
Hudoyo, SSos, selaku Koordinator PKB Girisubo memberi
penekanan bahwa kegiatan ini merupakan paket dari OPD KB tingkat kabupaten,
yakni DP3AKBPMD Gunungkidul, dengan dana BOKB BKKBN Pusat, sehingga memang
semua kecamatan di Gunungkidul menyelenggarakan kegiatan yang sama. Harapannya,
kata Hudoyo, para kader bisa tahu dan paham lebih jauh tentang permasalahan
gender, perlindungan perempuan, perlindungan anak, lalu menerapkannya dalam
kehidupan bermasyarakat, juga mensosialisasiakannya agar ilmu dan pengetahuan
ini sampai ke masyarakat, sehingga lebih banyak lagi warga masyarakat yang
mengetahuinya. “Kami tidak mungkin menjangkau semua lapisan masyarakat. Ibu-ibu
kader lah yang menjadi kepanjangan tangan petugas kecamatan,” tegas Hudoyo.

Materi
kedua disampaikan oleh Dewi Julianti, SH, dari Rifka Annisa Yogyakarta, dengan
tema, Perlindungan Perempuan dan Anak.
Terlebih dulu Mbak Ulie, panggilan akrabnya, memaparkan data kasus kekerasan
terhadap perempuan di wilayah DIY yang masuk dalam data Rifka Annisa per
Agustus 2019 yang sudah mencapai angka 300-an lebih, yang mayoritasnya adalah
KTI (kekerasan terhadap istri). Menurut Ulie, konstruksi gender di masyarakat
sangat berpengaruh pada besar kecilnya kasus yang muncul. Belakangan ini
kasus-kasus yang dilaporkan ke Rifka meningkat cukup tajam. “Tetapi, kami
bersyukur karena data ini menunjukkan semakin banyaknya perempuan yang sadar
akan haknya, sadar bahwa perlakuan kekerasan terhadap mereka tidak bisa
didiamkan begitu saja, sadar bahwa mereka berhak menentukan nasibnya sendiri,
jangan selalu disubordinasi oleh kaum lelaki secara semena-mena,” kata Ulie.
Lebih
lanjut Ulie menyarankan agar kaum perempuan berani bersuara demi kepentingan
mereka sendiri. Selama ini banyak program yang dibuat oleh pemerintah,
khususnya di tingkat desa, tidak responsif atau sensitive terhadap urusan
perempuan. Artinya, kepentingan-kepentingan kaum perempuan seperti penyuluhan
gender, perlindungan perempuan, dll, atau pelatihan bagi kaum perempuan untuk
meningkatkan kapasitas, dan sejenisnya, kurang terakomodasi. Tetapi, kata Ulie,
ini salah perempuan juga karena kurang bersuara ketika menyusun program. “Maka
dari itu, di dalam forum Musrenbangdesa, semestinya kaum perempuan hadir,
bersuara, dan mengusulkan program yang menyasar kaum perempuan dan mengawal
betul agar program tersebut dilaksanakan secara riil,” ajak Ulie.

Ulie
juga memaparkan secara ringkas kecenderungan klien dalam menyelesaikan masalah
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami kaum perempuan. Secara umum dibagi
menjadi tiga; yang terbesar adalah dengan jalan damai atau penyelesaian secara
kekeluargaan, berikutnya adalah dengan jalan perceraian karena merasa sudah
tidak kuat menghadapi kekerasan yang dialaminya, dan yang terakhir (dengan
jumlah terkecil) adalah dengan jalan pemidanaan, yakni mealporkan ke pihak
berwajib dengan pasal pidana.
Dipaparkan
oleh Ulie juga bermacam-macam kekerasan terhadap perempuan, yakni antara lain:
kekerasan secara psikologis, kekerasan secara ekonomi, kekerasan secara
seksual, kekerasan secara fisik, dan kekerasan secara sosial. Semua jenis
kekerasan ini banyak terjadi di masyarakat. “Saya harap ibu-ibu kader di rumah
menjadi teladan bagi warga di sekitarnya untuk menghindarkan seluruh anggota
keluarga dari praktik KDRT, yang biasanya para pelaku adalah orang-orang
terdekat. Selanjutnya, saya berharap sekali, ibu-ibu kader menjadi penyuluh,
menjadi pasukan getok tular untuk
menginformasikan tentang pentingnya gender, perlindungan perempuan, perlindungan anak ini, kepada masyarakat secara lebih luas,” pungkas
Ulie.

0 Comments