Wawasan Islam dalam Memperhatikan 1000 HPK

Artikel Opini Oleh:
Sabrur Rohim, SAg, MSI
(PKB Kecamatan Girisubo, Gunungkidul)

Dengan tulisan ini, saya tak bermaksud melakukan pembaganan secara paksa isu 1000 HPK ke dalam nilai-nilai keislaman, lalu seakan-akan ingin menegaskan secara mengada-ngada bahwa doktrin Islam mengkonfirmasi isu tersebut. Saya semata-mata ingin tegaskan, bahwa memang pada kenyataannya sejak 14 abad yang lalu secara substantif memang ajaran Islam, baik yang bersumber pada Alquran maupun hadis Nabi SAW, meniscayakan perhatian yang lebih para orangtua pada fase-fasel awal kehidupan buah hatinya.

Tetapi, sebelum sampai ke situ, terlebih dulu kita perlu tahu, apa tho pengertian dari 1000 HPK itu? 1000 HPK artinya 1000 hari pertama kehidupan, yang merupakan masa tumbuh kembang paling kritis dalam kehidupan seorang anak. Fase 1000 hari ini terbagi menjadi 3 (tiga), yakni masa kehamilan (270 hari), disusul satu tahun pertama setelah kelahiran (365 hari), dan akhirnya masa balita (tahun kedua). Dikatakan bahwa pola asuh yang baik, baik pemberian nutrisi, stimulasi, dan sebagainya yang dicurahkan orangtua (terutama ibu) kepada sang anak akan berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya secara jangka panjang, sehingga pada akhirnya nanti akan menentukan kualitas sang anak di masa depan, baik secara lahiriah maupun batiniahnya.

Pra-Kehamilan
Tetapi, tahukah Anda, bahwa perhatian terhadap urgensi 1000 HPK dalam fase kehidupan manusia, dalam perspektif Islam, tidak dimulai sejak pertemuan ovum dan sperma, tetapi lebih jauh lagi pada fase pra-kehamilan. Yang dimaksud di sini adalah fondasi keagamaan yang kuat, sakral, dan legal, bahwa kehamilan (yang menandai awal HPK itu) didahului dengan perkawinan yang sah sesuai tuntunan agama dan negara. Kehamilan tersebut bukan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) sebagai akibat hubungan seksual pra-nikah atau akibat dari suatu perselingkuhan (perzinahan). Tetapi, kehamilan tersebut sebagai buah cinta sejati dari suatu hubungan seksual setelah terjadi akad nikah yang sah antara sepasang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan mengasihi serta bersepakat untuk membangun bahtera rumahtangga.

Bahkan lebih jauh dari itu, sebelum pernikahan itu terjadi, telah terlebih dulu diawali dengan proses memilih dengan standar tertentu. Dalam perspektif Islam, mewujudkan generasi atau pribadi yang saleh, yang berkualitas, bukan pertama-tama dimulai di atas ranjang, tetapi telah diawali sejak dalam proses memilih pasangan. Seorang laki-laki yang baik, yang saleh, akan memilih perempuan yang baik, yang saleh, dan demikian juga sebaliknya, jika ingin memiliki anak keturunan yang bekualitas baik secara moral atau secara akademik. Alquran bahkan secara jelas menyebutkan hal ini dalam QS al-Rum: 26, yang sebagiannya ada yang berbunyi: wa al-thayyibatu li al-thayyibin, wa al-thayyibuna li al-thayyibat (perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik, lelaki baik-baik untuk perempuan baik-baik).

Masa Kehamilan
Dalam wawasan Islam, kehamilan bukan semata-mata proses biologis dari kegiatan reproduksi manusia. Lebih dari itu, Islam memandang kehamilan sebagai sesuatu  yang sakral, spiritual, karena pada tujuan akhirnya ingin mewujudkan anak keturunan yang saleh, generasi yang berbakti dan mengabdi kepada Allah. Untuk kepentingan itu, proses ikhtiar mewujudkan kehamilan dimulai dengan berdoa; artinya, berdoa sebelum memulai hubungan seksual, bahkan sangat dianjurkan agar berwudhu terlebih dulu. Doanya khusus dan bunyinya adalah sbb: Allahumma jannibna al-syaithan wa janib al-syaithana ma razaqtana, artinya, “ya Allah, jauhkan kami (suami-istri) dari gangguan setan, dan jauhkan setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.”

Dengan doa ini, dimaksudkan agar Allah menjauhkan kita (suami istri) dari kejahatan setan selama kita berhubungan badan, dan seandainya dari hubungan badan tersebut menghasilkan anak, maka kiranya anak tersebut juga dijauhkan dari kuasa dan kejahatan setan. Kata Nabi SAW, jika sebelum berhubungan badan sepasang suami istri berdoa memohon perlindungan kepada Allah, maka saat pertemuan sperma dan ovum di rahim si istri, Allah-lah yang akan membuat suatu cetak biru (blue print), suatu shibghah, pada si calon jabang bayi hasil pertemuan sperma dan ovum tersebut, bukan setan.

Ketika kehamilan itu akhirnya terjadi, sikap utama yang musti ditunjukkan seorang ibu adalah rasa gembira atas kehamilan tersebut. Dengan kehamilan tersebut, berarti Allah akan mempercayakan kepada dirinya dan juga suami untuk melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidik salah satu hamba Allah. Tidak peduli kehamilan ke berapa pun, baik pertama, atau kedua, atau bahkan ketiga sekalipun, tetap saja seorang ibu harus menunjukkan sikap gembira. Dengan sikap gembira tersebut mengindikasikan bahwa kehamilan tersebut bukan tidak diinginkan (KTD).

Makanya memang dalam hal ini penting bagi pasangan suami istri untuk mengikuti program keluarga berencana (KB), dengan memakai alat atau obat kontrasepsi modern, agar setiap kehamilan bisa diatur sedemikian rupa kapan waktu mengawalinya, berapa tahun jarak antar anak, berapa jumlah anak yang dikehendaki, kapan mengakhiri kehamilan, dan sebagainya.

Tentang sikap gembira atas kehamilan ini sendiri telah diajarkan dalam Alquran melalui beberapa ayat. Misalnya dalam QS al-Shaffat: 101, di mana Allah bercerita tentang kelahiran Nabi Ismail AS: “Maka Kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yakni Ismail).” Di ayat lain disebutkan juga, yakni QS al-Hijr: 53, “Sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (yakni Ishaq).”

Sikap gembira atas kehamilan itu menjadi modal utama seorang ibu, yang akan menjadi fondasi baginya untuk memberikan perhatian yang khusus, yang spesial, atas janin yang dikandungnya itu, baik secara lahir ataupun batin. Secara lahir, ia akan menjaga kesehatan tubuhnya dengan baik, mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervitamin, yang baik lagi halal, yang akan menunjang bukan saja kesehatannya sebagai ibu tetapi juga kesehatan bayi yang dikandungnya. Ia akan rutin memeriksakan ke dokter, ke bidan, ke puskesmas, ke rumah sakit, dan akan mematuhi semua arahan dan bimbingan petugas kesehatan. Sebab, selain tawakal dan berdoa kepada Allah, hal-hal yang bersifat alamiah, kauniyah, juga harus diperhatikan. Jangan sampai seorang ibu hamil tidak memperhatikan larangan atau anjuran yang bersifat medis terkait dengan kehamilannya, dan justru lebih percaya dengan takhayul dan khurafat yang hanya bersumber dari katanya dan katanya.

Hal yang sekilas tampak remeh tetapi sebenarnya sangat penting adalah berzikir selama kehamilan, yang zikir-zikir itu diajarkan oleh Nabi SAW seperti surat al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas, al-Fatihah, lima ayat awal surat al-Baqarah, tiga ayat terakhir al-Baqarah, dan ayat Kursi, serta bisa juga ditambah dengan ayat-ayat lain, atau jika memungkinkan satu surat, bisa surat Yasin, surat Yusuf, surat Maryam, atau yang lain (tidak ada ketentuan pasti). Tujuannya bukan semata-mata mengharap perlindungan dari Allah agar kehamilannya selalu terjaga dengan baik, agar ibu dan janin selalu sehat, tetapi lebih dari itu memperdengarkan ayat-ayat suci ke sang janin, karena meski masih di dalam perut, pendengaran sang bayi sudah berfungsi. Beberapa riset ilmiah di dunia modern menunjukkan bahwa janin berusia 16 minggu (kira-kira 4 bulan) ternyata sudah bisa berinteraksi secara searah dengan orangtuanya dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan piwulang Alquran dalam QS al-Mulk: 23, bahwa setelah peniupan ruh kepada janin di usia 4 bulan, maka hal pertama yang kemudian diberikan Allah kepadanya adalah berfungsinya pendengaran (al-sam’).

Persalinan dan ASI Eksklusif
Persalinan adalah fase yang sangat kritis, sehingga harus benar-benar dipersiapkan oleh setiap ibu dan ayah (pasangan suami istri). Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, tentu saja persalinan terbaik dan teraman adalah dengan dibantu oleh petugas medis yang terlatih, seperti bidan atau dokter kandungan. Sekarang pemerintah melarang persalinan dengan bantuan dukun bayi, dan ini sesuatu yang positif sehingga harus kita dukung.

Adalah sangat menyesatkan jika berpandangan secara gegabah bahwa kematian saat menjalani persalinan disebut mati syahid. Jika persalinan tersebut telah melalui syarat, ketentuan, dan prosedur medis yang standar dan (tetapi) kemudian terjadi darurat yang berujung pada kematian si ibu, maka layak jika disebut mati syahid dan berbuah surga. Nabi SAW mengatakan: “Orang yang mati berjihad di jalan Allah, syahid; orang yang mati karena penyakit tha’un (kolera), syahid; orang yang mati karena sakit perut, syahid; orang yang mati karena nifas, syahid, dia akan ditarik oleh anaknya menuju surga dengan tali pusarnya.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 15998).

Tetapi, sebaliknya, jika proses persalinan tersebut mengabaikan syarat, ketentuan, dan prosedur medis standar, misalnya (katakanlah) tidak ditangani oleh petugas medis, tetapi oleh dukun beranak, atau bahkan ditangani sendiri, apalagi sebelumnya tidak menjalani kehamilan secara sehat, sehingga kemudian berujung pada risiko kematian (nauzubillah), maka sangat tidak tepat jika dianggap kematian tersebut sebagai mati syahid. Itu sama halnya menjerumuskan diri ke dalam kecelakaan, yang jelas dilarang oleh Islam, sebagaimana dinyatakan di dalam QS al-Baqarah: 195, “... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan...” Bahasa teknisnya: bunuh diri.

Begitu bayi lahir, ada beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan oleh orangtua. Yang pertama-tama, mengumandangkan azan di telinga kanan, dan ikamat di telinga kiri. Ini semacam pengenalan pertama di dunia kepada indera pendengaran bayi; yang dia dengar pertama kali di dunia adalah kalimat suci yang akan menjadi fondasi akidah dan keimanannya sepanjang hidupnya kelak. Selanjutnya, pada hari ke-7 kelahirannya, orangtua melaksanakan akikah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, dengan disembelihkan kambing (disunnahkan 2 ekor bagi laki-laki dan seekor bagi perempuan) yang dagingnya diberikan kepada tetangga dan sanak famili (disunnahkan sudah dimasak), serta diberi nama. Pada saat akikah itu pula, bulu rambut kepalanya dipotong, lalu ditimbang, beratnya dikonversikan ke emas (seharga emas) untuk disedekahkan. Terkait dengan pemberian nama, Nabi SAW menyatakan bahwa orangtua hendaknya memberi nama yang baik kepada anaknya, karena nama yang baik mengandung harapan-harapan yang baik (tafa’ul).

Islam juga sangat memperhatikan pentingnya memberi ASI (air susu ibu) eksklusif, yakni menyusui bayi sejak usia 0 tanpa campuran makanan pendamping apa pun, artinya ya hanya susu ibu saja. Jika kita membaca kitab-kitab fikih, dalam bab bersuci (thaharah), ada pembahasan tentang jenis-jenis najis, yakni najis mukhafafah (ringan), najis mutawasithah (sedang), dan najis mughalazhah (berat). Kita berfokus pada najis mukhafafah, najis ringan, di mana cara membersihkannya cukup dengan menyiramkan air ke najis tersebut. Apa sebenarnya najis tersebut sehingga cara membersihkannya sangat mudah? Najis mukhaffafah adalah air kencing bayi berusia 0 sampai 2 tahun, yang belum mengonsumsi apa pun kecuali air susu ibunya (ASI).

Walaupun dalam konteks fikih ada yang berpendapat bahwa ini hanya berlaku bagi bayi laki-laki saja (sedangkan air kencing perempuan dikategorikan sebagai najis mutawasithah), tetapi hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam awal, yakni di masa Nabi SAW sendiri, ada kebiasaan, atau bahkan anjuran, untuk menyusui anak sejak usia 0 sampai setidaknya 2 tahun, hanya susu ibu (ASI) saja tanpa makanan pendamping apa pun, dan untuk bayi yang diperlakukan seperti itu (yakni diberi ASI saja hingga 2 tahun) mendapat perlakukan khusus untuk air kencingnya, yakni dikategorikan sebagai najis ringan (mukhaffafah), yang membersihkannya cukup dengan menyiramkan air pada tempat atau barang yang terkena najis. Ini seakan-akan mengandung suatu anjuran, jika ingin tidak repot dalam urusan bersih-bersih najis yang terkait dengan anak bayi di bawah tiga tahun (batita), maka cukuplah dengan diberi ASI, jangan ada makanan pendamping apa pun lainnya.

Dalam tulisan DR Abdul Basith Jamal dan DR Daliya  Shadiq Jamal, “Alquran dan Sains: Manfaat Air Susu Ibu (ASI)”, dalam www.republika.co.id, edisi Ahad, 11 Agustus 2011, dinyatakan, penelitian di dunia modern menunjukkan bahwa ASI mengandung pelbagai unsur makanan yang dibutuhkan bayi untuk membantu perkembangannya. Selain itu, di dalam ASI juga terkandung aneka macam vitamin, kadar lemak, dan unsur-unsur makanan lainnya, sehingga bisa dikatakan bahwa ASI adalah makanan sempurna yang mengandung pelbagai zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh makhluk hidup, sehingga metabolisme tubuhnya bisa berjalan lancar dan perkembangan badannya berlangsung dengan baik.

Di sisi lain, ujar Abdul dan Daliya, para peneliti juga mengadakan eksperimen untuk membuat susu buatan atau ASI tiruan, melalui uji coba bahan-bahan kimiawi yang disuntikkan ke dalam kelenjar susu pada beberapa binatang menyusui (misalnya, sapi, kambing, dll). Hasilnya adalah susu-susu kemasan, kaleng, buatan yang memiliki kandungan kimiawi yang sama dengan susu murni. Susu-susu semacam itu sekarang banyak beredar di pasaran dengan pelbagai mereka, dengan bandrol harga yang berbeda-beda.

Hanya saja, sambung Abdul dan Daliya, para ilmuwan juga telah melakukan penelitian untuk menganalisis kandungan zat yang terdapat dalam susu murni. Hasilnya, susu buatan tetap tidak aman dan memiliki kemungkinan mengandung bahan-bahan yang dapat merusak sel tubuh. Oleh karena itu, betapa pun juga, pada akhirnya disepakati bahwa ASI adalah yang terbaik, bahwa ASI itu tidak tergantikan. Seorang ibu harus langsung menyusui anaknya begitu sang anak terlahir ke dunia. Hal itu dapat menyelamatkan sang bayi, sekaligus menyelamatkan generasi mendatang dari risiko cacat tubuh, ataupun gagal tumbuh (stunting), yang diakibatkan oleh konsumsi susu buatan atau kekurangan konsumsi susu murni (ASI).

KB Pasca Salin
Setelah bayi lahir ke dunia, maka dalam kurun 42 hari setelahnya, sang ibu sangat dianjurkan mengikuti program KB, atau yang lazim disebut KB pasca salin. Islam sebenarnya juga sangat memperhatikan hal ini. Dalam ajaran Islam, seorang suami diharamkan menggauli istrinya selama masa nifas, yang biasanya berlangsung selama kurang lebih 40-60 hari. Seorang suami baru boleh berhubungan intim jika si istri benar-benar sudah kembali suci, artinya sudah tidak mengeluarkan darah lagi. Dalilnya adalah QS al-Baqarah: 222. Meski di dalam surat tersebut yang disebut adalah haid (menstruasi), tetapi berlaku juga bagi nifas, karena secara substansial keduanya sama, yakni proses atau gejala mengeluarkan darah dari rahim. Jadi, sebenarnya, tanpa mengikuti program KB pasca salin pun, jika seseorang itu taat kepada ajaran agamanya maka tidak mungkin ia akan berhubungan seks dengan istrinya dalam kurun 42 hari setelah melahirkan (nifas).

Akan tetapi, terlepas dari hal itu, memang sebaiknya sehabis persalinan seorang ibu segera mengikuti program keluarga berencana (KB), dengan tujuan supaya tidak terjadi kehamilan berikutnya dalam jarak yang tidak ideal. Dalam budaya Jawa, ada istilah “kesundulan”, yakni ketika seorang bayi yang baru lahir disusul oleh kelahiran adiknya pada jarak yang dekat, atau bahkan sangat dekat, ketika dia belum maksimal dalam konsumsi ASI ibunya. Dengan segera mengikuti program KB, potensi “kesundulan” bisa dicegah sedemikian rupa, sehingga bayi bisa mendapat asupan ASI dan pengasuhan dari orangtuanya secara maksimal. Sangat dianjurkan sekali bahwa alat KB yang dipakai adalah MKJP (metode kontrasepsi jangka panjang), misalnya implan (susuk KB) 3 tahun, atau IUD 5, 8, atau 10 tahun, jadi ketika nanti dilepas karena ingin menambah anak tidak masalah, karena umur anak pertama sudah tamat batita (bayi tiga tahun) atau bahkan sudah tamat balita (bayi lima tahun), meski pada prinsipnya alat KB apa pun bisa dilepas kapan pun sesuai keinginan akseptor (pemakainya). Jika memakai alokon pil KB, maka harus pil KB yang khusus ibu menyusui.

Dua Tahun Sempurna
Pertanyaannya kemudian, jika tujuan KB pasca salin adalah untuk memberi kesempatan ibu memberikan ASI dan pengasuhannya secara maksimal, dibutuhkan berapa lama? Pertanyaan persisnya, sampai kapan konsumsi ASI itu berlangsung? Atau, pertanyaan lainnya dalam hal ini: kapan alat atau obat kontrasepsinya bisa dihentikan karena ingin menambah anak?

Jawaban atas 3 pertanyaan itu sama: ketika si bayi sudah berumur 2 (dua) tahun, atau berusia 1000 hari dihitung sejak pertemuan antara ovum dan sel sperma yang menjadi cikal bakal dirinya. Dua tahun adalah usia yang maksimal bagi seorang bayi untuk mendapatkan ASI dari ibunya. Ketika bayi sudah mancapai dua tahun, maka ibu seyogianya menghentikan pemberian ASI, baik karena alasan ingin menambah anak lagi atau tidak. Jikalaupun karena ingin menambah anak, juga tidak mengapa, karena sudah memenuhi syarat minimal (ASI diberikan secara maksimal), dan setelah itu diproseslah keinginan menambah anak (berhubungan seksual), sehingga asumsinya setidak-tidaknya jarak antara si bayi dengan adiknya adalah kurang lebih satu tahun. Meskipun demikian, sangat dianjurkan jika kelahiran anak berikutnya adalah ketika si anak (pertama) sudah lulus balita (setidak-tidaknya lima tahun). Tujuannya agar di dalam keluarga tidak ada dua balita. Dengan hanya satu balita, harapannya orangtua dapat maksimal dan sepenuhnya dalam memberi pengasuhan (parenting) yang baik kepada anaknya.

Dalam hal ini, sejak 15 abad yang lalu, Alquran telah dengan jelas mengharuskan setiap ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya sampai berusia 2 (dua) tahun sempurna (penuh). Pernyataannya ada di dalam QS al-Baqarah: 233: “Dan para ibu menyusui anak-anak mereka dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan susuannya...” Menyusui selama dua tahun ini juga sebagai bentuk perhatian maksimal ibu (orangtua) kepada anaknya, sebagaimana ditegaskan dalam QS Luqman: 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik)kepada orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun.” Jika seorang ibu (muslimah) taat kepada ajaran agamanya, meskipun tanpa anjuran atau instruksi dari dinkes, puskesmas, kader KB atau kader Posyandu, harusnya tergerak secara sadar untuk memberikan ASI-nya sampai anak berusia 2 tahun (1000 hari sejak dalam kandungan).

Dan ternyata, masya Allah, dunia kedokteran modern membuktikan bahwa ASI yang diberikan selama dua tahun terbukti menjadikan bayi lebih sehat, menjadikan bayi mengalami proses tumbuh-kembang dengan baik. Menurut penelitian, sebagaimana dikutip oleh Febria Silaen dalam, “Manfaat Menyusu Hingga 2 Tahun,” pada laman www.beritagar.id edisi Sabtu, 05 Agustus 2017, bahwa untuk anak usia 2 tahun, kandungan zat imun dari ASI masih dapat melindunginya dari penyakit, karena anak-anak di atas usia 1 tahun pada umumnya terpapar lebih banyak daripada saat masih bayi. Diinformasikan pula sebuah hasil survei bahwa bayi yang menyusu hingga 1 tahun pertama mengalami penurunan kejadian penyakit dan tingkat risiko kematian yang lebih rendah ketimbang yang kurang dari 1 tahun. Serupa efeknya, bayi yang tetap mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun dapat meningkat kekebalan tubuhnya atas serangan penyakit.

Imunisasi
Hal yang tak kalah penting yang harus didapatkan bayi di dalam kurun 1000 HPK ini adalah imunisasi yang bertujuan untuk meningkatkan daya imunnya dari serangan penyakit, dari usia 0-24 bulan (1000 HPK). Tujuan imunisasi bukan saja melindungi si anak dan keluarganya, tetapi juga lingkungan sekitarnya, agar tetap sehat.

Selama kurun 2 tahun, setidaknya seorang anak mendapatkan 10 kali imunisasi, yakni:

1. Ketika bayi baru lahir: imunisasi Hepatitis B-1, Polio-0, dan BCG;
2. Ketika berusia 2 bulan: imunisasi Hepatitis B-2, Polio-1, DTP-1, Hib-1, PCV, & Rotavirus-1;
3. Ketika berusia 3 bulan: imunisasi Hepatitis B-3, Polio-2, DTP-2, dan Hib-2;
4. Ketika berusia 4 bulan: imunisasi Hepatitis B-4, Polio-3, DTP-3, PCV-2, dan Rotavirus-2;
5. Ketika berusia 6 bulan: imunisasi PCV-3, Rotavirus-3, dan influenza;
6. Ketika berusia 9 bulan: imunisasi Campak-1;
7. Ketika berusia 12 bulan: imunisasi Varisela, PCV-4, dan Japanese encephalitis-1;
8. Ketika berusia 15 bulan: imunisasi Hib-4 & MMR-1;
9. Ketika berusia 18 bulan: imunisasi Polio-4, DTP-4, Campak-2, dan Influenza; dan
10. Ketika berusia 24 bulan: imunisasi Tifoid, Hepatitis A, dan Japanese encephalitis-2.   

Kita tentu saja kita tidak akan menemukan nas (teks) baik pada Alquran maupun hadis tentang imunisasi, karena metode ini muncul belakangan di era modern. Beda misalnya dengan KB, sebagai sebuah metode pengaturan kelahiran sudah menjadi bagian dari praktik di zaman Nabi waktu itu, sehingga kita bisa menemukan rujukan terkait baik secara tersurat maupun tersirat, di Alquran maupun hadis Nabi.

Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memberi dukungan terhadap program pemerintah ini. Setidaknya ada dua perspektif keislaman yang menjadi dasar dukungan terhadap program imunisasi, di mana perspektif ini memiliki justifikasi teologis baik dari nas Alquran maupun hadis.

Pertama, dukungan kepada ulul amri (pemerintah). Islam mewajibkan keharusan kaum beriman untuk bersikap taat kepada pemerintah, sejauh apa yang ditetapkan pemerintah, baik program atau kebijakannya, bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Dalam hal ini ada kaidah, tasharruf al-ra’iyyah manuthun bil-mashlahah, bahwa penyelenggaraan pemimpin di dalam mengurus pemerintahan harus mengacu pada nilai kemaslahatan. Imunisasi betapa pun juga bertujuan mewujudkan kemaslahatan, yakni terciptanya generasi yang sehat, generasi yang kuat, kebal dari aneka macam penyakit, dan ini sejalan dengan prinsip maslahat dalam Islam untuk menjaga keberlangsungan anak keturunan kita di masa mendatang (hifz al-nasl). Tidak pernah ada pemerintah, negara, yang menghendaki keburukan bagi masyarakat dan bangsanya. Yang dituju tak lain dan tak bukan pastilah kebaikan dan kesejahteraan warganya. Jika tujuannya baik, tidak keburukan atau kemaksiatan kepada Allah, maka kewajiban umat Islam hanya satu: mendengar dan taat (sami’na wa atah’na). Dasar atau justifikasi dari sikap ini adalah QS al-Nisa’: 59: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang urusan (kuasa) di antara kalian...”

Kedua, wujud komitmen pada tujuan atau kepentingan umat secara umum. Sebagaimana ditegaskan di awal tadi, bahwa tujuan imunisasi adalah melindungi diri (si bayi) dan lingkungannya agar sehat dan terlindungi, kebal, dari pelbagai penyakit, sehingga ke depan anak-anak kita menjadi generasi yang kuat, bukan generasi yang lemah. Ideal tentang generasi yang kuat ini ditegaskan dalam QS al-Nisa’: 9: “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan sepeninggal mereka generasi yang lemah yang mereka khawatir akan nasib mereka kelak...”

Ketika kita ikutkan anak bayi kita dengan program imunisasi ini, maka berarti kita ikut terlibat atau berpartisipasi secara aktif untuk menciptakan kondisi yang sehat dan terlindungi itu di lingkungan kita sendiri (keluarga, RT, dusun). Sebaliknya, jika kita tidak ikut dengan program ini, maka kita termasuk orang yang tidak berkomitmen pada tujuan dan kepentingan bersama, dan secara moral dalam hal ini kita cacat.

Mungkin tidak bermasalah jika yang menolak imunisasi, misalnya, hanya satu dua keluarga dari 10 KK yang memiliki balita di suatu dusun/kampung, dan sebaliknya akan sangat berbahaya jika yang terjadi sebaliknya: 2 yang imunisasi dan 8 yang tidak. Sebab, jika hanya satu atau dua balita yang tidak terimunisasi (tidak kebal virus), sementara 8 (delapan) yang lainnya terimunisasi sehingga kebal dari penyakit, maka asumsi logisnya: (1) jika dua balita tadi sehat-sehat saja, itu semata-mata karena tertolong oleh 8 balita lain lingkungannya yang sehat-sehat juga; (2) jika dua balita itu sakit, terpapar virus, sangat patut diduga bahwa keduanya mendapatkan virus tersebut dari tempat lain (yang mungkin balita-balitanya lebih banyak, atau bahkan sama sekali, tidak terimunisasi).

Maka, sekali lagi, keberpihakan kita kepada kepentingan bersama adalah sesuatu yang niscaya, sebaliknya, sikap egois atau mementingkan diri sendiri adalah sesuatu yang cacat secara moral dan ini sangat dikecam oleh Islam. Khusus dalam konteks ini kita bisa mendasarkan argumennya pada sebuah hadis Nabi SAW: “Siapa yang tidak peduli dengan urusan orang Islam, maka ia bukan dianggap sebagai golongan mereka.” (HR al-Thabrani dalam al-Shaghir, hlm. 188 dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan, 2/252). Hadis ini menegaskan pentingnya kepedulian dan solidaritas kepada kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan umat Islam. Kemaslahatan umum atau kepentingan bersama yang dimaksud adalah kesehatan dan keterlindungan anak-anak kita di lingkungan kita dari ancaman penyakit, virus, dan sebagainya. Sehingga, tak ada kata tidak pada suatu program atau kebijakan bersama dibawah instruksi ulul amri (pemerintah) yang akan menjadi wasilah bagi terwujudnya kebaikan bersama itu. Wallahu a’lam.(*)

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine