Ibu, Madrasah Cinta Yang Tak 'Kan Lekang oleh Masa

Oleh: Asar Janjang Lestari, SPsi, MAP (PKB Kapanewon Wonosari)


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku, anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
Seperti udara
Kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas Ibu
Ibu...

(Iwan Fals, 1988)


Sepenggal lirik lagu karya Iwan Fals tersebut selalu mampu memantik memori saya pada sosok ibu, pribadi istimewa dalam hidup saya, role model dalam perjuangan menjadi istri dan ibu bagi putra-putrinya. Ibu dalam keseharian hidup dimaknai sebagai oase kasih sayang, muara cinta bagi semua putra-putrinya. Perjuangan beliau sangat luar biasa, salah satunya dalam memberikan fondasi bagi pembentukan karakter anak. Sebagai wujud takzim, saya goreskan tulisan ini, membagi sebentuk kebaikan seorang ibu kepada semesta-Nya.

Lebih dari dua ribu tahun yang lalu  Cicero, seorang filsuf dan negarawan Yunani, menyatakan bahwa kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya. Toynbee, seorang sejarawan Inggris bahkan menegaskan bahwa 19 dari 21 peradaban besar di muka bumi ini hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pelapukan moral dari dalam (Raka, 2011).  

Kesadaran serupa ini dimiliki oleh ibu, tanpa banyak retorika teoritis. Ibu, perempuan desa dengan kecerdasan personal yang khas, dalam balutan pendidikan formal yang tidak tinggi, memberi kami banyak pelajaran dan hikmah tentang karakter, nilai-nilai moral dan kebajikan. Dialah ibu, sosok dinamis nan lincah laksana Srikandi, sekaligus penuh kelembutan laksana Wara Sembadra, bersetia dalam darma baktinya kepada keluarga hingga di ujung usia. 

Bagaimana pun, ibulah peletak fondasi utama tentang pendidikan karakter bagi anak. Ibu bagaikan school of love, sekolah cinta yang mengajarkan kepada putra-putrinya tentang nilai-nilai moral dan kebaikan dalam kehidupan. Salah satu nilai itu adalah bahwa kejujuran merupakan nilai hidup yang semestinya terpahat kuat di dalam diri.  Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character) di mana ajaran pertamanya adalah kejujuran.

Ibu adalah fondasi keluarga. Artinya peran ibu dalam keluarga sangat penting dalam proses pembentukan karakter seorang anak. Kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi seorang anak agar dapat berkepribadian baik, dan ini semua sangat tergantung pada peran perempuan sebagai ibu. Pada pengasuhan, ibu  memberi teladan melalui kebiasaan (habits) sehari-hari guna membangun karakter yang positif. Tanpa banyak tutur, teori, dan tuntutan, ibu menjadi contoh nyata kebiasaan bersikap jujur, bertanggung jawab, disiplin (semisal bangun sebelum subuh, selalu menunggu waktu salat/ibadah), rajin dalam tugas domestik di keluarga sekaligus terlibat aktif dalam peran publik di masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat Aristoteles yang menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan (habits). 

Seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya, pertama dan utama dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Membentuk karakter anak meniscayakan peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penanaman nilai. Mengutip Phillips, Azra (2010) menyarankan keluarga hendaknya menjadi school of love, sekolah untuk cinta/kasih sayang. Salah satu lakon utama di keluarga saya dalam peran ini adalah ibu. Ibu sebagai school of love adalah madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta dan kasih sayang sejati. Ibu merupakan oase dalam lika-liku dinamika kehidupan kami. 

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa menjalankan fungsi perannya. Menjalin interaksi (hubungan) dengan orang lain menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan sosial. Begitu pula dengan anak-anak. Setiap anak adalah makhluk sosial yang memerlukan lingkungan untuk mengekspresikan kebutuhan sosial dalam dirinya. Secara lebih khusus, setiap anak memiliki kebutuhan untuk berfigur terdekat dengan orang lain. Kehadiran figur terdekat sangat penting bagi anak karena membuat mereka bersedia saling belajar, selalu diliputi rasa senang, dan bertumbuhkembang dengan lebih baik.

Penting bagi ibu untuk mengambil peran menjadi figur terdekat bagi anak. Figur terdekat dalam hal ini bermakna teman yang dekat. Dengan membangun peran menjadi figur terdekat anak,  ibu  bisa membuat anak lebih nyaman, senang, dan terbuka karena sebagai figur terdekat posisi ibu dan anak cenderung lebih sejajar. Menempatkan diri sebagai figur terdekat akan membuat interaksi ibu dengan anak lebih akrab, dekat, dan lekat sehingga ibu bisa lebih memahami keinginan dan harapan anak. 

School of love. Setiap kita membutuhkan sentuhan afeksi, cinta, dan kasih sayang. Bagi seorang anak sentuhan cinta akan menentukan pula pembentukan kepribadiannya. Cinta kasih orang tua sangat berarti. Salah satu hal yang dilakukan ibu untuk mejadi figur terdekat anak adalah dengan penerimaan tulus tanpa syarat terhadap anak, menerima semua anak apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Belakangan ketika belajar di dunia psikologi, saya pahami cara ibu menerima kami sebagai teknik pengasuhan unconditional positive regard. Unconditional positive regard adalah keadaan di mana seseorang diakui dan dipercaya memiliki kemampuan yang dapat ia kembangkan sehingga ia dihargai hanya menjadi dirinya sendiri (tanpa bersyarat). Sikap penerimaan yang tulus dari ibu membuat saya sebagai anak merasa diterima, dicintai, dihargai, nyaman dan menjadi percaya diri.

Sebagai figur terdekat anak, ibu juga membangun komunikasi yang khas  sebagai bentuk komunikasi yang dilakukan dari hati, membangun kelekatan emosi (emotional bonding) yang positif dengan semua putra-putrinya. Dalam kehidupan sehari-hari, ibu membiasakan diri meluangkan waktu berkualitas untuk berbicara dari hati ke hati dengan anak. Cara ibu berbicara dari hati ke hati, sering  membuat saya merasakan  “keintiman”, rasa saling percaya, saling memberi dan menerima. Dalam kelugasannya, ibu mengajarkan kepada kami tentang empati sebagai bentuk respon emosional terhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang dialami anak dengan cara berusaha memahami suasana hati anak. 

Pada penggal hidup saya selanjutnya, ibu memberikan banyak teladan tanpa banyak retorika tentang empati ini. Ibu terlibat langsung pada pengasuhan cucu-cucunya, mengajari kami dengan sederhana untuk merasakan apa yang dirasakan oleh anak berdasarkan perspektif anak, sebagai penerimaan terhadap keseluruhan diri anak. Bentuk penerimaan ini tampak pada interaksi  yang terjadi dengan menjadi pendengar yang baik bagi anak, mendengar perasaan, memperhatikan kegelisahan, menghargai kerisauan, sekaligus masuk ke dalam inti pikiran/perasaan anak.

School of love pada tahap awal dimulai dengan pemenuhan kebutuhan akan kelekatan psikologis (maternal bonding). Salah satu kebutuhan terpenting anak yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya. Kelekatan psikologis ini penting agar anak dapat membentuk kepercayaan kepada orang lain (trust), merasa diri diperhatikan, dan menumbuhkan rasa aman. Selanjutnya pemenuhan kebutuhan rasa aman. Anak memerlukan lingkungan yang stabil dan aman. Lingkungan yang tidak menyenangkan (penuh dengan stres) akan memengaruhi kepribadian anak.

No one’s perfect, tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini. Demikian juga dengan sosok ibu saya. Coretan ini dilarikkan sebagai bentuk ungkapan dan wujud pemaknaan kesan mendalam sebagai bakti seorang anak perempuan kepada ibunya. Teriring doa semoga Allah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada ibu dan kaum ibu di semesta-Nya.(*)

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine