PATBM dan Proyeksi “Gunungkidul Layak Anak”


Membangun peradaban masyarakat suatu bangsa tidak akan terlepas dari membangun sebuah keluarga.  Masyarakat yang mempunyai ketahanan kuat hanya akan disusun dari kumpulan banyak keluarga yang memiliki ketahanan yang kuat pula di dalamnya. Sebagai sebuah system, keluarga yang memiliki ketahanan terhadap berbagai serangan dari luar pun tentunya juga dibangun dari individu-individu yang memiliki ketahanan pribadi yang prima pula.

      Individu-individu dalam keluarga memiliki ketahanan pribadi bukanlah sebagai sesuatu kebetulan, namun merupakan upaya yang dibangun secara terus menerus melalui penerapan fungsi keluarga secara optimal. Kedudukan optimalisasi fungsi keluarga sangatlah strategis untuk membangun kepribadian anggotanya, terutama pada diri anak sebagai insan yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, sosial maupun mentalnya secara lebih progresif. Dalam keluargalah individu yang ada didalamnya akan mendapatkan  asupan  gizi untuk jasmani maupun nutrisi untuk rohaninya. Tentu saja kondisi kepribadian dan jasmani si anak akan menjadi tangguh, kuat, dan tumbuh dengan baik, mana kala  asupan gizi bernutrisi tinggi dalam bentuk makanan maupun pendidikan yang bernilai baik yang dimasukan  kedalam tubuh dan jiwa si anak.


Konsep PATBM
     Pertanyaan mendasar dalam upaya memberikan perlindungan anak secara terpadu antara keluarga dan masyarakat  adalah: bagaimana memberikan perlindungan anak secara terpadu di dalam keluarga dan masyarakat? Pertanyaan ini cukup luas cakupan pembahasannya. Pertama, apa yang dimaksud dengan perlindungan. Kedua, batasan anak itu sendiri pada umur berapa. Ketiga, apa yang dimaksud dengan terpadu antara keluarga dengan masyarakat.

     Konsep perlindungan pada diri anak bisa mencakup  perlindungan fisik jasmani yang mencakup pertumbuhan yang normal, seperti: tinggi badan, berat badan, pertambahan jumlah sel jaringan dalam tubuh dan sebagainya. Kemudian “perlindungan”,  dalam pengertian fisik terbebas dari ancaman dan rasa sakit, pertumbuhan yang tidak normal atau cacat dsb.  Sedangkan perlindungan dari aspek psikis bisa mencakup perkembangan mental, kecerdasan motorik, kecerdasan berbahasa, kecerdasan bersosial dan kecerdasan intelektualnya, terhindar  dari rasa takut, cemas, dsb. Tidak kalah pentingnya perlindungan terhadap aspek rohaniah yang mencakup segala sesuatu yang menyangkut aklak kepribadian serta hubungan anak dengan Tuhannya baik kebaikan di dunia sampai di akherat nanti.  Di sini  perlindungan pada anak juga mencakup di dalamnya perlindungan dari ancaman pengaruh buruk dari  berbagai informasi yang bisa merusak kepribadian anak baik melaui media cetak maupun elektronik.

     Berikutnya batasan pengertian tentang konsep anak. Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Dalam UU No 23 tahun 2002, misalnya, tercantum dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:  “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”  

     Konsep “terpadu antara keluarga dan  masyarakat”, bisa didefinisikan bahwa upaya memberikan perlindungan pada anak bukan hanya menjadi tanggung jawab dan beban keluarga semata, namun juga menjadi kewjiban bagi lingkungan masyarakat sekitar, termasuk di dalamnya lingkungan sekolah secara bersama-sama.

Pendekatan Islam
    Islam mengajarkan bahwa anak sebagai amanat dari Allah SWT, wajib hukumnya bagi orang tua untuk melindungi sejak dini. Artinya, semenjak proses awal reproduksi sudah diberikan oleh calon orang tua, melalui doa ketika akan berhubungan intim antara suami dan istri. Proses ini dilanjutkan dengan selalu  memberikan doa-doa  kebajikan baik yang bersifat harian maupun pada even tertentu. Misalnya, dalam agama Islam kita diajarkan untuk melakukan prosesi azan dan ikamat saat bayi sedang dilahirkan, dengan tujuan memberikan  perlindungan pada anak dari gangguan setan serta mengenalkan lebih awal pada ketauhidan di awal kehidupannya. Prosesi pendidikan  agama dilanjutkan melalui kegiatan akikah dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur pada Allah SWT, serta memberikan doa kebaikan pada si anak. Kemudian, setelah itu dilanjutkan dengan prosesi khitan pada anak  laki-laki, dan inipun bertujuan untuk melindungi anak dari gangguan kesehatan pada alat reproduksinya. Semasa lajang  anak dididik untuk berpuasa (dalam pengertian menjauhkan diri dari perbuatan zina) dan akhirnya anak akan dilepas sebagai orang dewasa melalui proses pernikahan yang sah menurut agama.

     Agama Islam juga mengajarkan agar kita selaku orang tua memberikan asupan makanan pada anak-anak dengan makanan yang halal (dari sisi zat dan sumber didapatkannya), serta thayyib atau baik untuk kesehatannya. Perlindungan sejak dini juga diperintahkan dalam Islam supaya para ibu memberikan ASI pada bayinya sampai dua tahun sebagai waktu yang sempurna, seperti tercantum dalam Alquran surat al-Baqarah: 233.

     Rasul Muhammad SAW banyak memberikan keteladanan dalam pengasuhan  dan perlindungan pada anak. Misalnya, orang tua harus memberikan kasih sayang, perlindungan, serta bersikap adil pada anak, baik itu pada anak laki-laki maupun perempuan melalui hubungan  interaksi keseharian. Anak juga harus diberikan perlindungan diri untuk meraih masa depannya agar tidak menjadi generasi yang lemah melalui pendidikan atau pelatihan, seperti berolah raga berkuda, panahan, berenang, membaca dan menulis. Itulah sekelumit contoh bagaimana sikap orang tua yang harus diberikan pada anaknya dalam memberikan perlindungan melalui pendidikan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

     Islam sangat mengedepankan perlindungan anak melalui pembangunan akhlak yang karimah. Adalah wajib bagi orang tua untuk meletakkan dasar pembangunan karakter dengan nilai ketauhidan, sikap santun kepada kedua orang tua, tidak berlaku sombong dalam kehidupan serta mendidik hati agar memiliki akhlak yang mulia. Semua itu tecermin dalam keteladanan Lukman al-Hakim yang termuat dalam Alquran. Fondasi pembangunan akhlak ini sangat vital guna melindungi anak dari berbagai bahaya pengaruh buruk nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, materialisme, terjangan arus kebebasan individualisme, informasi media massa, pergaulan bebas, dsb.

Unsur Keteladanan dan Peran Masyarakat
     Perlindungan pada anak oleh orang tua tidak cukup hanya dalam bentuk pemberian makanan yang cukup lagi sehat; mengajari atau mendampingi dalam proses belajar di bangku sekolah formal. Yang lebih penting lagi yang harus dilakukan orang tua adalah keteladanan, idola untuk dijadikan model dalam hidupnya. Artinya, sudah seharusnya orang tua menjadi sosok idola, panutan dalam bersikap, berbicara, bertingkah laku, bergaul dalam kesehariannya.

Sebagai contoh, untuk melindungi anak dari pengaruh buruk media informatika (seperti HP, TV, game, dsb), sudah seharusnya orang tua mengkondisikan kehidupan rumah tangganya untuk tidak terlalu bebas menikmati HP, TV, game, dsb, dalam durasi waktu yang tidak teratur  pada saat jam belajar. Contoh lain, orangtua tidak seyogianya memberikan tauladan  prilaku buruk, seperti  berpola kepribadian buruk: mengumbar amarah, mengumbar sahwat, berbicara kasar, bertindak kasar, berbohong, minum minuman beralkohol, dsb.

     Anak bukanlah benda mati yang hanya berada di dalam rumah. Mereka butuh bergaul berinteraksi dengan anak-anak lain, orang dewasa di luar rumah. Tidak mustahil, meskipun pendidikan karakter dirumah sudah cukup baik, misalnya adanya perlindungan dari bahaya buruk makanan, tontonan, permainan yang tidak menyehatkan, namun ancaman bahaya dari luar rumah bisa saja terjadi. Misalnya, keburukan akan menimpa manakala anak terjerumus dalam pergaulan bebas, ikut atau terjerumus  dalam gang anak nakal, geng motor, geng klithih, dsb.

Sampai di sinilah perlunya peran serta masyarakat, sekolahan dalam memberikan perlindungan pada anak. Banyak yang bisa dilakukan oleh lembaga di luar rumah. Misalnya, akhir-akhir ini sudah biasa sekolahan menerapkan aturan bagi murid-muridnya untuk melarang jajan sembarangan. Aturan bagi murid untuk tidak menggunakan HP di saat ada di lingkungan sekolahan, larangan merokok, serta tidak diizinkannya murid murid menggendarai motor sebelum memiliki SIM. Sekolahan pun sudah mulai membuka diri untuk secara langsung bagi wali murid berkonsultasi tentang progres anak-anaknya baik berkaitan dengan akademik maupun perkembangan perilaku kepribaiannya. Ini adalah upaya bentuk kerjasama antara keluarga dengan pihak sekolah dalam upaya memberikan perlindungan anak dari bahaya buruk yang mungkin bisa menimpanya.

     Peran masyarakat dalam memberikan perlindungan pada anak-anak disekitarnya pun banyak bentuk modelnya, seperti pemberlakuan JBM (Jam Belajar Masyarakat), pembatasan jam kunjung bertamu, pelarangan kegiatan “malima” (bahasa Jawa: dilarang maling atau mencuri, madat atau minum napza, minum minuman beralkohol, madon atau main perempuan, dan mateni atau membunuh), pelarangan main petasan dsb. Itu semua upaya masyarakat dalam  perlindungan anak agar terhindar dari bahaya keburukan. Sedangkan upaya untuk mengembangkan kepribadian anak melalui pendidikan, masyarakatpun banyak berperan. Misalnya di mana-mana bermunculan lembaga PAUD atau yang sejenis, berbagai kursus atau kelompok kelompok ketrampilan, seperti klub olah raga, klub pengembangan bakat seni, dsb.

Peran BKKBN
     Secara spesifik BKKBN memiliki lembaga yang namanya kelompok kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita), BKR (Bina Keluarga Remaja), PIK Remaja. Lembaga-lembaga ini bertujuan pada akhirnya untuk memberikan perlindungan, pendidikan pada anak dan remaja agar menjadi anak dan remaja yang berkembang secara optimal baik pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya sehingga kelak pada akhirnya akan menjadi anak yang sehat, tangguh, serta berakhlak mulia selamat di dunia dan akherat.

     Saat ini yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana agar lembaga seperti BKB, BKR, dan PIK Remaja ini benar-benar bisa eksis dan memnberikan manfaat secara obtimal bagi anak dan remaja melalui pendidikan orang tua di keluarga. Tentunya buka pekerjaan mudah. Di era PKB sebagai ASN pusat diharapkan para PKB memiliki inovasi, kreativitas, etos kerja, dan daya juang yang lebih baik lagi dalam upaya membangkitkan dan mengobtimalkan fungsi BKB, BKR dan PIK Remaja, sehingga akan memberikan kontribusi yang nyata bagi perlindungan anak. Dengan demikian keterpaduan perlindungan anak yang dilakukan di rumah akan bersinergi dengan perlindungan yang diberikan di masyarakat.

Dalam konteks Gunungkidul, menyatunya program KB dengan bidang perlindungan anak dalam wadah DP3AKBPMD tentunya menjadi nilai positif sekaligus menguntungkan untuk semakin menguatkan sinergi di lini lapangan dalam mengimplementasikan program-program perlindungan anak. Poktan-poktan yang selama ini menjadi garapan petugas lini lapangan, yakni PKB dan kader desa, seperti BKB, BKR, dan PIK-R, seyogianya bisa makin diberdayakan melalui kerjasama dengan bidang perlindungan anak (PA) DP3AKBPMD Gunungkidul. Sebab, sebagaimana ditegaskan ole Kasi KS DP3AKBPMD, Muh Amirudin, SSos, ke depan titik tekan program KB bukan lagi semata-mata pada cakupan kesertaan KB atau pemakaian alat kontrasepsi, akan tetapi juga memperhatikan aspek ketahanan keluarga. Dalam bidang ketahanan keluarga, salah satu aspek terpentingnya adalah pengasuhan (parenting) yang baik kepada anak. Dengan pola asuh yang baik, insya Allah anak akan menjalani setiap tugas perkembangannya dengan baik pula, dari fase 0-2 tahun, batita, balita, kanak-kanak (usia SD/SMP), hingga remaja (usia SMA), sehingga ke depan anak akan memiliki karakter yang baik sebagaimana diharapkan orangtuanya, dan dalam konteks lebih luas, anak akan menjadi generasi harapan bangsa di masa depannya. “Ingat, kita akan menyambut Indonesia Emas tahun 2045. Kita harus menyiapkan generasi muda kita, anak-anak kita, jauh-jauh hari agar mereka benar-benar siap di tahun 2045 nanti,” imbuh Amir.

Masalahnya, proyek pembentukan karakter anak bukanlah sesuatu yang mudah ibarat membalik telapak tangan. Ia merupakan proyek yang harus dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan, selain juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun demikian, dengan kerjasama lintas sektor, seberat apa pun bebannya akan menjadi ringan. Bidang perlindungan anak, dalam hal ini, bisa bekerjasama dengan PKB untuk menyasar kelompok-kelompok kegiatan (BKB, BKR, dan PIK-R) untuk mensosialisasikan informasi dan wawasan tentang seputar perlindungan anak yang berbasis masyarakat. Di sinilah sebenarnya signifikansi dari konsep “terpadu” itu, yakni bahwa kerja dari implementasi program perlindungan anak bukan saja menjadi tugas satu sektor saja, tetapi semua elemen bangsa dan masyarakat ikut berperan, baik pemerintah maupun swasta, baik formal maupun informal, dan seterusnya.

Keterpaduan Program KB dan PA
     Implementasinya, secara kreatif, bisa juga melalui keterpaduan antara PIK Remaja dengan Forum Anak yang sekian lama ini menjadi binaan bidang PA. Konsep Forum Anak ini sendiri, yang eksistensinya dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, adalah bagaimana agar anak-anak terus didorong untuk mau terlibat di tengah pembangunan di era partisipatif. Ini tentu sejalan dengan konsep PIK-R itu sendiri, yang memang merupakan sebagai wadah dari, oleh, dan untuk remaja (anak-anak) dan memberi informasi, mengedukasi, atau mengkonsultasi teman sebaya mereka sendiri.

Kepala seksi Perlindungan Anak DP3AKBPMD Gunungkidul, Tomy Darlinanto, SH, MHum, mengatakan, bahwa sampai dengan Maret 2018 saja tercatat sudah ada 60 desa di Gunungkidul yang membentuk Forum Anak. Keberadaan komunitas Forum Anak Desa ini, lanjut Tomy, akan terus dioptimalkan sebagai wadah anak-anak mewujudkan empat hak utama. Empat hak utama itu yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Keempatnya merupakan 31 jenis rangkuman hak anak-anak yang harus diwujudkan negara (pemerintah) yang telah menjadi amanatkan undang-undang untuk menjamin hak dan perlindungan anak. Melalui konsep keterpaduan dengan PIK Remaja, setidaknya ada peluang dan ruang agar hak-hak utama yang empat itu dapat terakomodasi secara maksimal. Di Forum Anak, di forum PIK-R, Anak (remaja) akan hidup secara wajar sebagaimana kanak-kanak, bertumbuh kembang dengan maksimal, terlindungi dari ancaman-ancaman yang membahayakan diri mereka sendiri (misal: narkoba, seks bebas, pernikahan dini), serta bisa berpartisipasi aktif untuk menentukan masa depannya sendiri, sesuai minat dan bakatnya, termasuk mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan berumah tangga.

Yang tak kalah penting adalah bagaimana mensosialisasikan, mengampanyekan, ataupun menanamkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan anak ini kepada orangtua dan masyarakat. Di sinilah peran yang perlu diambil oleh para petugas lapangan, misalnya PKB, kader KB (PPKBD, Sub PPKBD), kader poktan, dsb untuk menjadi corong atau kran informasi kepada masyarakat. Forum BKB (Bina Keluarga Balita) sangat penting menjadi wadah sosialisasi tentang pola asuh balita (parenting) yang baik, dengan tujuan memberi bekal kepada para orangtua balita guna mendampingi setiap tugas perkembangan balita mereka secara optimal. Apalagi, yang patut disyukuri, sekarang banyak BKB yang terpadu atau terintegrasi dengan PAUD, dengan Posyandu, sehingga dari sisi balitanya sendiri juga terpantau aspek pertumbuhan fisik (kesehatan) dan pendidikannya.

Sementara itu, forum BKR (Bina Keluarga Remaja) bisa menjadi forum sosialisasi tentang pola asuh remaja, parenting kepada remaja, yang baik. Sebab, remaja memang membutuhkan perlakuan khusus dari lingkungannya, terutama anggota keluarganya di rumah. Yang lebih penting lagi, perlunya penekanan kepada para orantua remaja (anggota BKR) untuk membiarkan anak-anak mereka (remaja) agar bertumbuh kembang secara maksimal, yakni sampai minimal 21 tahun, jangan sampai dirusak oleh seks bebas, narkoba, dan pernikahan dini. Orangtua akan mendapatkan pencerahan dan informasi seputar PUP (pendewasaan usia perkawinan).

Angka Kasus Bertambah
Dalam kurun Juli 2018, patut disyukuri, bahwa bidang perlindungan anak (PA) DP3AKBPMD Gunungkidul telah secara intensif melakukan sosialisasi dan kampanye PATBM melalui kerjasama dengan BPKB (Balai Penyuluhan KB) di masing-masing kecamatan (ada 18). Sebagai narsum utama dalam kegiatan marathon ke 18 kecamatan ini adalah Kasi PA, Tomy Darlinanto, SH, MHum (salah satu laporan tentang kegiatan ini bisa dilihat di bagian lain edisi ke 8 majalah Cahaya Keluarga ini). Menurut Kasi KS, Muh Amirudin, SSos, ini sebagai langkah awal untuk mensinergikan dan memadukan pelaksanaan program perlindungan anak antara lini KB dan PA. Pendekatan program seperti ini akan terus dikembangkan di masa-masa mendatang, agar bersenyawa dengan status Gunungkidul yang sudah mencanangkan diri untuk menjadi kabupaten layak anak.

Ikhtiar untuk makin mengarusutamakan isu perlindungan anak ini, dengan segala macam pendekatannya, sangat penting,  mengingat persoalan menyangkut hak-hak anak di Gunungkidul memang belum menunjukkan angka yang memuaskan. Jumlah anak Gunungkidul yang berhadapan dengan hukum hingga korban kekerasan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di tahun 2015, misalnya, terdapat 7 anak dan meningkat drastis di tahun 2016 menjadi 21 anak yang berhadapan dengan hukum. Jumlah kekerasan psikis anak tahun 2015 semula nihil, tetapi di tahun 2016 terdapat 5 anak. Tak kalah mencengangkan, angka kasus kekerasan seksual anak Gunungkidul tahun 2015 menimpa 11 anak, naik di tahun 2016 menjadi 59 anak. Di tahun tahun 2017 ada 41 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan 2018 hingga Agustus ini ada 17 kasus. Meski ada tren penurunan, tetapi angkanya tetap banyak.

Sejalan data di atas, angka putus sekolah anak Gunungkidul tergolong tinggi. Tahun 2015 putus sekolah jenjang SD sebanyak 12, jenjang SMP 58 anak, dan jenjang SLTA sebanyak 66 anak. Jumlah tersebut beriringan dengan naiknya jumlah anak Gunungkidul yang hidup di jalan pada tahun 2015 sebanyak 47 anak dan tahun 2016 bertambah menjadi 50 anak.

Tugas Bersama, Komitmen Bersama
Naiknya peristiwa menyangkut anak tentu harus mendapat perhatian semua pihak, semua elemen masyarakat. Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa,  institusi pendidikan, petugas dan kader di lini lapangan (PKB, penyuluh sosial, kader KB/Kesehatan), dan utamanya keluarga harus memiliki keterampilan dan wawasan menghadapi tantangan-tantangan perubahan zaman dan cepatnya laju pembangunan, selain juga keterpaduan dalam sosialisasi, kampanye, dan penggerakan kepada masyarakat. Semua pihak perlu memperhatikan gajala-gejala yang mungkin akan muncul, dan dapat segera mengantisipasi sejak dini. Pencanangan “Kabupaten Layak Anak” tidak lain berorientasi untuk mewujudkan kawasan yang ramah terhadap anak, dalam rangka pemenuhan empat hak utama anak sebagaimana terpaparkan di atas.

Semua pihak, sekali lagi, harus bersinergi untuk mewujudkan terjaminnya hak-hak anak, dan ini bukan hal yang ngayawara (mengada-ada), karena Indonesia sebagai salah satu bangsa yang menyatakan diri berkomitmen melalui penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 2001, atas hasil sidang utama PBB 1989 silam. Dari komitmen tersebut, Pemerintah akan secara terus-menerus mewujudkan upaya perlindungan terhadap hak anak, melalui berbagai macam program dan pendekatan, demi membentuk lingkungan yang sehat, tata kelola kawasan, layanan umum, dan sebagainya, dalam rangka memudahkan anak memperoleh ruang untuk mendapatkan hak-haknya. Semoga. Wallahu a’lam.(*) [Edy Pranoto, Kontributor Playen]

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine