intinya, urgensi penegakan hukum dalam pencegahan nikah dini tidak bisa diremehkan. Hukum yang jelas, sanksi yang tegas, dan penegakan yang konsisten menjadi landasan dalam melindungi hak-hak anak dan mencegah praktik yang merugikan ini. Dalam upaya ini, kerjasama yang erat antara berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat umum sangatlah penting. Dengan bekerja bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi para remaja, serta membangun masyarakat yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berwawasan masa depan.


Khatimah

Pernikahan dini di Gunungkidul merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Data pengajuan dispensasi nikah menunjukkan penurunan jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir, namun peringatan dari peningkatan kasus pada awal tahun 2023 membutuhkan upaya lebih lanjut dalam mengatasi masalah ini.

Dalam mengatasi pernikahan dini, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan pemerintah, lembaga perlindungan perempuan dan anak, lembaga keagamaan, serta masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan dan informasi yang tepat, penguatan unit perlindungan perempuan dan anak, peran lembaga keagamaan, perbaikan akses kesehatan reproduksi, peningkatan kesadaran masyarakat, dan penegakan hukum yang kuat merupakan beberapa langkah yang dapat diambil.

Dengan upaya kolaboratif dan berkelanjutan, diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan dini di Gunungkidul. Pernikahan merupakan institusi yang penting dalam kehidupan masyarakat, dan penting untuk memastikan bahwa perkawinan terjadi pada usia yang matang, dengan pemahaman dan kesadaran akan tanggung jawab serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat.(*)
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine