15 Abad yang Lalu, Jauh Sebelum "Boneka Monyet Berbulu"

Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI (PKB Girisubo)


Dalam ranah psikologi, paradigma yang berkembang pada paruh pertama abad ke-20 masih banyak dipengaruhi psikodinamika Sigmund Freud dan BF Skinner. Paradigm aini secara umum mendukung gagasan bahwa yang mendasari kasih sayang antara ibu dan anak-anak mereka di tahun-tahun pertama kehidupannya adalah materi, dalam hal ini makanan, atau lebih tepatnya lagi: air susu (ASI).

Masing-masing dari dua arus psikologis ini, yang sangat berbeda satu sama lain dalam banyak pendekatannya, mengusulkan gagasan yang sama: bahwa bayi dan ibu mulai terlibat dalam perilaku afektif berkat terpenuhinya kebutuhan yang pertama (bayi) untuk diberi makan. Tepat setelah lahir, peran utama ibu adalah menyediakan makanan bagi anak-anaknya (menyusui). Dengan kata lain, dua aliran besar ini ingin mengatakan bahwa keintiman hubungan interpersonal ibu dan anak (bayi) lebih disebabkan oleh keterpenuhan kebutuhan materi (fisik) oleh si ibu kepada bayi.

Namun, psikolog John Bowlby dan Harry Harlow, melalui penelitian mereka yang intensif, meruntuhkan secara telak bangunan teori ini. Bukan semata-mata materi, kebutuhan fisik, tetapi justru kasih sayanglah, cinta, kehangatan (dalam arti yang paling murni dan paling harfiah), yang menjadi kebutuhan mendasar bagi anak (ketika mereka masih bayi).


Teori Kelekatan Bowlby

Pada pertengahan abad kedua puluh, seorang psikiater dan psikolog Inggris bernama John Bowlby melakukan serangkaian penyelidikan dalam bingkai yang disebutnya sebagai “teori kelekatan” (Attachment Theory). 

Dengan teori kelekatan (attachment theory), John Bowlby menjelaskan betapa pentingnya kehadiran orang tua secara fisik terhadap perkembangan kognisi, emosi, serta sosial pada anak. Ketika anak-anak berpisah dengan pengasuh utamanya (orang tua), mereka akan mengalami penderitaan yang hebat meskipun terdapat pengasuh pengganti. Menurut Bowlby, keberadaan pengasuh pengganti tidak mampu menghilangkan rasa cemas dan stres yang dialami oleh anak.

Bowlby menyatakan dalam teori kelekatannya (attachment theory) bahwa bayi yang baru lahir secara biologis sudah diberikan perlengkapan untuk membangkitkan perilaku kelekatan dengan ibunya. Ketika bayi menangis ataupun tersenyum, kemudian bayi bisa tengkurap, merangkak, sampai akhirnya kakinya bisa menginjakkan tanah dengan sempurna untuk selalu dapat mengikuti ibunya, semua ini dilakukan bayi hanya untuk mempertahankan kedekatannya dengan pengasuh utamanya. Dikatakan oleh Bowlby bahwa hubungan keterikatan di awal masa kehidupan anak merupakan prototip untuk semua hubungan sosial di masa depan anak, sehingga gangguan kelekatan yang terjadi dalam masa itu memiliki konsekuensi yang sangat berat. 

Usia 0 sampai dengan 5 tahun, menurut Bowlby, merupakan periode kritis pentingnya perkembangan keterikatan atau kelekatan anak pada pengasuhnya. Jika pada usia tersebut anak mengalami peristiwa yang menyebabkan terganggunya kelekatan dengan orang tuanya, seperti perilaku abai dari orang tua, perceraian orang tua, kematian, dan pemisahan karena konflik keluarga juga mempengaruhi kecerdasan serta perilaku agresif anak hingga usia dewasa.

Ini berarti bahwa cara kita membangun ikatan afektif dengan makhluk lain sangat dipengaruhi oleh cara ayah dan ibu kita berhubungan dengan kita selama bulan-bulan pertama kehidupan (ketika kita masih bayi). Atau dalam ungkapan lain bahwa cara anak kecil (sejak bayi) membentuk hubungan yang berkelanjutan, dekat, dan penuh kasih sayang dengan orang lain akan mempengaruhi perkembangan mereka menuju masa dewasa dan akan berdampak pada beberapa karakteristik psikologis mereka.

Itulah kenapa, salah satu hal penting yang disimpulkan oleh Bowlby bahwa kasih sayang ibu yang maksimal kepada bayi adalah salah satu kebutuhan terpenting di masa-masa pertumbuhan. Dan jika itu diekspresikan oleh ibu kepada bayinya sejak awal kelahirannya, maka hal tersebut akan membentuk ikatan emosional yang kuat di antara keduanya. Dengan kata lain bahwa pembentukan kelekatan dengan ibu itu diprogram secara genetik, sehingga benar jika dikatakan bahwa ikatan terkuat yang dapat dibangun setiap orang adalah ikatan yang didasarkan pada hubungan yang ia miliki dengan ibunya selama tahun-tahun pertama kehidupannya.

Fenomena ini disebut dengan monotropi, “keterikatan dengan satu sosok”. Yang menarik, jika hubungan kasih sayang disertai dengan kontak fisik (dalam pemahaman klasiknya: menyusui) terjadi setelah tahun kedua kehidupan bayi (1000 HPK), dan bukan sebelumnya, maka kelekatan itu tidak akan terkonsolidasi dengan baik. 

Dengan kata lain, kekurangan ibu (motherless), tidak adanya kontak teratur dengan ibu yang memberikan kasih sayang selama bulan-bulan pertama kehidupan, apalagi ketiadaan ibu, hal tsb sangat berbahaya karena bertentangan dengan apa yang telah diprogramkan oleh genetika kita untuk kita. Menurut Bowlby, ketakutan akan orang asing tidak lebih dari mekanisme bertahan hidup yang dimiliki bayi. Artinya, bayi dilahirkan dengan kecenderungan untuk menunjukkan perilaku bawaan tertentu yang membantu memastikan kedekatan dan kontak dengan ibu atau sosok kemelekatan. 

Tesis Bowlby dikuatkan oleh banyak data empiris. Misalnya, melalui penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka oleh Perang Dunia II, Bowlby menemukan bukti yang signifikan bahwa orang-orang muda yang mengalami kekurangan ibu, lalu mereka tinggal di panti asuhan, cenderung memiliki keterbelakangan intelektual dan masalah dalam mengelola emosi mereka sendiri atau ketika dalam situasi di mana harus berhubungan dengan orang lain. Sejak saat itu, Bowlby terus mencari data yang memperkuat teorinya.

Bwolby menyimpulkan bahwa kekurangan ibu cenderung berdampak pada orang muda dengan gambaran klinis yang ditandai oleh pelepasan sikap emosional kepada orang lain. Orang yang tidak dan/atau belum membentuk ikatan kelekatan yang intim dengan ibu mereka selama tahun-tahun awal kehidupannya, mereka tidak dapat berempati dengan orang lain, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk terhubung secara emosional dengan seseorang pada tahap-tahap pertama kehidupannya.


Eksperimen Harry Harlow 

Harry Harlow adalah seorang psikolog Amerika yang selama tahun 1960-an suntuk mempelajari teori kelekatan dan deprivasi ibu Bowlby di laboratorium.

Untuk melakukan ini, ia melakukan percobaan atau ekseprimen dengan monyet Rhesus.  Menurut pandangan etis kala ini, sebenarnya eksperimen Harlow sangat terlarang dilakukan, karena dianggap sangat kejam. Harlow dalam eksperimennya memisahkan beberapa bayi kera dari induk (ibu) mereka dan mengamati bagaimana ketiadaan ibu akan berdampak. Harlow tidak membatasi dirinya pada pengamatan pasif, melainkan memperkenalkan beberapa unsur ke dalam penyelidikan ini yang akan memudahkan untuk mengetahui apa yang dirasakan bayi kera. Elemen yang dimaksud di sini adalah dilema si anak kera untuk memilih antara (1) sesuatu seperti kontak fisik yang berhubungan dengan kasih sayang dan kehangatan, atau (2) makanan.


Menggantikan ibu

Harlow memisahkan kera-kera bayi dari induknya begitu mereka lahir, dan mengisolasi mereka dalam kerangkeng-kerangkeng kecil. Harlow menempatkan dua induk tiruan di dalam kandang. Salah satunya adalah struktur kawat dengan botol berisi air susu, dan yang lainnya adalah sosok yang mirip dengan kera dewasa, diliputi dengan bulu-bulu tiruan yang mewah dan lembut, tetapi tanpa botol susu.


Kedua benda itu, tentu dengan caranya sendiri, berpura-pura menjadi seorang ibu, meskipun sifat dari apa yang dapat mereka berikan kepada anak-anak itu sangat berbeda. Dengan cara ini, Harlow ingin menguji secara praksis pandangan-pandangan Bowlby, bahkan lebih jauh untuk menguji hipotesis yang lain, yakni tentang: cinta bersyarat.

Konsep “cinta bersyarat” ini, anak-anak (keturunan) berhubungan dengan ibu mereka pada dasarnya melalui makanan yang mereka berikan, yang secara objektif adalah sumber daya yang paling berguna dalam jangka pendek dari sudut pandang rasional dan ekonomis (tidak harus beli).

Hasil dari eksperimen Harlow membuktikan bahwa apa yang ditesiskan oleh Bowlby adalah benar adanya. Anak-anak monyet itu menunjukkan kecenderungan yang berbeda, yakni melekat (mendekat) pada boneka induk monyet yang berbulu lembut, meskipun tidak memberikan makanan (susu).

Keterikatan pada boneka berbulu tanpa botol ini jauh lebih terlihat ketimbang pada struktur kawat (dengan wujud sekadarnya) yang ditempeli botol berisi air susu, yang dengan demikian ini menguatkan gagasan Bowlby bahwa ikatan intim antara ibu dan anaklah yang benar-benar penting, dan bukan (terutama) makanan (air susu). 

Hubungan ini bahkan sangat terlihat dalam cara anak kera merespons situasi di lingkungannya. Boneka berbulu itu sepertinya memberikan rasa aman yang menentukan bagi kera kecil untuk memutuskan melakukan hal tertentu atas inisiatif mereka sendiri dan bahkan memeluknya lebih erat ketika mereka takut. Pada saat  lingkungan di kerankeng dikondisikan menimbulkan stres, anak- anak kera akan berlari untuk memeluk boneka yang lembut itu. Dan, ketika hewan-hewan itu dipisahkan dari artefak lembut ini, mereka menunjukkan tanda-tanda putus asa dan ketakutan, sambil berteriak dan mencari sosok pelindung. Ketika boneka lembut itu dibawa ke dalam jangkauan lagi, mereka akan pulih, meskipun mereka tetap bertahan agar mereka tidak kehilangan ibu tiruan ini lagi.


Tesis: Pentingnya Kelekatan

Baik penyelidikan oleh John Bowlby ataupun eksperimen Harry Harlow sampai saat ini sangat diperhitungkan, meskipun faktanya yang dilakukan Harlow (pada waktu itu) betapa pun merupakan kasus penyiksaan hewan yang jelas, dan karena implikasi etisnya, eksperimen tsb telah menerima kritik keras dari banyak kalangan.

Namun demikian, kedua penelitian tersebut menghasilkan suatu tesis yang serupa: (1) dampak buruk dari ketiadaan interaksi sosial di periode awal kehidupan (hal mana itu sesungguhnya melampaui kebutuhan biologis yang paling dasar: makanan, ASI) dan (2) bahwa perilaku afektif selama tahap pertama kehidupan cenderung meninggalkan bekas yang sangat serius dan sulit untuk dihapus dalam kehidupan dewasa. 

Butuh waktu sangat lama bagi ilmuwan untuk mengakui hal tsb, yakni tentang pentingnya ikatan emosional antara induk dan anak, ibu dan anak, bahkan di kalangan manusia. Sebelumnya para ilmuwan berpendapat bahwa hubungan-hubungan antara orangtua dan anak dibentuk oleh umpan balik material, bahwa anak-anak terikat dengan orangtua mereka semata-mata karena orangtua memenuhi kebutuhan fisik/material mereka: makanan, tempat berteduh, perawatan kesehatan, dsb. Anak-anak yang meminta kehangatan, pelukan, dan ciuman adalah anak-anak manja. John Watson, suatu otoritas perawatan kesehatan terkemuka pada 1920-an, menasehatkan dengan tajam, “Jangan pernah memeluk dan mencium anakmu, jangan pernah biarkan mereka duduk di pangkuanmu. Jika terpaksa, ciumlah merek a saat menjelang tidur dan jabat tangan mereka di pagi hari.” Majalah populer di era tsb, Infant Care, persisnya tahun 1929, menjelaskan bahwa rahasia mengasuh anak adalah menjaga kedisiplinan dan menyediakan kebutuhan material anak menurut jadwal harian yang ketat. 

Hasil penyelidikan Bowlby dan Harlow dengan serta-merta mematahkan teori-teori kaku behavioris tsb dan mentesiskan pentingnya pemenuhan kebutuhan emosional. Khusus penelitian Harlow, kebutuhan akan ikatan emosional begitu kuat sehingga bayi-bayi kera itu meninggalkan induk tiruan kawat/logam yang menenteng makanan/susu dan memalingkan perhatian mereka hanya pada benda berbulu, meski tidak membawa susu, yang tampaknya lebih menjawab kebutuhan tsb (kasih sayang). Hanya saja, sayangnya, induk berbulu lembut itu tak pernah merespons afeksi mereka dan karenanya kera-kera mungil itu menderita problem psikologis dan sosial yang parah; mereka tumbuh menjadi kera dewasa yang neurotik dan asosial. Ini berarti dipahami bahwa memberikan ASI saja tidaklah cukup jika tidak ada interaksi yang intim antara ibu dan anak dalam kegiatan menyusui.


Piwulang Islam

Menarik sekali, bahwa berbilang abad lamanya sebelum dunia kesehatan (PBB) menekankan pentingnya pengasuhan di 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yakni 270 hari usia kehamilan dan 730 hari berikutnya (dari bayi lahir sampai usia 2 tahun), Islam telah terlebih dulu menegaskannya di kitab suci umatnya, Alquran, tentang pentingnya pengasuhan yang maksimal oleh orangtua (dalam hal ini: ibu) di awal-awal kehidupan anak.

Sebagaimana diketahui, sudah menjadi kesepakatan global, bahwa sekarang setiap ibu ditekankan agar memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya selama 6 bulan pertama, dilanjutkan terus menyusui hingga 2 tahun dengan makanan pendamping (MPASI). Anjuran tersebut selaras dengan apa yang tertulis dalam Alquran, surat Albaqarah: 233 tentang anjuran menyusui sampai 2 tahun. Di ayat tsb Allah berfirman: “Dan para ibu, hendaklah menyusukan anak-anak mereka dua tahun penuh, (yaitu) bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan”. 

Ayat tersebut juga diperkuat oleh surat Al Ahqaf ayat 46 yang berisi anjuran menyapih setelah 30 bulan. Makna 30 bulan dalam ayat ini adalah karena usia minimal kehamilan yang dianggap cukup untuk janin bisa lahir dengan sehat adalah 6 bulan. Oleh karena itu, 24 bulan berikutnya dianggap sebagai masa menyusui. Begitulah, ternyata anjuran menyusui sudah ditegaskan dalam Al quran sejak berabad-abad lalu, dan ilmu kesehatan modern baru memberikan buktinya belakangan (setidaknya baru pada abad 20).


Manfaat menyusui pada kesehatan telah banyak dikupas melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Prinsipnya memang bahwa seorang bayi membutuhkan nutrisi utama, dan nutrisi tsb jelas sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang mereka. Namun demikian, terdapat tiga kelompok kebutuhan yang penting bagi setiap bayi dan harus dipenuhi ketiga-tiganya, yaitu kebutuhan fisis-biomedis (asuh), kebutuhan kasih sayang/emosi (asih), dan kebutuhan stimulasi/ latihan (asah). Luar biasanya, hanya dengan pemberian ASI itulah seorang ibu dapat memenuhi ketiga kebutuhan tersebut sekaligus untuk si kecil. 

Penjelasannya kurang lebih sbb: Pertama, dari aspek asuh, bahwa pemberian ASI, apalagi secara eksklusif selama 6 bulan, menjadi semacam kewajiban bagi para ibu (kecuali ibu yang tidak bisa menyusui karena penyakit) untuk memberi nutrisi terbaik bagi bayi yang baru saja dilahirkannya agar menjadi anak yang sehat, tidak gampang sakit, dan cerdas. ASI eksklusif tersebut akan jauh lebih baik bila diteruskan menjadi 2 tahun. Ketika si kecil menginjak usia lebih dari 6 bulan, sang ibu dapat memberikan ASI lanjutan dan MPASI (makanan pendamping air susu ibu). 

Kenapa ASI penting untuk tumbuh kembang bayi yang sehat dan ideal? Karena, sebagaimana sudah diketahui bersama, ASI mengandung zat gizi (protein, lemak, karbohidrat, garam dan mineral serta vitamin) yang cukup dan sesuai untuk bayi; mengandung zat pelindung terhadap infeksi oleh berbagai kuman penyakit; melindungi bayi dari diare; tidak menimbulkan alergi; mengurangi kejadian gigi keropos; mengurangi kejadian pertumbuhan gigi yang kurang baik, dan masih banyak lagi kelebihan, keunggulan, dan keistimewaan lainnya.

Kedua, dari aspek asih, bahwa tidak hanya memberikan kebutuhan nutrisi, pemberian ASI juga mampu membentuk hubungan emosional yang kuat antara ibu dan si kecil. Ada keuntungan psikologis dalam pemberian ASI oleh ibu kepada bayi, karena ada hubungan erat  antara ibu dan bayi saat kegiatan menyusui, dan hal tsb akan menyalurkan dan memberikan rasa aman serta nyaman kepada si kecil. Bayi dengan demikian dapat merasakan kehangatan dalam pelukan ibu, menikmati setiap sentuhan lembut dari ibu dan tentu saja jalinan cinta antara ibu dan bayi akan semakin erat, bahkan ketika si kecil tidak lagi menyusu pada ibunya (saat sudah melewati 2 tahun, setelah disapih). Pemenuhan kebutuhan emosi inilah yang sangat penting, karena jika merujuk pada penemuan Bwolby dan Harlow,  

Ketiga, dari aspek asah, bahwa dalam aktivitas menyusui pastilah ada interaksi fisik dan batin antara ibu dengan bayi kecilnya, dan dalam kesempatan tsb pastilah secara tidak langsung ibu memberikan stimulasi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anaknya. Oleh karena itulah, interaksi yang baik antara ibu dan bayi melalui aktivitas menyusui, apalagi sampai 2 tahun, tentu sangat berdampak bagi kelangsungan tumbuh kembang bayi secara maksimal dan ideal, baik menyangkut aspek motoriknya, afektifnya, ataupun kognetifnya di tahun-tahun pertama kehidupannya, yang kemudian jelas akan berpengaruh untuk kehidupan si anak dalam melanjutkan tugas-tugas perkembangannya di masa depan (saat dewasa). 

Dari paparan di atas, nyata bahwa pengasuhan yang baik kepada anak di masa-masa awal kehidupannya sangat diperhatikan dalam Islam sejak kurang lebih 15 abad yang silam. Sementara, hal sepert ini justru baru disadari urgensinya oleh dunia ilmu pengetahuan (sains) Barat di masa-masa sekarang, persisnya di abad 20, yang diwakili oleh hasil penelitian Bwolby dan Harlow. 

Khusus terkait dengan eksperimen Harlow, tentu bukan lantas bermaksud membanding-bandingkan manusia dengan hewan. Akan tetapi, ada pandangan ilmiah (saintifik) yang sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa manusia tidak berbeda dengan kera dalam kapasitasnya sebagai “mamalia” (makhluk menyusui). “Mamal” berasal dari Bahasa Latin, “mamma” yang berarti payudara. Ibu-ibu mamal mencintai keturunan mereka, sehingga membolehkan mereka (bayi-bayinya) menetek dari tubuhnya. Sehingga, dalam konteks ini, sangat mungkin ada kesamaan emosi yang dimiliki oleh segenap mamalia (dan ini mungkin satu-satunya), termasuk manusia, yakni kedekatan ibu dan anak.

Kembali ke doktrin Quranik, memang tidak ditegaskan secara tersurat (langsung) di dalam Alquran tentang detil teknisnya (soal bagaimana pola asuh yang dimaksud), tetapi dengan perintah untuk memberi ASI sampai usia 2 tahun di situ menyiratkan pesan kepengasuhan yang total di periode awal kehidupan anak. Karena, ternyata, pemberian ASI sejak usia 0-2 tahun punya dampak sampingan yang luar biasa, yang tidak semata-mata berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik untuk ketahanan hidup si bayi. Faktanya, jika pemberian ASI dilakukan dengan baik dan mengindahkan interaksi yang intim antara ibu dan bayi, serta tentu saja dengan melibatkan emosi keibuan yang kuat, maka hal itu bukan saja memenuhi kebutuhan fisikal-material si bayi akan nutrisi, makanan (susu)—yang jelas sangat berguna bagi kesehatan fisiknya, tetapi juga mencukupi kebutuhan emosionalnya (kehangatan, kasih sayang, rasa aman, nyaman), juga tidak kalah penting kelangsungan tumbuh kembangnya, yang kelak akan berguna bagi proses perkembangan aspek afektif, motorik, dan kognetifnya di masa depan (ketika dewasa).

Yang disayangkan, kenyataannya banyak sekali di antara kaum Muslim sendiri, bahkan terutama para perempuan dan ibu, yang kurang mengindah piwulang Alquran ini. Seorang muslim/muslimah yang baik seyogianya melaksanakan piwulang mulia kitab suci Alquran ini, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena apa yang diperintahkan Allah dan Rasul pasti mengandung hikmah dan maslahat, dan sains telah membuktikannya dalam hal ini (sebagaimana dipaparkan di muka).  

Di sisi lain, kita semua (tidak terkecuali umat Islam) harus berperan dan berkontribusi di dalam pembangunan dan penyiapan SDM handal untuk masa depan kita bersama. Memberikan ASI eksklusif (selama 6 bulan pertama), dan dilanjutkan sampai 2 tahun (ditambah MPASI) adalah ikhtiar paling awal untuk menyiapkan SDM dan generasi bangsa yang berkualitas. Sebagai informasi saja, untuk wilayah kita sendiri, DI Yogyakarta, berdasarkan data BPS terbaru, angka pemberian ASI eksklusif masih di kisaran 77,16% di tahun 2022 ini. Meskipun sudah di atas rata-rata nasional (72,04%), tetapi ini menjadi keprihatinan kita semua, karena masih kalah dengan NTB (79,69%), Jateng (78,71), dan Kaltara (78,70%). Kita patut bersyukur, bahwa berdasarkan data BPS 2021, angka pemberian ASI sampai 2 tahun menempati urutan ke 2, yakni di angka 87,96%, tetapi lagi-lagi masih kalah dengan NTB yang ada di angka 89,55%. Ini tentuu menjadi PR bagi segenap pemangku kepentingan, lintas sektor, elemen masyarakat dan swasta, untuk terus mengedukasi masyarakat ihwal urgensi dan signifikansi pemberan ASI eksklusif dan sampai usia 2 tahun, yang nyatanya itu bukan saja program pemerintah yang direkomendasikan oleh badan-badan Kesehatan dunia, bahkan agama juga menitahkannya sejak berabad-abad lampau. Wallahu a’lam.[] 

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine