Mengurai Masalah Gangguan Jiwa dan Bunuh Diri di Gunungkidul


Angka bunuh diri di Gunungkidul saban tahun selalu tinggi. Rata-rata di kisaran 30-an per tahun, kurang dan lebih. Tahun 2018 kemarin 30. Tahun ini, per Agustus 2019 (ketika tulisan ini dibuat), sudah mencapai 22 kasus, terakhir di Dusun Wuni, Nglindur, Girisubo. Menurut Wage Dhaksinarga, sebenarnya tidak juga bisa dikatakan secara pasti bahwa di Gunungkidul angkanya tertinggi di DIY, atau bahkan dalam konteks nasional. Hanya saja, memang ada kelebihan di Gunungkidul, yakni kejelasan data kasus-kasus tersebut. Datanya valid, obyektif, akurat, komprehensif, serta terbarukan setiap waktu. Sedangkan di wilayah (kabupaten lain), datanya cenderung tidak atau belum jelas, baik menyangkut angka ataupun detil-detil yang lain. Sehingga, kasus bunuh diri di Gunungkidul pun lebih menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisis oleh orang-orang yang konsern dengan masalah ini ketimbang di kabupaten/wilayah lain. Belum lagi ada sesuatu yang sangat “seksi” di Gunungkidul untuk fenomena bunuh diri ini, yakni adanya mitos “pulung gantung” yang berkembang di masyarakat.  

Beberapa waktu lalu, pada acara seminar sehari “Pencegahan Gangguan Jiwa dan Bunuh Diri Melalui Ketahanan Keluarga dan Masyarakat,” Kamis (8/8), di auditorium STAIYO Wonosari, dalam sambutannya Bupati Gunungkidul, Hj Badingah, SSos, menjelaskan bahwa masih tingginya angka pengidap gangguan jiwa atau lazim disebut ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) dan bunuh diri di Daerah Istemewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Gunungkidul, cukup memprihatinkan kita semua. Kondisi ini, ujar Badingah, menjadi evaluasi seluruh pemangku kepentingan bahwa penanganan bagi pengidap ganguan jiwa dan juga kasus bunuh diri ini, baik secara promotif maupun prefentif, belum dapat dilakukan dengan optimal. Banyak aspek yang menjadi sebab masih tingginya angka gangguan jiwa dan kasus bunuh diri ini, dan ini harus menjadi perhatian kita semua, agar semakin ke depan semakin sungguh-sungguh dalam mengevaluasi masalah tersebut sesuai dengan peran kita masing-masing secara proposional dan prefektif.

Dalam konteks ini, menurut Badingah, kondisi atau keberadaan keluarga ini dinilai menjadi faktor yang yang menentukan keberhasilan penangan kasus ODGJ atau percobaan bunuh diri. Menyadari betapa penting keberadaan keluarga menyelesaikan permasalahan ini (ODGJ dan bunuh diri), maka penting  menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama berkontribusi menanggulanginya. Menurut Badingah, masalah ODGJ dan bunuh diri ada kaitannya dengan persoalan kesehatan dan sosial. Badingah juga mempermasalahan ketahanan keluarga yang dari hari ke hari mengalami krisis pada sebagian keluarga kita, juga kearifan lokal yang semakin hari semakin luntur dalam kehidupan masyarakat kita. Suasana kekeluargaan, kebahagiaan, dan kesehatan keluarga semakin berkurang seiring kian menonjolnya sikap individualis pada sebagian masyarakat kita.
Maka dari itulah, dalam kesempatan itu, Badingah memberi apresiasi yang tinggi atas pencanangan Kampung KB Sehat Jiwa, di Padukuhan Wareng, Desa Kemiri, Kecamatan Tanjungsari. Badingah berharap, dengan semakin banyak komunitas juga dan gerakan-gerakan masyarakat di dalam mendorong terwujudnya ketahanan keluarga, makin tingginya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola dan keteladanan dalam berperilaku hidup sehat secara jasmani dan sehat rohani, maka keluarga-keluarga yang bahagia dan harmonis ini akan mengispirasi masyarakat lain untuk melestarikan dan mengedepankan nilai-nilai etika sosial kemanusiaan dan budaya. Sehingga keluarga mampu menjadi benteng yang kuat untuk menangulangi sosial dan kesehatan.

Struktur Penduduk
Ketua Koalisi Kependudukan DIY yang sekaligus peneliti pada PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM, Dr Pande Made Kutanegara, MSi, dalam kesempatan seminar sehari itu, memaparkan bahwa Gunungkidul sekarang ini sudah mengalami perubahan yang luar biasa. Sekarang Gunungkidul sudah berbeda dengan beberapa dekade yang lalu, sudah lebih maju dan lebih sejahtera. “Dulu orang Gunungkidul sendiri, ketika merantau dan ditanya asal daerah, mereka akan malu berterus terang mengaku sebagai orang Gunungkidul. Mereka lebih percaya diri menyebut asalnya Wonosari (nama salah satu kecamatan). Tetapi sekarang, orang Gunungkidul sangat percaya diri menyebut nama Gunungkidul sebagai asalnya. Karena memang sekarang Gunungkidul jadi primadona, jadi tujuan wisata, karena tempat-tempat wisatanya sungguh memikat semua orang. Adanya banyak kunjungan wisatawan ke Gunungkidul ini juga secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya perekonomian warga Gunungkidul, karena kemudian banyak membuka peluang usaha di bidang kuliner, kerajinan, transportasi, pemandu wisata, penginapan, dan lain sebagainya,” terang Pande.
Pande menambahkan bahwa jumlah orang miskin di Gunungkidul setiap tahun bertambah, tetapi angka kemiskinan turun jika kita melihat dari konsumsi penduduk. Yang jelas, lanjut Pande, meski keadaan Gunungkidul sekarang sudah lebih baik, lebih sejahtera, tetapi itu belum benar-benar menjanjikan perubahan hidup kepada sebagian besar warganya. “Ini bisa kita lihat masih banyaknya warga Gunungkidul yang memilih keluar kota, merantau, atau migrasi untuk memperbaiki perekonomian. Banyak penduduk yang produktif mencaru uangnya bukan di Gunungkidul, tetapi di luar kota. Inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya lansia di Gunungkidul. Mereka tinggal di rumah, sementara anak-anaknya pergi merantau. Kondisi seperti ini, jika tidak dikelola dengan baik juga akan melahirkan masalah. Kesendirian, sebatang kara, apalagi kemudian ditambah dengan sakit dan kekurangan secara ekonomi, bisa berpotensi menimbulkan tekanan (stres), cemas, bahkan depresi. Jika berlarut, ini yang kemudian akan berujung kepada aksi bunuh diri di kalangan orang-orang yang lanjut usia dan sakit-sakitan,” papar Pande.

Gejala Sakit Mental
Psikolog, konsultan, sekaligus dokter di RSUD Wonosari, drIda Rochmawati, MSc, SpKJ, yang juga menjadi narsum utama dalam kegiatan tersebut mengajak para ibu-ibu PPKBD untuk mewaspadai gejala-gejala yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami gangguan mental. Menurut dr Ida, begitu sapaan akrabnya, ada sejumlah tanda dan gejala bahwa seseorang mengalami gangguan jiwa, antara lain: (1) alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi; (2) menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), ia tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming); (3) delusi atau waham, yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya; ia sering berpikir atau melamun yang tidak biasa (delusi); (4) mengalami halusinasi, yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan, misalnya penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu; (5) merasa depresi, sedih atau stres tingkat tinggi secara terus-menerus; (6) kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun; (7) paranoid (cemas atau takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak perlu ditakuti atau dicemaskan; (8) suka menggunakan obat hanya demi kesenangan; (9) memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri; (10) terjadi perubahan diri yang cukup berarti; (11) memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah; (12) terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya; (12) pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa; (13) gejala gila yang sangat mengganggu, yaitu kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.
Selain itu, lanjut Ida, ada beberapa tanda sakit mental berikut juga sangat mengganggu, di antaranya (1) membuat gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan; (2) kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, dan pendiam; (3) sulit dalam berpikir abstrak; serta (4) tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak ada upaya usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas dan selalu terlihat sedih.

Hindari Stigma
Ida berharap agar para kader KB, yang notabene sebagai tokoh-tokoh di masyarakat, sebagai kepanjangan tangan petugas kecamatan, bisa mengawal dalam bersikap secara bijak dalam melihat fenomena gangguan mental. Selama ini ada kecenderungan, ketika seseorang mengalami gejala-gejala yang mengarah kepada gangguan mental, lantas masyarakat memberi stigma negatif, yang memberi kesan bahwa sakit jiwa itu sesuatu yang negatif, membahayakan, sehingga penderita harus diisolasi; sakit jiwa itu sebentuk “kerasukan setan”, “kerasukan jin”, sehingga penderita harus dibawa ke “orang pintar” (dukun), dan seterusnya. Padahal, tegas Ida, sakit mental adalah tidak berbeda dengan sakit pada umumnya, hanya saja yang sakit adalah psikisnya, mental, bukan fisiknya, sehingga memang tidak kelihatan secara kasat mata. Ketika seseorang mengalami gejala sakit mental, sakit jiwa, harusnya kita jangan memberi stigma negatif, karena stigma itu justru akan membuat keluarganya malu dan kemudian menutup diri, mengisolasikan, dst. Kita harus membantu keluarga penderita untuk menguatkan ikatan keluarganya, mengajak penderita agar konsultasi ke psikolog, dokter jiwa, baik di rumah sakit, dokter praktik, atau fasilitas kesehatan lainnya. Dengan pengobatan medis yang rutin dan baik, maka gejala-gejala itu bisa diredam, sehingga pasien tidak sampai ke taraf ke sakit jiwa (gila), atau sampai melakukan tindakan bunuh diri.
“Sekian lama ini ada kecenderungan, akibat stigma negatif tersebut, penderita gejala sakit jiwa tidak segera dibawa ke fasilitas kesehatan, tetapi malah diisolasi, dan ketika sampai pada taraf akut yang mengganggu masyarakat, baru kemudian diobati. Tentu saja, itu sudah terlambat. Walhasil, tidak ada jalan lain lagi. Penderita dibawa ke rumah, dank arena khawatir akan menggangu lingkungan, dipasung,” lanjut Ida. “Harusnya, ketika masih pada taraf gejala, masih berupa tanda-tanda awal, segera saja diobati, dibawa ke fasilitas kesehatan, sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas. Sebab, kalau sampai terjadi kegilaan, kemudian sampai si penderita melakukan hal-hal yang di luar kontrol, maka lingkungan masyarakat sendiri yang akan merasakan dampaknya.”

Pulung Gantung. Adakah?
Dalam kesempatan itu pula, dr Ida menyatakan terang-terangan tidak setuju jika kasus-kasus bunuh diri dikaitkan dengan pulung gantung. Sejauh yang beliau teliti, tidak bisa dibuktikan adanya kaitan antara kasus bunuh diri dengan pulung gantung—sebagaimana yang berkembang dalam pembicaraan publik. “Sekarang saya ingin tanya kepada ibu-ibu semua,” tantang dr Ida selanjutnya, “siapa di antara ibu-ibu yang pernah nyata-nyata melihat bentuk pulung gantung? Coba tunjuk jari!”
Tidak ada satu pun kader PPKBD yang mengacungkan jarinya. Ida kemudian menjelaskan, bahwa aksi bunuh diri lebih disebabkan oleh keadaan jiwa atau mental yang sakit, yang terganggu, yang jika tidak terobati dengan baik dan berlangsung terus-menerus akan sampai pada taraf keinginan mengakhiri hidup dari si penderita. “Maka tugas kita adalah bagaimana bersama-sama mencegah terjadinya kasus bunuh diri, dengan cara menunjukkan empati dan kepedulian kepada orang-orang yang mengalami gejala sakit jiwa; berkomunikasi dengan mereka, ngaruhke, mengajak mereka berobat, diobati, ke fasilitasi medis, supaya jangan sampai gangguan yang menimpa mereka justru makin berat dan kemudian sampai pada level ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) ataupun bunuh diri,” pungkas dr Ida.
Dihubungi secara terpisah, Wage Dhaksinarga dari Yayasan IMAJI (Inti Mata Jiwa), bahwa orang ingin bunuh diri sebenarnya bukan ingin mati, tetapi ingin lepas dari permasalahan yang menghimpitnya, seperti ekonomi, penyakit, atau masalah-masalah di rumah tangga, dan sebagainya. Wage sepakat dengan dr Ida, bahwa bunuh diri lebih berkaitan dengan kesehatan mental. Wage mencontohkan, berdasarkan pengalaman dan penelitiannya sendir, bahwa di Gunungkidul ini banyak kasus di mana orang yang sudah 10 tahun dengan gagal ginjal, tetapi dia semangat hidunya luar biasa, ada orang 19 tahun hidup dengan stroke, tetapi semangatnya luar biasa. Tetapi, ada yang baru mengidap sakit mata 2 minggu ternyata memilih gantung diri karena tak tahan dengan sakitnya. Ini artinya apa? Ini artinya, sebabnya lebih karena mentalitasnya.
Lebih jauh, Wage juga tidak sepenuhnya sepakat bahwa faktor kesulitan ekonomi adalah penyebab orang kemudian melakukan aksi bunuh diri. Aksi bunuh diri sesungguhnya terjadi karena stres yang berat. Pemicu stresnya bisa macam-macam. Bisa juga karena ekonomi, tetapi sekali lagi ekonomi ini hanya sebagai stressor. “Dalam bahasa yang paling mudah, yang lebih miskin dari orang kebanyakan yang akan melakukan bunuh diri; tetapi nyatanya, banyak orang yang lebih miskin justru tidak melakukan bunuh diri. Itu kalau mau disepakati perkaranya adalah ekonomi. Dari data yang saya punya, tampak bahwa ada 5 besar kecamatan di Gunungkidu yang itu merupakan kecamatan yang maju secara perekonomian, misal Wonosari, Playen, Semanu, Karangmojo, Ponjong. Itu 5 besar daerah yang subur, tetapi ternyata angka bunuh dirinya tertinggi dibanding kecamatan yang lain di Gunungkidul. Jadi menurut saya, dari data itu jelas menunjukan bahwa ekonomi itu tidak selalu menjadi maslah utama, tetapi kembali ke mental diri kita masing-masing,” papar Wage.
Tentang pulung gantung, Wage mengamini apa yang disampaikan dr Ida, bahwa tidak ada bukti yang benar-benar bisa disimpulkan bahwa ada kaitan antara pulung gantung dengan aksi bunuh diri. “Saya mengamati kasus ini sudah sangat lama, sejak 1998. Setiap ada kasus, orang selalu mengaitkan. Tetapi satu hal, isu pulung gantung baru ada setelah terjadi gantung diri, tidak ada yang sebelumnya. Setiap ada peristiwa gantung diri, semua orang banyak berpekulasi tentang pulung gantung. Tetapi, saya tidak pernah jumpai seorang pun yang bersaksi pernah melihat pulung gantung,” tegas Wage.
“Saya melihat, istilah pulung gantung sebagai ungkapan untuk menamai,” papar Waeg.  “Maksud saya begini. Kalau di kebudayaan Jawa, kita melihat apa pun selalu diwujudkan dalam bentuk fisik. Misalnya kalau dalam tradisi Jawa seperti kenduren itu kan tetua kampung menyebut, bahwa benda ini untuk menandakan bla bla bla…, dst.  Saya membayangkan dulu itu seperti itu. Atau ini hanya imajinasi saya karena tidak punya pisau untuk membedah sebagai sebuah analisis. Saya membayangkan, dulu itu ada pristiwa bunuh diri, terus kemudian orang tidak bisa membongkar. Ini persoalanya apa? Kenapa dia bunuh diri? Padahal segala apa pun dinamai. Di Jawa ini, ada kata pulung dan gantung. Itu bukan satu kata, tetapi itu dua kata dari. Dalam kamus bahasa Jawa juga tidak ada yang disebut pulung gantung. Tetapi, sebagaimana saya tegaskan tadi, sekali lagi orang Jawa itu butuh menamai setiap hal. Sama halnya ketika misalnya ada orang yang meninggal misterius, maka itu pun harus dinamai. Ini mau di namai apa? Karena misterisu, maka mereka menamai “ pulung”. Tetapi pulung apa? Karena meninggal secara menggantung diri, maka disebutlah pulung gantung.”
Wage melanjutkan, bahwa gelu sebenarnya hanya mitos belaka, sama dengan pulung gantung. “Tidak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa ada kaitan antara gantung diri dengan gelu,” ujar Wage. Makanya hari, kata Wage, saya dan teman-teman IMAJI tidak peduli apakah ada pulung gantung itu atau tidak, atau terserah mereka mau mengistilahkan apa, tetapi yang terpenting hari ini adalah bagaimana pulung gantung itu tidak berada terus di otak seluruh rakyat Gunungkidul.
Wage kemudian menjelaskan persoalan gangguan kesehatan mental dan bunuh diri lebih dari sudut pandang ilmiah. “Sebenarnya kita harus sadar bahwa manusia itu merupakan makhluk yang holistik,” kata Wage. “Manusia adalah makhluk yang terdiri dari 3 hal, yakni fisik, psikologis, dan sosial, dan bolehlah bisa kita tambahi sebagai makhluk yang spiritual. Tiga hal ini harus imbang. Hanya saja, kadang-kadang ada manusia yang lebih unggul sisi fisiknya, atau ada lainnya yang unggul di psikisnya. Idealnya, semuanya harus seimbang ketiga-tiganya.”
Orang yang mengalami gangguan jiwa, ujar Wage, berarti aspek psikologisnya bermasalah, tidak ada kaitan sama sekali dengan masalah lemah iman atau sejenisnya. “Saya tidak setuju jika dikatakan, orang sakit di jiwanya karena secara iman tidak kuat. Sila berpikiran seperti itu, tetapi jangan kemudian meninggalkan aspek-aspek yang lain, karena pemahaman agama satu orang dan yang satunya lagi bisa berbeda. Boleh Anda berbeda pendapat, tetapi jangan terus kemudian menutup pendapat yang lain. Saya punya contoh kasus yang lain. Saya punya teman seorang ibu ini hafiz Quran. Dia mengasuh pondok pesantren, tetapi ibu ini dulu mengalami despresi. Ibu ini kalau kita lihat, dari sisi iman itu kurang apa? Dia hafiz Quran, pengasuh pondok pesantren, tetapi si ibu ini terkena ganguan jiwa. Syukurnya, karena pengobatanya maksimal, hari ini dia stabil dan dia bisa kembali mengajar santri-santrinya. Asal tahu saja, ibu ini sudah belasan kali melakukan percobaan bunuh diri. Dengan pendampingan yang baik, serta perawatan medis yang terus-menerus, akhirnya ibu ini bisa selamat percobaan bunuh diri,” papar Wage.

Peran Kader KB
Wal akhir, Wage mengatakan, bahwa di Gunungkidul ini ada 3 risiko bunuh diri. Yang pertama adalah orang tua atau lansia yang tinggal sendiri. Yang kedua adalah orang dengan ganguan jiwa. Ganguan jiwa ini dalam artian bukan yang di jalanan, tetapi ganguan jiwa ini macam-macam bisa despresi, stres, takut berlebihan, tidak bisa tidur, dsb.  Gangguan jiwa itu bisa karena ekonomi, kangen kepada anak cucunya, karena sakit lama ini, karena masalah keluarga, dll. Yang ketiga adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini  merupakan risiko yang tertinggi. Dari ketiga kelompok ini, sebenarnya mereka hanya butuh kepercayaan dirinya di tingkatkan lagi, aktualisasi dirinya, identitas dirinya. Mereka butuh teman. Seseorang bisa merasa eksitensi kembali tumbuh dan tegak ketika banyak orang yang datang kepadanya terus memposisikan dia sebagai seseorang.
Bagaimana peran dan tugas kita melihat masalah ini? Dalam hal ini kita bisa menyimak harapan Hj Badingah, SSos, Bupati Gunungkidul dalam acara seminar kesehatan mental sebagaimana dikabarkan di awal tadi. Beliau berharap kepada kader-kader KB, baik PPKBD, Sub PPKBD, ataupun Kelompok KB, serta kader kesehatan se-Kabupaten Gunungkidul bisa berpartisipasi membantu pemerintah menanggulangi masalah ini. Sebab, sebagaimana diketahui, kader-kader KB ini adalah tokoh masyarakat, sehingga mereka dituakan dan dihormati oleh warga sekitarnya. Tentu saja, tekan Badingah, peran mereka sangat efektif untuk menggerakkan dan mengubah pola pikir warga masyarakat terdekatnya. Para kader bisa sering berkunjung dan berkomunikasi, bergaul intensif dengan masyarakat, terutama kepada tiga risiko tertinggi sebagaimana disebutkan Wage, istilahnya “ngaruhke”, mendampingi keseharian mereka, menguatkan eksistensi dan aktualisasi mereka dalam kehidupan masyarakat.
Plt Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Rohdiana Sumariati, SSos, MSc, juga mengamini harapan seperti itu, yakni tentang pentingnya peran kader KB dalam ikut menanggulangi masalah ini. “Saya berharap kader-kader PPKBD, Sub PPKBD, dan Kelompok KB, bisa mencerahi warganya, masyarakat di sekitarnya untuk bisa membangun ketahanan keluarga yang baik. Para ibu hamil digerakkan untuk rutin memeriksakan diri, dan ikut KB pasca salin; ibu-ibu balita ikut BKB agar bisa memahami, mengerti, dan mempraktikkan pengasuhan balita yang baik; ibu-ibu remaja agar bergabung dengan BKR, agar tahu pola asuh remaja yang baik, tahu tentang kesehatan reproduksi, dll, sehingga bisa memahami pentingnya pendewasaan usia perkawinan dan dengan demikian bisa mencegah terjadinya pernikahan dini atas anak dan warga sekitarnya; keluarga yang punya lansia, juga lansianya, bisa diajak gabung dengan BKL, agar bisa bergaul dengan lansia di rumahnya dengan baik, mengerti tentang cara-cara menjadi lansia tangguh, lansia mandiri, lansia yang berkualitas, dekat dengan Tuhan, dsb,” ujar Rohdiana.
“Para PUS yang sudah ber-KB, sudah punya anak dua,” lanjut Rohdiana, “bisa digerakkan untuk bergabung dalam wadah poktan UPPKS, sehingga bisa menambah penghasilan keluarga. Dengan cara itu semua, insya Allah ketahanan keluarga akan terwujud. Semua keluarga tentu punya masalah, punya tantangan. Tetapi, setiap keluarga juga punya potensi, punya SDM. Yang penting adalah bagaimana mengelola masalah dan SDM itu dengan baik, untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga secara lahir dan batin. Itulah pengertian dasar dari ketahanan keluarga. Tujuan utama keluarga berencana (KB) adalah mewujudkan kesejahteraan keluarga. Jika keluarga sejahtera, sehat lahir batin, insya Allah pikiran-pikiran buruk tentang keinginan bunuh diri tidak akan terlintas.”(*) [Sabrur Rohim, SAg, MSI, PKB Girisbo dan Pimred Cahaya Keluarga, dari pelbagai sumber]

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine