"Klinik Stunting" Kecamatan Girisubo, Pusat Kendali sekaligus Pusat Data dan Informasi

Koresponden: Sabrur Rohim, SAg, MSI

Angka stunting di Indonesia relatif tinggi, yakni di kisaran 30%. Begitupun di DIY, angkanya di kisaran 20-an persen. Khusus di Gunungkidul, pada November 2019 tercatat di kisaran 18,4 persen (6200 kasus). Meskipun angka Gunungkidul di bawah rata-rata DIY, dan bahkan tentu saja nasional, namun ini tetap saja menjadi persoalan serius, karena masalah stunting ini jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak buruk pada masa depan Gunungkidul. Kualitas SDM Gunungkidul sangat ditentukan oleh program dan kebijakan Pemkab di masa sekarang dalam menanggulangi stunting.
Seorang ibu balita di Desa Jerukwudel tengah
memberikan PMT kepada buah hatinya. (sr)
Oleh karena itu, kita sangat mengapresiasi langkah-langkah yang ditempuh Pemkab Gunungkidul dalam rangka pencegahan stunting ini. Salah satunya adalah gerakan, Ayunda Si Menik Sego Ceting, yang merupakan akronim dari: ayo tunda usia menikah, semangat gotong-royong mencegah stunting.
Tentu ada pesan dan makna tersendiri kenapa gerakan pendewasaan usia perkawinan (PUP) disandingkan dengan pencegahan stunting ini. Tidak lain, karena pada kenyataannya, praktik perkawinan dini di tengah masyarakat menjadi salah satu variabel yang berkontribusi terhadap tingginya angka stunting di Gunungkidul. Praktik pernikahan dini telah memunculkan fenomena “anak beranak”, yang menyiratkan suatu gambaran ibu-ibu muda yang sebenarnya masih lebih pantas menjadi anak ketimbang menjadi ibu, karena mereka secara fisik, mental, pengetahuan (kognetif) sejatinya belum siap menjadi seorang ibu. Ketidaksiapan tersebut menjadikan mereka tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik untuk mengasuh anaknya, terutama di usia emasnya (golden age).
Makanya betul sebagaimana ditegaskan oleh Kepala DP3AKBPM dan D Gunungkidul, Sujoko, SSos, MSi, yang juga dikampanyekan melalui banner-banner yang terpampang di desa-desa, bahwa mencegah stunting bisa diupayakan dengan menghindari 4T atau 4 Terlalu, yakni: terlalu muda saat melahirkan (di bawah 21 tahun), terlalu dekat jarak kelahiran (kurang dari 3 tahun), terlalu sering melahirkan (anak lebih dari 2), serta terlalu tua (hamil di usia lebih dari 35 tahun).

Program di Tingkat Desa
Hal lain yang juga ditempuh adalah dengan mengharuskan adanya program pencegahan stunting dalam dana desa (DDes) di seluruh desa se-Gunungkidul (total ada 18 kecamatan, 144 desa). Program ini wajib dilaksanakan. Jika ada desa yang tidak melaksanakan program pencegahan stunting, maka dana desa tidak dicairkan.
Untuk program pencegahan stunting ini, di setiap kecamatan ada seorang Pendamping Kecamatan Pemberdayaan Masyarakat (PKPM) yang secara struktural berada dibawah Satuan Kerja P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat) Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal DI Yogyakarta. PKPM ini sebagai manager di tingkat kecamatan yang berkoordinasi dengan pembantu pengelola keuangan desa (PPKD) dan KPM (kader pembangunan manusia).
Untuk KPM ini jumlahnya masing-masing desa 3 orang, yang unsurnya biasanya dari kader desa dan tenaga pendidik PAUD. Tiga orang KPM ini membawahi kader-kader dari dusun di desanya masing-masing. Kader-kader dusun ini terdiri dari kader IMP (Sub PPKB dan Kelompok KB) serta kader kesehatan (Yandu).


5 Paket
Jika diibaratkan transaksi jual beli, dalam program pencegahan stunting ini ada 5 paket yang berisi program-program sesuai bidang atau sasarannya masing-masing.
Pertama, untuk sasaran PAUD (pendidikan anak usia dini), programnya adalah edukasi tentang parenting kepada orangtua serta fasilitasi kegiatan belajar-mengajar kepada anak-didiknya. Makanya yang disasar adalah PAUD holistik, yakni PAUD yang terintegrasi dengan kelompok kegiatan lain. Misalnya, di tingkat desa banyak sekali PAUD yang terintegrasi dengan BKB (bina keluarga balita), yang di situ tidak hanya berlangsung kegiatan belajar mengajar guru dan siswa, tetapi juga menjadi wadah pembinaan bagi orangtua balita.
Kedua, untuk bidang KIA (kesehatan ibu dan anak), di mana yang disasar adalah ibu hamil usia 0-9 bulan serta yang memiliki bayi usia 0-24 bulan. Artinya yang menjadi konsernnya adalah 1000 HPK (hari pertama kehidupan). Wujudnya adalah KIE (konsultasi, informasi, dan edukasi) dan pemantauan kesehatan, serta pemberian PMT baik terutama kepada ibu ataupun anak (bayi >2 tahun). KIE terutama ditekankan pada penyadaran tentang pentingnya menjalani kehamilan yang sehat (pemeriksaan rutin), pemberian ASI eksklusif, memberi ASI sampai 2 tahun penuh, rutin mengimunisasikan anak, dll. Sedangkan pemberian PMT wujudnya adalah fasilitasi kepada bumil (ibu hamil) dan ibu baduta (bayi >2 tahun), serta balita, untuk mendapatkan asupan makanan yang mengandung protein dan vitamin yang dibutuhkan.
Ketiga, bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan. Yang sasar dalam hal ini adalah keluarga-keluarga yang di dalamnya ada bumil serta balita 0-60 bulan yang keadaan fisik rumahnya belum mencapai standar layak untuk mendukung kesehatan ibu dan balita, misalnya dinding rumahnya masih gedhek, lantainya masih tanah, MCK-nya masih WC cemplung, dan sebagainya. Bentuk kegiatannya adalah fasilitasi dalam bentuk dana stimulan untuk perbaikan sarana-saran fisik tersebut untuk menjadi layak dan memenuhi standar sehat.
Keempat, bidang gizi keluarga. Bentuk kegiatannya edukasi tentang pentingnya optimalisasi lahan pekarangan di sekitar rumah untuk ditanami sayur-mayur serta buah. Tujuannya adalah agar keluar bumil dan balita bisa berhemat, tidak perlu beli sayur-mayur, buah-buhan, dll, tetapi cukup memetik di pekarangan sendiri, selain juga lebih sehat dan higienis karena diberi pupuk kandang (bukan kimiawi). Selain itu, ada juga edukasi Germas (gerakan masyarakat hidup sehat), yang arahnya adalah penyadaran kepada masyarakat ihwal pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di lingkungan keluarga dalam rangka menunjang kesehatan ibu dan balita. Misalnya saja, yang terpenting, bagaimana ibu dan balita (terutama usia 3-5 tahun) dibiasakan mengonsumsi banyak sayur dan buah, serta bagaimana mereka dijauhkan dari asap rokok.
Kelima, bidang Jamsos (jaminan sosial). Sasarannya, dalam hal ini, adalah keluarga bumil dan balita yang belum memiliki asuransi kesehatan (misal kartu BPJS, KIS, dsb). Program ini harus memastikan agar setiap bumil, baduta, balita, memiliki kartu jaminan kesehatan sebagai antisipasi jika suatu waktu sakit dan harus menjalani pengobatan di rumah sakit. Selain itu, yang lebih penting program ini melakukan langkah-langkah advokasi kepada pemerintah desa untuk memastikan agar setiap warga memiliki asuransi kesehatan, utamanya BPJS, baik yang berupa bantuan dari pememrintah maupun sifatnya mandiri. Advokasi ini dilakukan di tingkat desa oleh KPM (kader pembangunan manusia) yang berjumlah 3 orang itu.


Klinik Stunting sebagai Pusat Kendali dan Pusdatin
Menurut PKPM Kecamatan Girisubo, Gunawan Aribowo, SIP, yang membedakan Kecamatan Girisubo dengan kecamatan-kecamatan lain di Gunungkidul (total ada 18 kecamatan) adalah keberadaan klinik stunting, baik yang ada di kecamatan sendiri ataupun di masing-masing desa (ada 8 desa). Klinik stunting di Desa Tileng, Girisubo, misalnya, baru saja diresmikan oleh Kepala DP3AKBPM dan D Gunungkidul, Sujoko, SSos, MSi, Kamis (13/3) yang lalu bersamaan dengan even Evaluasi Perkembangan Desa.
Klinik stunting ini, menurut Gunawan, memiliki dua fungsi, yakni sebagai pusat kendali pelaksanaan program serta sebagai pusat data dan informasi (Pusdatin). Klinik stunting di kecamatan akan selalu menjalin koordinasi secara intensif dengan klinik stunting di tingkat desa terkait progres-progres yang sudah dicapai dalam program pencegahan stunting di masing-masing wilayah. Jika ada kendala atau hambatan di desa, maka manajer klinik stunting desa akan berkonsultasi dengan klinik stunting kecamatan guna menemukan alternatif solusinya secara tepat.
Koordinasi di Klinik Stunting tingkat kecamatan. (gun)
Di klinik stunting tingkat kecamatan, PKPM dibantu oleh sukarelawan, atau disebut juga mitra tingkat kecamatan, yakni Ismiyati, SKom, yang mengelola pusat data dan informasi (Pusdatin). Pusdatin ini bertugas mengolah laporan-laporan pelaksanaan program stunting oleh KPM, yang diberikan setiap bulan, kemudian direkap setiap tiga bulan sekali. Dari laporan dan rekapitulasi triwulanan itulah akan diketahui sejauh mana setiap sasaran program pencegahan stunting di tiap desa telah mengakses pada layanan yang sudah dicanangkan sejak awal.


Indikator Sasaran
Sebelum pemerintah desa merancang program dan anggarannya dalam pencegahan stunting ini, terlebih dahulu Pusdatin Klinik Stunting Kecamatan Girisubo memetakan potensi sasarannya sampai ke tingkat paling bawah, yakni RT, untuk melihat sejauh mana keterlayanannya sesuai indikator-indikator standar yang sudah ditetapkan secara baku oleh pemerintah. Sasaran dalam program pencegahan stunting ini sendiri terbagi menjadi tiga: ibu hamil (bumil), bayi usia 0-2 tahun (0-24 bulan), serta anak usia 2-6 tahun (25-60 bulan).
Untuk sasaran bumil, indikator keterlayanan yang dipantau adalah mencakup: (1) pemeriksaan kehamilan, (2) konsumsi pil FE (zat besi), (3) pemeriksaan nifas, (4) konseling gizi, (5) kunjungan rumah oleh kader/petugas, (6) akses air bersih, (7) jamban sehat, serta (8) kepemilikan jamkes.
Untuk sasaran bayi usia 0-2 (baduta), indikator keterlayanan yang dipantau mencakup: (1) imunisasi dasar, (2) berat badan, (3) tinggi badan, (4) konseling gizi ortu, (5) kunjungan rumah petugas atau kader, (6) akses air bersih, (7) jamban sehat, (8) kepemilikan akta lahir, (9) kepemilikan jamkes, (10) pengasuhan atau parenting yang baik.
Sedangkan untuk sasaran anak usia 2-5 tahun, indikator keterlayanan mencakup dua saja, yakni (1) kesertaan di PAUD dan (2) kesertaan orangtuanya di BKB, atau menjadi satu yakni kesertaan di PAUD/BKB holistik-integratif.
Pemantauan indikator-indikator tersebut dilakukan secara detil dan obyektif kepada setiap sasaran, dilakukan oleh kader Sub PPKBD, Kelompok KB, dan kader Yandu di setiap dusun, dibawah koordinasi KPM tingkat desa (3 orang). Data dari dusun itu kemudian direkap oleh KPM tingkat desa, diprosentasekan secara total satu desa, untuk mengukur tingkat keterlayanan dari setiap sasaran untuk setiap indikatornya. Hasilnya dinamakan dengan konvergensi atau tingkat keterlayanan desa.
Hasil rekapitulasi awal inilah yang kemudian disodorkan ke pemerinta desa untuk dijadikan dasar oleh pemerintah desa untuk menyusun anggaran program pencegahan stunting ini. Jadi, pemerintah desa tidak asal-asalan atau nggrambyang dalam menyusun anggaran, tetapi benar-benar menyesuaikan dengan kondisi riil di lapangan terkait dengan sasaran (bumil, bayi 0-2 tahun, anak 2-6 tahun) beserta indikator-indikator keterlayanannya.


Keberpihakan Anggaran
Seorang kader dusun tengah memberikan PMT ibu hamil kepada
salah satu sasaran (bumil) di Desa Jerukwudel.(sr)
Dan, alhamdulillah, berdasarkan konvergensi atau tingkat keterlayanan tersebut, kemudian masing-masing desa di Kecamatan Girisubo telah menyusun anggaran pencegahan stunting sesuai kebutuhan riil, yang secara umum menunjukkan keberpihakan yang signfikan. Angkanya bisa dilihat di bawah ini:
1. Desa Balong: untuk program pembangunan: 360.583.100,00 sedangkan untuk pemberdayaannya sebesar: Rp 49.857.900,00, total: Rp. 410.441.000,00 (empat ratus sepuluh juta empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).
2. Desa Jepitu: untuk bidang pembangunannya sebesar: Rp 332.672.500, sementara bidang pemberdayaannya sebesar: Rp 192.412.500, total: Rp. 525.085.000,00 (lima ratus dua puluh lima juta delapan puluh lima ribu rupiah).
3. Desa Karangawen: untuk bidang pembangunan: Rp 287.388.000,00 dan untuk pemberdayaan sebesar Rp 32.278.000,00, totalnya Rp 319.666.000,00 (tiga ratus sembilan belas juta enam ratus enam puluh enam ribu rupiah).
4. Desa Tileng, untuk bidang pembangunannya sebesar Rp 244.499.500, dan pemberdayaan sebesar: Rp 5.425.000,00, totalnya sebesar Rp 249.924.500,00 (dua ratus empat puluh sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu lima ratus rupiah).
5. Desa Pucung, program pembangunan sebesar Rp 513.120.000,00, sedangkan pemberdayaannya sebesar Rp 32.635.000,00, total sebesar Rp 545.755.000,00 (lima ratus empat puluh lima juta tujuh ratus lima puluh lima ribu rupiah).
6. Desa Songbanyu, untuk bidang pembangunannya sebesar Rp 391.916.000,00, sedangkan pemberdayaannya sebesar Rp 56.350.500,00, total sebesar Rp 448.266.500,00 (empat ratus empa puluh delapan juta dua ratus enam puluh enam ribu lima ratus rupiah).
7. Desa Jerukwudel, untuk sektor pembangunan sebesar Rp 321.201.500,00 sedangkan untuk pemberdayaan sebesar Rp 11.300.000,00, total sebesar Rp 332.501.500,00 (tiga ratus tiga puluh dua juta lima ratus satu ribu lima ratus rupiah).
8. Desa Nglindur, sektor pembangunan sebesar Rp 356.902.900,00, sedangkan untuk bidang pemberdayaan Rp 6.737.500,00, total Rp 363.640.400,00 (tiga ratus enam puluh tiga juta enam ratus empat puluh ribu empat ratus rupiah).

Sistem Pelaporan
Sebagaimana sudah dijelaskan di awal, bahwa untuk memonitoring dan mengevaluasi keberlangsungan program di desa, ada sistem pelaporan di bawah kendali Pusdatin (pusat data dan informasi) Klinik Stunting kecamatan.

Menurut pengelola Pusdatin, Ismiyati, SKom, dalam implementasinya ditempuh beberapa langkah. Yang pertama, bahwa setiap sasaran (bumil, bayi 0-24 bulan, serta bayi 25-60 bulan) memiliki semacam kartu kendali yang memuat check list keterlayanan atas indikator-indikator yang bersangkutan.

Kedua, kader di tingkat dusun (terutama kader Sub PPKBD, Pok KB, atau kader Yandu) akan secara rutin mendatangi sasaran, setiap bulan, untuk memastikan bahwa si sasaran bisa mengakses layanan yang semustinya diterima dengan baik dan maksimal. Jika akses atas layanan tersebut harus diprakarsasi oleh yang bersangkutan sendiri, maka kader harus memberi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang pentingnya layanan tersebut, sehingga sasaran tergerak untuk proaktif mengakses layanan. Misalnya saja, tentang pengurusan KIA (kartu identitas anak), pemeriksaan ke faskes, kepemilikan BPJS, dan sejenisnya, dalam hal ini si sasaran yang harus proaktif. Sebaliknya, jika akses tersebut harus atas prakarsa kader, maka dengan sendirinya kader yang bergerak memfasilitasi. Misalnya pemberian PMT untuk bumil, balita, kunjungan rumah, dan sejenisnya, ini semua memang menjadi tugas kader di tingkat dusun sebagai pemrakarsanya, tentu di bawah koordinasi KPM tingkat desa (3 orang).


Ketiga, hasil pemantauan di tingkat dusun itu kemudian dilaporkan ke KPM tingkat desa untuk dijadikan satu, lalu direkapitulasikan menjadi laporan hasil pemantauan tingkat desa tentang program pencegahan stunting. Pembuatan laporan ini bersifat bulanan, dilaksanakan oleh KPM (kader pembangunan manusia) tingkat desa yang berkoordinasi dengan PKTD (pemegang kebijakan tingkat desa). Di Girisubo, umumnya yang berposisi sebagai PKTD adalah Kasi Pelayanan Desa.
Keempat, laporan hasil pemantauan tingkat desa itu juga disampaikan ke Klinik Stunting di kecamatan, yakni ke bagian Pusdatin. Setiap 3 bulan sekali, laporan dari seluruh desa itu direkapitulasi oleh seluruh KPM dibawah koordinasi PKPM, Gunawan Aribowo, SIP, dan pengelola Pusdatin, Ismiyati, SKom. Output-nya adalah laporan triwulan (trimester) program pencegahan stunting tingkat kecamatan.
Dari laporan trimester inilah diketahui sejauh mana progres yang dicapai oleh masing-masing desa se-Kecamatan Girisubo dalam pencegahan stunting, baik dalam hal realisasi  anggaran ataupun akses keterlayanan dari setiap sasaran, per desa.
Dari rekapitulasi trimester ini akan diketahui pada indikator apa saja yang tingkat keterlayanan atau aksesnya lebih tinggi ketimbang yang lain, atau sebaliknya. Misalnya, sebagaimana disampaikan oleh Ismiyati, SKom, bahwa untuk konteks Girisubo, bisa dipastikan semua indikator yang terkait dengan keterlayanan setiap sasaran bernilai tinggi, bahkan sempurna, yakni 100%, kecuali pada dua indikator: kepemilikan asuransi kesehatan (BPJS) dan kartu identitas anak (KIA). Ini merata di semua desa, yakni lemahnya kesadaran setiap KK sasaran untuk mengurus kesertaan BPJS (semua segmen: bumil, bayi 0-24 bulan, dan anak 25-60 bulan), juga mengurus KIA bagi anak mereka (0-60 bulan).


Role Model
Menurut Gunawan Aribowo, selaku PKPM, adanya Klinik Stunting di tingkat kecamatan yang berfungsi sebagai pusat kendali dan pusat data informasi dalam pencegahan stunting di Girisubo merupakan kelebihan sendiri jika dibandingkan dengan kecamatan lain di Gunungkidul. Dengan adanya pengendalian yang tersentral, maka akan terjalin koordinasi antara kecamatan dan desa (klinik stunting desa) dalam realisasi program pencegahan stunting di setiap desa, yang itu juga akan menjadi gambaran efektivitas dan progres kegiatan di level kecamatan. Selain itu, dengan adanya pusat data dan informasi yang valid dan terus terupdate, terbarukan, maka pelaksanaan program pencegahan stunting di Girisubo, baik di level perencanaan, eksekusi di lapangan, monitoring, dan evaluasi akan selalu berbasis pada data yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan.
Gunawan berharap, kiranya penanganan stunting di Girisubo dengan Klinik Stunting-nya bisa menjadi role-model bagi kecamatan-kecamatan lain di Gunungkidul.(*)
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine