Dari Ngangsu Kawruh ke RDK Kampung KB Margo Mulyo, Berlanjut Menikmati Eksotisme "Lembah Desa" Pulutan

Kontributor: Sabrur Rohim, SAg, MSI (pimred Cahaya Keluarga) 

WONOSARI ~ Suara gemericik air dari saluran pompa yang mengairi Padukuhan Temu di sore hari semakin membuat syahdu suasana. Sedikitnya ada dua saung yang dapat disinggahi oleh para pengunjung sembari melakukan refreshing mata dan pikiran setelah penat bekerja. Suasana harmoni alam ini bisa dirasakan manakala kita mengunjungi obyek wisata Lembah Desa yang terletak di Padukuhan Temu, Desa Pulutan, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul, ini.

Lembah Desa ini merupakan hasil besutan BUMDes Maju Mandiri Pulutan. Meski obyek wisata ini masih belum dibuka secara umum untuk kegiatan wisata edukasi, sejak awal Juni lalu sudah banyak pengunjung yang datang sekadar menikmati pemandangan area persawahan di sore hari sembari mencicipi aneka kuliner yang maknyus dan murah-meriah.

“Sebelumnya kami juga tidak menyangka meski belum dibuka secara umum, ternyata respon dari masyarakat sudah sangat positif,” ujar Muhani, Dukuh Temu, ketika bertemu dengan saya, Rabu (12/10) siang, di kompleks obyek wisata Lemba Desa Pulutan tsb. Saya tidak hanya sendiri ketika bertemu muka dengan Muhani, tetapi juga dengan 3 PKB yang lain, Hudoyo, SSos, Prasetyohadi, SPd, dan Fitri Agustini, SE, juga bersama pramusaji, Rudi Purwanto. 

*** 

Sebelumnya, sejak pagi hingga siang kami memang mendampingi 15 kader Kampung KB Wonotoro, Pucung, dan Nanas, Tileng, untuk studi banding Rumah Data Kependudukan (RDK) di Kampung KB Margo Mulyo Karangmiri, Mulusan, Paliyan. Dukuh dan kader Kampung KB Margo Mulyo Karangmiri menyambut kami dengan antusias dan sepenuh hati berbagi ilmu dan pengalaman dalam pengelolaan Rumah Data Kependudukan. Hadir juga dalam forum tsb jajaran PKB Paliyan, yakni Tri Nurhidayati, SSos, Purwadi, SHI, dan Umi Yunastuti, SE.

Dukuh Karangmiri, Widarto, mengisahkan bahwa awalnya RDK di kampung KB Margo Mulyo adalah inisiatif sendiri atau merupakan swadaya, tetapi karena ditangani dengan baik dan profesional pada akhirnya justru diapresiasi oleh Perwakilan BKKBN DIY dan menjadi contoh untuk wilayah Gunungkidul. "Itulah kenapa, tidak salah jika kami dari Wonotoro, Pucung, ngangsu kawruh ke Karangmiri ini," kata Hudoyo, SSos, koordinator PKB Girisubo.

"Sebenarnya modal data untuk pembuatan RDK sudah lumayan banyak, yakni dari hasil PK21 dan SID. Tinggal bagaimana kita berkoordinasi dengan admin kalurahan, dengan PKB, juga dengan sektor-sektor lain untuk mengoleksi data-data tsb dan melengkapinya. Dan yang terpenting adalah kemauan kuat untuk mewujudkannya. Setelah itu bagaimana manajemen pengelolaannya setelah RDK terwujud, ini yang lebih utama. Data-data di RDK kami update secara periodik, agar data-datanya selalu terbaru," kata Widarto.

Hal lain yang menarik, sebagaimana dipaparkan juga oleh Widarto, bahwa di Kampung KB Margo Mulyo juga ada inovasi gotong royong, semacam sedekah rutin, dari segenap warga padukuhan, yakni berupa beras dan telor yang diperuntukkan bagi keluarga berisiko stunting. Selain itu, Kampung KB Margo Mulyo juga merupakan 1 dari 2 kampung KB di wilayah Gunungkidul yang sudah memulai program Dashat (dapur sehat atasi stunting).

Untuk mengakhiri kegiatan studi banding, dilakukan seremoni penyerahan cinderamata (kenang-kenangan) dari Kampung KB Wonotoro oleh Kamituwa Pucung, Sri Endayani, SSos, kepada Dukuh Karangmiri, Widarto, disaksikan jajaran PKB dari dua kapanewon serta kader-kader dari 2 kampung KB. Setelah itu, acara ditutup dan dilanjutkan sesi ramah tamah dan makan siang.

Rombongan Kampung KB Wonotoro kemudian melanjutkan perjalanan ke obyek wisata Lembah Desa di Pulutan, Wonosari.

***

Yang jadi ciri khas Lembah Desa adalah areal persawahan seluas dua hektar yang ditanami padi serta dikombinasikan dengan kolam ikan. Areal perswahan itu sendiri yang berdiri di atas kas kalurahan. Makanya disebut bahwa konsep Lembah Desa Pulutan adalah "mina padi". "Dengan konsep menonjolkan mina padi, harapannya lokasi ini dalam dua kali masa panen padi juga dapat menghasilkan ikan. Debet air untuk mengairi sawah pun cukup fantastis, dengan memiliki debit air 48 liter per detik mampu mengairi lahan pertanian seluas 45 hektar," kata Muhani.  

Baik ketika belum atau sudah selesai dipanen, spot-spot foto di areal perswahan masih tetap dibanjiri oleh para pengunjung. Spot-spot foto begitu unik dan eksotik, ada replika binatang dari potongan-potongan kayu, kursi antik, gazebo-gazebo yang berjajar-jajar (untuk menikmati kuliner), rumah-rumahan kecil di sawah, dll, di mana kesemuanya sangat menarik untuk dijadikan ajang selfie. Tetapi sedikitnya ada dua titik spot selfie yang cukup menarik bagi pengunjung, yakni hamparan yang hijau dengan bunga-bunga yang merekah di pinggiran sawah yang memang menjadi pemandangan menarik, serta siluet dari matahari menjelang terbenam yang menambah keartistikan foto. Itulah kenapa Lembah Desa banyak didatangi pengunjung di sore hari.

Menurut Muhani, yang berkunjung ke obwis Lembah Desa setiap harinya mencapai ratusan, khususnya di sore hari. Jam berkunjungnya bisa sampai malam.Khusus untuk Sabtu dan Ahad, pengunjungnya bisa ribuan, karena untuk malam Sabtu dan malam Ahad ada pertunjukan musik. Pertunjukan musik itu sendiri bersifat gratis. Untuk sound system, biayanya ditarik dari iuran para pemilik warung kuliner di lokasi wisata tsb (kompleks Lembah Desa, area dalam). Sementara para pemain musiknya mendapatkan saweran dari para pengunjung, khususnya yang menghuni gasebo-gasebo (sambil menikmati kuliner).

Dijelaskan oleh Muhani juga, bahwa setiap karyawan yang bekerja di obwis Lembah Desa mendapatkan tunjangan (honor, gaji) yang lumayan, hampir setara UMR. "Saya sendiri yang bertugas menjaga di malam hari juga ada tunjangannya," ujar Muhani. "Jadi kesejahteraan warga yang dipekerjakan di sini betul-betul diperhatikan secara layak."

"Lha memang pemasukannya banyak, Pak? Dari mana saja?" tanya Hudoyo, koordinator PKB Girisubo. 

"Pemasukannya ya terutama dari tiket masuk, ditambah sebagian kecil dari jasa parkir, Pak," kata Muhani. "Tiket masuknya kan 5000 (lima ribu rupiah). Yang 2.500,- masuk ke pengelola (BUMDes), sedangkan sisanya (2.500,-) dibagi rata kepada warung-warung kuliner untuk ditukar dengan minuman. Jadi sebenarnya pengunjung hanya membayar 2.500,- karena yang 2.500,- dikembalikan menjadi minuman (kopi, teh,dll). Nah, yang masuk ke BUMDes itulah kemudian sebagai biaya operasional, untuk pemeliharaan, termasuk honor buat staf yang bekerja."

"Luar biasa. Bagus sekali manajemen pengelolaannya," puji Prasetyohadi, pinisepuh BPKB Girisubo. 

"Jadi, di Lembah Desa tidak ada penjual yang tidak laku. Semuanya laku, minimal jualan minumannya, karena sudah dibagi rata dari semua tiket yang masuk oleh petugas (tiket). Semua dapat penghasilan, semua dapat rezeki, tidak ada yang merasa iri satu sama lain," terang Muhani. 

"Eh, pak, tadi deretan warung kuliner, yang paling barat itu tertulis UPPKA Anggrek. Katanya itu milik kampung KB Temu, Pulutan. Betul?" saya bertanya. 


"Ya, betul, Pak," jawab Muhani mantap. Diceritakan olehnya bahwa salah satu konter kuliner di obwis Lembah Desa adalah konter milik UPPKA Anggrek milik kampung KB Temu, Pulutan, Wonosari, yang secara khusus menyediakan produk ramuan jamu instan, baik dalam kemasan sachetan/bungkus (siap seduh), ataupun botol siap minum. Jamu-jamu tsb diracik secara manual di mana bahan mentahnya di wilayah kampung KB Temu sendiri yang memang identik sebagai kawasan yang ditumbuhi tumbuhan dan tanaman bahan jamu seperti kunir, temu lawak, kencur, dan sejenisnya. Nama "Temu" itu sendiri mengasosiasi kepada temu lawak.

Produk jamu instan UPPKA Anggrek Kampung KB Temu, menurut Muhani, sudah dikenal oleh masyarakat tidak hanya di lingkup Wonosari saja, tetapi seluruh Gunungkidul, bahkan di luar Gunungkidul dan DIY. "Banyak kunjungan studi banding ke kampung KB Temu untuk melihat secara langsung kegiatan UPPKA dalam produksi jamu tradisional ini. "Pangsa pasarannya juga sudah merambah tidak hanya di Gunungkidul saja, tetapi juga ke kota-kota lain," ungkap Muhani.(*)    

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine