Kecenderungan Berperilaku Delinkuen Pada Remaja; Sebuah Tinjauan Psikologis


Oleh: Asar Janjang Lestari, SPsi, MAP (PKB Tanjungsari, Gunungkidul)

Kecenderungan merosotnya moral bangsa akhir-akhir ini terasa di semua strata kehidupan. Khusus di kalangan remaja, problem sosial moral itu antara lain berwujud semakin meningkatnya perilaku kekerasan remaja dalam bentuk perkelahian pelajar, fenomena ‘gang’, ‘klithih’, tawuran, jambret remaja, perusakan fasilitas umum dan perilaku melanggar aturan.

Perilaku kekerasan remaja sebagaimana tersebut di atas merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dalam bahasa ilmiah diistilahkan sebagai delinkuensi remaja, merupakan masalah banyak pihak seperti orang tua, pendidik, dan pemerintah. Kenakalan remaja bahkan telah menjadi masalah nasional, karena remaja adalah tiang negara dan generasi penerus. Bisa dikatakan bahwa penanggulangan terhadap masalah delinkuensi remaja sesungguhnya bukan hanya merupakan salah satu penentu masa depan para remaja itu sendiri, namun terutama penentu masa depan bangsa.

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai oleh perubahan pada sejumlah aspek perkembangan meliputi fisik dan fisiologis, emosi, intelektual, moral, dan social. Menurut Hurlock (2000) ada empat perubahan pada remaja yang bersifat universal. Pertama, meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok social untuk diperankan, menimbulkan masalah baru. Ketiga, perubahan nilai. Beberapa nilai yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi. Keempat, sebagian remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi sering tidak siap bertanggung jawab atas akibatnya.

Secara psikologis, Piaget (Hurlock, 2000) menyebutkan bahwa masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat mempunyai banyak aspek termasuk perubahan intelektual (kognitif) yang menonjol. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini, memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan social orang dewasa.

Perubahan fisik dan fisiologis pada remaja berpengaruh terhadap kondisi emosi remaja, yang ditandai oleh ketegangan emosi yang meninggi (heightened emotionality) dan emosi yang cenderung mudah berubah. Ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu ini merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan social yang baru. Ketidaksiapan menghadapi keadaan-keadaan seperti itu membuat emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan tampak tidak rasional. Mereka mudah marah, mudah dirangsang dan emosinya cenderung ‘meledak’, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Ketegangan emosi yang meninggi dan belum dimilikinya kematangan emosi merupakan pendorong yang kuat bagi remaja berperilaku delinkuen. Bila disertai dengan kecemasan, pemikiran dan pertimbangan pada diri remaja akan membururk, tindakan menjadi tak menentu, kinerja terganngu, dan dapat membawa pada perilaku maladaptif.

Selain hal di atas, perilaku delinkuen juga bisa terjadi akibat meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, di mana remaja memiliki keinginan kuat untuk diterima oleh kelompok (Hurlock, 1992) dan adanya krisis dalam pencarian identitas diri. Tentang pencarian identitas diri ini, menurut Erikson merupakan krisis dalam perkembangan remaja. Jika remaja berhasil melampaui masa krisis ini, maka identitas diri yang baik akan diperoleh. Akan tetapi jika masa krisis ini diatasi dengan cara yang kurang tepat (negative identity), maka remaja biasanya akan berperilaku delinkuen yang juga berdampak pada peran social di kemudian hari.

Perilaku delinkuensi sendiri, menurut Thornburg (2002), merupakan konflik normatif antara remaja dan masyarakatnya. Perilaku ini bias dilakukan sendiri atau dalam bentuk ‘gang’, bersifat spontan atau direncanakan, ditujukan untuk menentang individu atau insitusi tertentu. Lebih jauh Jensen (Sarwono, 2004) menyebutkan perilaku delinkuen dapat menimbulkan korban fisik pada orang lain, korban materi, melanggar status aturan dan hukum, serta merugikan diri sendiri.

Landasan pertama dan utama dalam pembentukan kualitas remaja adalah keluarga. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak harmonis, memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan kepribadian menjadi kepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis (Hawari, 1996)

Walker & Robert (1992) menyatakan bahwa secara umum, remaja delinkuen tumbuh dari keluarga yang memperlihatkan level penalaran moral yang rendah, lebih ekstrim dalam menerapkan disiplin (terlalu permisif-terlalu kaku), cenderung lebih bermusuhan dan penolakan, cenderung lebih menggunakan hukuman fisik, tidak konsisten dalam menerapkan disiplin, kehidupan keluarga yang penuh konflik, dan sering menampilkan perilaku anti sosial.

Penelitian Glueck dan Glueck (Walker & Robert, 1992) memperlihatkan para orang tua remaja delinkuen sering menampilkan gangguan serius pada fisik, emosional, intelektual, dan perilaku. Hubungan dalam keluarga lebih sering diwarnai oleh konflik dan ketidaksesuaian dibanding orang tua non-delinkuen. Remaja delinkuen berasal dari keluarga yang bercirikan separasi, perceraian, dan ketiadaan orang tua di rumah dalam jangka waktu cukup lama. Dalam hubungan orang tua dengan anak, para orang tua remaja delinkuen cenderung kurang hangat, kurang simpati, dan kurang afeksional terhadap anak mereka.

Dari hal-hal di atas, tampak bahwa keluarga sangat menentukan pembentukan perilaku dan kualitas remaja. Ketahanan keluarga sangat dibutuhkan untuk mengatasi perilaku delinkuen pada remaja, dan secara lebih luas untuk membangun karakter remaja demi terwujudnya generasi berkualitas.

Kehidupan remaja sendiri tentunya diawali dari masa anak-anak. Anak-anak berasal dari surga, begitu kata John Gray dalam bukunya Children Are from Heaven. Setiap keluarga mestinya memiliki keyakinan bahwa anak-anak pada dasarnya adalah baik. Mereka bak malaikat-malaikat kecil yang siap diarahkan, baik untuk menjadi pribadi positif maupun sebaiknya. Arahan pertama pembentukan pribadi mereka adalah dalam keluarga, begitupun dalam pembentukan karakter mereka menjadi remaja. Oleh karena itu optimalisasi fungsi keluarga sangat penting untuk menciptakan remaja yang undelinkuen dan berkualitas. Salah satu yang bisa dilakukakan adalah dengan meningkatkan fungsi keagamaan/religi dalam keluarga. Religi versi Erich Fromm (Rahardjo, 1996) merupakan kecenderungan kodrati manusia dalam mencari keseimbangan terhadap eksistensinya. Keluarga yang mampu mengoptimalkan fungsi religi-nya, sangat mendukung untuk membantu remaja di dalam menemukan keseimbangan eksistensi dirinya. Lebih jauh remaja yang yakin akan eksistensinya akan mampu berkembang secara optimal sebagai generasi penerus yang berkualitas.

Fungsi cinta kasih juga menentukan bagi remaja. Kondisi rumah yang menguntungkan, seperti tingginya perhatian orang tua dan tercukupinya hubungan afeksional dalam keluarga, membuat remaja merasa disayangi dan termotivasi untuk menunjukkan perilaku positif sebagai salah satu reaksi alami atas rasa sayang yang diterima.

Penanaman fungsi pendidikan dalam keluarga sejak dini juga berperan penting dalam membentuk remaja undelinkuen. Pendidikan yang utama semestinya berasal dari keluarga, di mana dalam keluarga inilah basis nilai dan sikap ditanamkan. Selain hal-hal di atas, fungsi-fungsi keluarga yang lain (social budaya, reproduksi sehat, dan ekonomi) juga perlu disinergiskan demi kematangan kualitas remaja.

Kualitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas generasi muda (remajanya). Salah satu masalah yang penting dalam usaha pembangunan bangsa, adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama generasi muda/remajanya. Sebagai ujung tombak bagi kemajuan bangsa pada masa yang akan datang, remaja hendaknya memiliki kualitas yang baik, sehat secara fisik maupun psikologis.

Salah satu permasalahan dalam mewujudkan generasi berkualitas adalah munculnya degradasi moral dan perilaku pada remaja, salah satunya manifest dalam perilaku delinkuen. Untuk mengatasi hal ini, ketahanan keluarga menempati peran yang sangat penting. Upaya-upaya dalam pembentukan ketahanan keluarga melalui perencanaan keluarga dan optimalisasi fungsi keluarga merupakan kunci sukses pencegahan perilaku delinkuen pada remaja guna terwujudnya generasi bangsa yang berkualitas.(*)
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine