Urgensi Tim Pendamping Keluarga untuk Program Penurunan Angka Stunting

Oleh: Drs Jumadal (penyuluh KB Patuk)


Tahun 2019 BKKBN mengemas dan memperkenalkan istilah Program KKBPK menjadi Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana atau yang disingkat menjadi Bangga Kencana. Perubahan nama dari KKBPK menjadi Bangga Kencana tersebut bertujuan untuk memudahkan penyebutan program, yang seringkali agak sulit untuk diucapkan. Peletakan kata Pembangunan Keluarga di depan menunjukan bahwa BKKBN merupakan lembaga yang ingin memberikan manfaat kepada seluruh keluarga Indonesia. Selain itu, BKKBN harus dapat mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dan lingkungan hidup, serta meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa tenteram dan harapan masa depan yang lebih baik atau mandiri dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

Membangun sumber daya manusia yang berkualitas merupakan pilar bagi pencapaian Visi Indonesia 2045 yaitu manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan tinggi, menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Sehingga penting kiranya mengatasi berbagai persoalan terkait dengan penyiapan sumber daya manusia berkualitas untuk mencapai Visi Indonesia 2045 serta mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di tengah masyarakat internasional.

Dalam kerangka pembangunan kualitas sumber daya manusia, permasalahan stunting yang merupakan salah satu bagian dari double burden malnutrition mempunyai dampak yang sangat merugikan baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi produktivitas ekonomi dan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting terkait dengan perkembangan sel otak yang akhirnya akan menyebabkan tingkat kecerdasan menjadi tidak optimal. Hal ini berarti bahwa kemampuan kognitif anak dalam jangka panjang akan lebih rendah dan akhirnya menurunkan produktifitas dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Laporan TNP2K pada tahun 2017 menyebutkan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting:

1.  Praktek pengasuhan yang dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta sesudah melahirkan;
2. Pelayanan ANC – Antenatal Care dan Post- Natal Care yang kurang berkualitas;
3. Akses ke makanan bergizi yang masih kurang, karena harga makanan bergizi yang relatif mahal;
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi berulang yang berdampak pada perkembangan anak.

Melihat faktor-faktor penentu yang mempengaruhi terjadinya stunting, maka penanganan permasalahan stunting harus dilakukan secara paripurna, komprehensif, terpadu dan bersifat multisektoral dengan mengintensifkan pendampingan terhadap keluarga yang berisiko melahirkan bayi beresiko stunting. Pendampingan ini fokus dilakukan mulai pada periode remaja serta calon pengantin, pada masa kehamilan dan pada masa pascapersalinan, serta terus didampingi hingga anak berusia 5 tahun. Pendampingan pada masa-masa tersebut merupakan upaya agar segenap intervensi sensitif maupun intervensi spesifik yang diberikan dapat dipastikan sampai kepada penerima manfaat dan mempunyai dampak nyata dengan menurunnya angka prevalensi stunting 14% pada tahun 2024 sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh Presiden dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting telah ditetapkan 5 pilar Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, dan untuk memperkuat pelaksanaannya mengamanatkan disusunnya rencana aksi nasional, mekanisme tata kerja serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang akan menjadi panduan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten dan kota, Pemerintah Desa, serta Pemangku Kepentingan dalam pelaksanaan Percepatan Penurunan stunting sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

 Permasalahan yang terjadi

1.      Masih adanya balita yang kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah.

2.      Masih tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang yang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia.

3.      Adanya prevalensi stunting Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016 mencapai 27,5 persen. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional.

 

Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga membuat tubuh harus secara ekstra melawan sumber penyakit sehingga menghambat penyerapan gizi.

 

Rekomendasi


1. Pembentukan Tim Pendamping Keluarga pada tiap-tiap kalurahan. Tim tersebut terdiri dari unsur bidan, PKK dan kader KB yang ada di wilayah kalurahan masing-masing.

2. Pendampingan secara berkelanjutan terhadap calon pengantin. Hal tersebut sangat penting untuk memastikan kondisi resiko stunting teridentifikasi, difahami, ditindaklanjuti dengan treatment dan upaya-upaya kesehatan dan peningkatan status gizi sehingga pada saat melangsungkan pernikahan berada dalam kondisi ideal.

3. Pendampingan secara berkelanjutan kepada ibu hamil yang dilakukan oleh kader selama ibu menjalani proses kahamilan sampai dengan waktu melahirkan.

4. Pendampingan secara berkelanjutan kepada ibu bersalin yang dilakukan oleh kader sampai dengan masa pasca persalinan 2 tahun. Pada praktik di lapangan kader akan menerapkan model pendampingan secara manual dan secara digital menggunakan aplikasi Elsimil.

5. Pendampingan secara berkelanjutan kepada baduta dan balita mengenai pola asuh. Juga pendampingan kepada keluarga baduta dan balita. Pembelajaran dilakukan secara interaktif dengan metode ceramah, tanya jawab, simulasi dan praktik.(*)

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine