Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI (PKB Girisubo, pemred Cahaya Keluarga)
Mukadimah
RPJMD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah yang disusun untuk periode 5 tahun, sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah terpilih. RPJMD berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) dan juga memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Demikian sebagian
paparan yang disampaikan oleh Kepala Bappeda Gunungkidul, Mohamad Arif Aldian,
SIP, MSi, dalam acara Rembuk Stunting Tingkat Kabupaten Gunungkidul yang
diselenggarakan di Grha BMT Ummat, Wonosari, Selasa (27/5).
Lebih lanjut Aldian
menyampaikan bahwa target prevalensi stunting di Gunungkidul adalah di kisaran
15.33% - 11.05%, sementara posisi sekarang (tahun 2025) di kisaran 19,7%.
Konvergensi
Stunting bukan sekadar permasalahan kurang gizi
atau kesehatan semata, melainkan potret kompleks dari ketimpangan yang terjadi
dalam siklus kehidupan. Dalam jangka panjang, stunting berdampak serius
terhadap kecerdasan, produktivitas, dan kualitas sumber daya manusia. Oleh
karena itu, sambung Aldian, penanganannya tidak bisa diserahkan hanya kepada
satu sektor saja. Diperlukan pendekatan konvergensi, yaitu sinergi
lintas sektor dan kolaborasi berbagai pihak untuk menanggulangi stunting secara
komprehensif.
Konvergensi dalam konteks penanganan stunting
berarti menyatukan berbagai intervensi spesifik dan sensitif, dari level kabupaten
hingga ke tingkat desa/kalurahan dan keluarga. Intervensi spesifik, seperti
pemberian makanan tambahan, imunisasi, dan layanan kesehatan ibu-anak, memang
menjadi domain sektor kesehatan. Namun, intervensi sensitif yang berpengaruh
lebih besar dalam jangka panjang—seperti penyediaan air bersih, sanitasi layak,
rumah tangga layak huni (RTLH), edukasi/KIE gizi, kepemilikan asuransi kesehatan
(BPJS), hingga pemberdayaan ekonomi keluarga—memerlukan keterlibatan aktif
sektor lain. Di sinilah peran penting kementerian/lembaga non-kesehatan,
pemerintah daerah, dunia pendidikan, organisasi masyarakat, tokoh agama, media,
swasta, hingga keluarga.
Konvergensi juga menuntut peran koordinasi yang kuat dari pemerintah daerah, khususnya di tingkat kabupaten dan desa/kalurahan, sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa seluruh program dan kegiatan dari berbagai sektor memiliki arah dan tujuan yang sama, yaitu pencegahan dan penurunan angka stunting. Kegiatan seperti rembuk stunting, pendataan keluarga berisiko stunting, pemantauan pertumbuhan balita, serta pemicuan kesadaran masyarakat perlu dilakukan secara terintegrasi, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, Aldian mengajak semua pihak di
Kabupaten Gunungkidul, semua lini dan sektor untuk terlibat dalam kerja
konvergensi ini, sesuai dengan kapasitas dan ketugasannya masing-masing.
Tren Prevalensi Stunting di Gunungkidul: Hasil Kerja Bersama yang Belum Boleh Puas
Percepatan penurunan stunting menjadi salah satu
prioritas nasional yang dicanangkan pemerintah dalam upaya membangun sumber
daya manusia unggul menuju Indonesia Emas 2045. Di tingkat daerah, termasuk
Kabupaten Gunungkidul, upaya tersebut direspons dengan berbagai langkah
strategis dan kolaboratif.
Dalam paparan yang disampaikan di forum Rembuk
Stunting tsb, Kepala DPMKPPKB Gunungkidul, Drs Sujarwo, MSi menunjukkan data bahwa
prevalensi stunting di Gunungkidul mengalami fluktuasi dalam enam tahun
terakhir. Pada tahun 2018, angka stunting tercatat sebesar 32,5%. Angka
tersebut menurun signifikan menjadi 23% pada tahun 2019 dan terus menurun
menjadi 20,6% di tahun 2021. Namun, tahun 2022 terjadi kenaikan kembali menjadi
23,5%. Setelah itu, terjadi penurunan menjadi 22,2% di tahun 2023, dan pada
tahun 2024, angka ini kembali menurun ke posisi 19,7%.
Dari tren tersebut, terlihat bahwa Gunungkidul
telah menunjukkan komitmen kuat dalam upaya penurunan stunting. Angka awal di
tahun 2018 menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga balita di wilayah ini
mengalami stunting, sebuah kondisi yang tentu sangat mengkhawatirkan. Penurunan
drastis yang terjadi pada tahun 2019 merupakan sinyal positif bahwa intervensi
yang dilakukan saat itu mulai menunjukkan hasil. Begitu pula pada tahun 2021,
di mana angka stunting sempat mencapai titik rendah 20,6%.
Namun, tantangan masih sangat nyata. Kenaikan angka
di tahun 2022 menjadi 23,5% menunjukkan bahwa penurunan stunting bukanlah
pekerjaan sekali selesai. Banyak faktor dinamis yang mempengaruhi, mulai dari
kondisi sosial ekonomi masyarakat, pandemi yang berdampak pada akses layanan
dasar, hingga keberlangsungan program di lapangan. Penurunan kembali pada tahun-tahun
berikutnya hingga mencapai 19,7% pada tahun 2024 patut diapresiasi, karena
menunjukkan bahwa konsistensi dan perbaikan strategi mulai membuahkan hasil.
Pencapaian ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kerja keras berbagai pihak. Program percepatan penurunan stunting bukan hanya milik sektor kesehatan semata, melainkan menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah pusat melalui Kemendukbangga/BKKBN sebagai koordinator percepatan penurunan stunting telah mengarahkan pendekatan konvergensi lintas sektor, mulai dari penyediaan data keluarga berisiko stunting, pendampingan keluarga, pemberdayaan masyarakat, hingga advokasi dan edukasi yang melibatkan banyak mitra.
Di tingkat daerah (DIY, khususnya), peran
pemerintah kabupaten, kapanewon, dan kalurahan sangat penting dalam
menggerakkan sumber daya lokal. Penguatan peran Tim Percepatan Penurunan
Stunting (TPPS), optimalisasi pendamping keluarga, serta pelaksanaan kegiatan
seperti rembuk stunting, edukasi gizi, dan pemantauan tumbuh kembang anak
menjadi bagian penting dari upaya konvergensi tersebut. Tak kalah penting,
dukungan dari kader TPK (tim pendamping keluarga), tokoh masyarakat, dan
organisasi keagamaan menjadi kekuatan sosial yang tak ternilai dalam
menyampaikan pesan dan mengubah perilaku masyarakat. Dunia usaha dan perguruan
tinggi pun telah turut berkontribusi melalui program CSR, penelitian, dan
pendampingan terhadap program-program yang berjalan di masyarakat.
Namun, meskipun angka stunting di Gunungkidul telah
menunjukkan tren penurunan, capaian 19,7% pada tahun 2024 masih belum memenuhi
target nasional yang ditetapkan, yaitu di bawah 14% pada akhir tahun 2024. Ini
artinya, perjuangan belum selesai. Penurunan memang terjadi, tetapi belum cukup
signifikan untuk mencapai target yang telah ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Kita tidak boleh terlena atau berpuas diri atas capaian ini. Sebaliknya, angka tersebut harus menjadi pengingat bahwa masih ada anak-anak yang tumbuh tidak optimal, masih ada ibu hamil yang kurang energi kronis, dan masih ada keluarga yang belum mendapat dukungan maksimal dalam pengasuhan. Masih ada tugas untuk memastikan setiap anak mendapat akses gizi yang cukup, lingkungan yang bersih, layanan kesehatan yang mudah, serta kasih sayang dan pengasuhan yang baik.
Maka, meski kita patut mengapresiasi tren positif
yang sudah ada, kita juga harus berani jujur bahwa pekerjaan rumah masih
banyak. Capaian 19,7% belum cukup. Kegagalan mencapai target 14% harus menjadi
refleksi untuk memperbaiki strategi dan memperkuat kolaborasi.
GENTING
Konvergensi dalam konteks penanganan stunting
berarti adanya keterpaduan antarprogram, antarinstansi, dan antarpelaku di
semua tingkatan—pusat hingga desa/kalurahan—yang bekerja menuju tujuan yang
sama: menurunkan prevalensi stunting. Pemerintah menyadari bahwa stunting tidak
bisa ditangani dengan pendekatan tunggal atau sektoral. Sebab, faktor
penyebabnya begitu kompleks: mulai dari kurangnya asupan gizi, buruknya
sanitasi, minimnya akses layanan kesehatan, hingga kondisi sosial ekonomi
keluarga.
Dalam skema konvergensi, intervensi spesifik dan
intervensi sensitif perlu digerakkan bersama. Intervensi spesifik seperti
pemberian tablet tambah darah (TTD), imunisasi, pemantauan tumbuh kembang
balita, dan layanan antenatal care adalah tugas sektor kesehatan. Namun, agar
hasilnya maksimal, perlu dukungan intervensi sensitif seperti penyediaan air
bersih, edukasi gizi, peningkatan penghasilan keluarga, dan pendampingan
psikososial. Di sinilah masyarakat, lembaga sosial, dunia usaha, serta tokoh
agama dan adat memiliki peran strategis.
Menurut Sujarwo, dalam semangat tersebut, lahirlah
program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting) yang digagas oleh
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)—yang nota bene didapuk
sebagai leading sektor dalam program percepatan penurunan stunting tingkat
nasional. Program ini diharapkan menjadi salah satu wujud nyata keterlibatan
masyarakat dalam mendukung penanganan stunting secara gotong royong, menyentuh
langsung keluarga-keluarga yang rentan, dan mendorong kesadaran kolektif bahwa
stunting adalah masalah bersama.
Program GENTING hadir sebagai wujud nyata
konvergensi yang melibatkan langsung peran serta masyarakat. Esensi dari
GENTING adalah gerakan orangtua asuh—yakni individu, kelompok, komunitas,
organisasi, atau lembaga yang secara sukarela dan sadar ingin membantu keluarga
berisiko stunting, terutama ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK), anak-anak
balita gizi kurang, dan keluarga dengan keterbatasan ekonomi.
Orangtua asuh dalam program ini tidak mengambil
alih peran orang tua biologis, tetapi menjadi mitra yang mendampingi dan
memperkuat fungsi keluarga dalam memberikan pengasuhan dan pemenuhan gizi anak.
Bantuan yang diberikan bisa dalam bentuk pangan bergizi, akses layanan
kesehatan, pendampingan psikososial, hingga edukasi tentang pengasuhan dan pola
hidup sehat. Intinya, gerakan ini mengangkat nilai solidaritas sosial dalam
penanganan stunting, demikian Sujarwo.
Model Partisipatif
GENTING tidak hanya merupakan program bantuan
sosial biasa. Ia adalah gerakan moral dan sosial yang mempertemukan kepedulian
dengan aksi nyata. Setiap pihak/sektor diajak menjadi bagian dari solusi: dari
ASN, tokoh agama, pelaku usaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi,
hingga masyarakat umum. Mereka bisa berkontribusi sesuai kemampuan, kapasitas dan
posisi masing-masing. Hal ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Panewu Anom
Kapanewon Karangmojo, Handoyo, SIP, SPd, MM, dalam pertemuan pencanangan
GENTING Karangmojo, 14 Mei silam, bahwa, "Tidak semua dari kita bisa menjadi dokter atau hali
gizi, tetapi semua dari kita bisa menjadi orangtua asuh yang hadir memberi
harapan, menyisihkan sedikit rezeki demi masa depan yang lebih cerah. Dengan
menjadi orangtua asuh, kita semua menjadi pelita di tengah gelapnya
kekhawatiran. Setiap paket gizi, setiap kunjungan pendampingan, setiap doa yang
tulus dari kita semua, insya Allah akan mengubah hidup seorang anak.”
Gambar: GENTING di Kapanewon Semin
Program ini sekaligus menjembatani kesenjangan yang
sering kali terjadi antara layanan publik dan kondisi riil masyarakat. Sebab,
tidak semua keluarga berisiko stunting terjangkau oleh program formal
pemerintah. Dengan keberadaan orangtua asuh, ada dukungan tambahan yang
bersifat fleksibel, personal, dan berkelanjutan.
Berbasis Lokal,
Berdaya Tahan Sosial
Salah satu keunggulan GENTING, lanjut Sujarwo dalam
acara Rembuk Stunting tsb, adalah kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang
sesuai konteks lokal. GENTING tidak mengandalkan pendekatan satu arah dari atas
ke bawah (top-down), melainkan mendorong partisipasi dari bawah ke atas.
Publik/masyarakat diberi ruang untuk mengidentifikasi keluarga sasaran,
menentukan bentuk dukungan, serta memantau keberlanjutan program. Pemerintah
desa, tokoh masyarakat, kader kesehatan, dan pendamping keluarga (TPK) menjadi
motor penggerak di tingkat akar rumput.
GENTING juga memperkuat nilai-nilai gotong royong
yang selama ini menjadi kekuatan budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks ini,
gotong royong bukan hanya tentang membantu sesama, tapi juga tentang membangun
ketahanan sosial. Ketika satu keluarga rentan dibantu oleh yang lain (person,
instansi, koporasi), maka masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih kuat dan
resilien terhadap krisis sosial maupun ekonomi.
Bahkan Sujarwo mengandaikan bahwa hubungan antara
donator (orangtua asuh) dengan anak asuh (KRS) tidak sebatas ketika penyerahan
bantuan (donasi), tetapi bisa berlanjut seterusnya. Orangtua asuh bisa tetap
menjalin komunikasi tanpa terbatas waktu dengan KRS, menanyakan kondisi rumah
tangga, kesehatan anggota keluarga, dan sebagainya. Jika dirasa perlu mendapat
bantuan, donator bisa memfasilitasi. Sebab, sangat mungkin masalah yang
dihadapi KRS bersifat jangka panjang dan tidak terbatas pada satu aspek.
Misalnya, suatu KRS mendapat donasi pemenuhan gizi/vitamin (permakanan), tetapi
di sisi lain ybs juga bermasalah dalam hal kepemilikan BPJS, akses air bersih,
atau yang lain. Dalam hal seperti itu, jika memungkinkan donator bisa saja
memberikan bantuan/donasi tambahan, atau bisa juga memfasilitasi bantuan kepada
yang lain, atau dalam bentuk yang lain (tidak harus bersifat tunai, misalnya
dalam bentuk permodalan untuk merilis usaha, dan semacamnya). “Jadi alangkah
baiknya jika orangtua asuh bisa sekali-kali bersilaturahmi ke anak asuh (KRS), baik
untuk sekadar ngaruhke, atau memonitor keadaan dari KRS tsb,” tegas
Sujarwo.
Sasaran Program GENTING
Program GENTING (Gerakan
Orangtua Asuh Cegah Stunting) merupakan inisiatif strategis yang dicanangkan
oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN
dalam upaya mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia. Program ini
lahir dari kesadaran bahwa penanganan stunting tidak bisa hanya bergantung pada
peran pemerintah semata, tetapi memerlukan keterlibatan seluruh elemen
masyarakat dalam suatu gerakan bersama yang terstruktur, terarah, dan
berkelanjutan. GENTING menjadi jembatan antara dua elemen penting: mereka yang
mampu dan ingin membantu (orangtua asuh), dan mereka yang membutuhkan dukungan
(anak asuh dalam keluarga berisiko stunting).
Gambar: GENTING di Kapanewon Gedangsari
1. Orangtua Asuh
Dengan pendekatan partisipatifnya,
GENTING tidak membatasi siapa yang bisa menjadi orangtua asuh. Sebaliknya,
program ini mendorong keterlibatan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dan
kemampuan untuk turut serta mendampingi KRS, antara lain:
1)
Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kapanewon, hingga kalurahan,
menjadi sasaran utama sebagai orangtua asuh. Dalam konteks Gunungkidul, melalui
perangkatnya seperti Dinas Kesehatan, DPMKPPKB, Dinsos, Pemerintah Kalurahan, serta
organisasi perangkat daerah lainnya, Pemkab dapat mengalokasikan program,
sumber daya, bahkan anggaran untuk mendukung intervensi kepada keluarga
berisiko stunting (KRS).
2)
BUMN dan BUMD
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah juga dilibatkan sebagai mitra strategis.
Dengan kekuatan finansial dan jaringan yang mereka miliki, BUMN dan BUMD
diharapkan dapat menjalankan peran orangtua asuh melalui program Corporate
Social Responsibility (CSR), baik dalam bentuk bantuan langsung maupun
dalam penguatan ekonomi keluarga sasaran.
3)
BumDes/BumKal (Badan Usaha Milik Desa/Kalurahan)
Sebagai lembaga
ekonomi desa, BumDes/Bumkal memiliki potensi besar dalam mendukung pengentasan
stunting, misalnya dengan menyediakan paket gizi terjangkau, membuka lapangan
kerja untuk ibu dari keluarga sasaran, atau memfasilitasi program ekonomi
produktif berbasis keluarga.
4)
Individu atau Perorangan
GENTING membuka
kesempatan bagi siapa pun yang ingin berbagi dan peduli. Baik itu tokoh
masyarakat, tokoh agama, pegawai, pensiunan, atau warga biasa, semua bisa
menjadi orangtua asuh sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan tentu saja
sesuai dengan kemampuannya, karena ini sifatnya sukarela.
5)
LSM dan Komunitas
Lembaga Swadaya
Masyarakat dan komunitas lokal maupun nasional menjadi mitra penting dalam
pelaksanaan GENTING. Mereka dapat melakukan pendampingan, edukasi, kampanye
publik, serta memberikan bantuan konkret kepada keluarga sasaran.
6)
Korporasi Swasta
Dunia usaha swasta
juga menjadi pilar penting dalam gerakan ini. Dukungan mereka bisa berupa
bantuan logistik, pemenuhan gizi, sanitasi, edukasi, bahkan pendampingan
psikososial bagi ibu dan anak akan sangat membantu mengentaskan KRS.
7)
Perguruan Tinggi dan Akademisi
Kalangan akademisi
dapat berkontribusi dalam bentuk penelitian, pengembangan model intervensi,
pelatihan kader, serta pendampingan berbasis data dan bukti ilmiah. Mahasiswa
juga bisa dilibatkan melalui kegiatan pengabdian masyarakat.
8)
Media Massa dan Jurnalis
Peran media sangat strategis dalam menyebarluaskan informasi, mengedukasi
masyarakat, dan membangun opini publik yang mendukung gerakan pencegahan
stunting. Media juga dapat mengangkat kisah inspiratif dari para orangtua asuh
maupun anak asuh.
Dengan melibatkan berbagai
kalangan tersebut, program GENTING tidak hanya menjadi program bantuan sosial,
tetapi juga gerakan kebangsaan yang memperkuat solidaritas dan tanggung jawab
kolektif terhadap masa depan generasi bangsa.
2. Sasaran KRS
Di sisi lain, sasaran anak
asuh dalam program GENTING ditujukan secara khusus kepada keluarga yang masuk
dalam kategori risiko stunting (KRS). Pendekatan ini berbasis data dan
selektif, agar bantuan dan pendampingan yang diberikan benar-benar sampai
kepada mereka yang paling membutuhkan. Adapun kelompok sasaran utama anak asuh
dalam program ini, menurut Sujarwo, mencakup 4 sasaran utama sbb:
1)
Ibu Hamil
Ibu hamil, terutama
yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK), menjadi prioritas dalam program
ini. Kebutuhan gizi ibu selama kehamilan sangat penting untuk menjamin
pertumbuhan janin dan mencegah lahirnya bayi dengan berat badan rendah, yang
merupakan salah satu faktor risiko stunting.
2)
Ibu Menyusui
Ibu menyusui, terutama
dalam enam bulan pertama pascamelahirkan, juga menjadi fokus. Mereka
membutuhkan dukungan untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan pemberian ASI
eksklusif, serta pemenuhan kebutuhan gizi bagi dirinya dan bayinya.
3)
Bayi Usia 0–23 Bulan (Baduta)
Masa 0–23 bulan
dikenal sebagai periode emas pertumbuhan anak. Pada fase ini, pertumbuhan otak
dan fisik terjadi sangat cepat. Intervensi gizi, stimulasi, dan sanitasi yang
baik dalam masa ini akan sangat menentukan masa depan anak.
4)
Balita Usia 0–59 Bulan (Balita)
Selain fokus pada baduta,
program ini juga mencakup anak balita hingga usia lima tahun (balita).
Anak-anak dalam kelompok ini yang mengalami hambatan pertumbuhan masih memiliki
peluang untuk diperbaiki status gizinya jika mendapat pendampingan intensif dan
berkelanjutan.
Indikator Keluarga Risiko Stunting (KRS) dalam
Program GENTING
Selanjutnya, dari 4 sasaran di atas, identifikasi atas
keluarga risiko stunting (KRS) dilakukan berdasarkan sejumlah indikator yang
konkret dan terukur. Ada empat indikator utama yang menjadi rujukan untuk
menentukan apakah sebuah keluarga masuk dalam kategori KRS atau tidak. Keempat
indikator ini tidak hanya mencerminkan kondisi kesehatan fisik rumah tangga,
tetapi juga mencerminkan risiko jangka panjang yang dapat memengaruhi tumbuh
kembang anak, terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). 4
indikator tsb yakni:
1. Akses terhadap
Air Bersih
Akses terhadap air bersih menjadi indikator pertama
dalam menentukan status risiko stunting suatu keluarga. Air bersih merupakan
kebutuhan dasar yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Tanpa
ketersediaan air bersih, keluarga akan lebih rentan terhadap penyakit diare, infeksi
saluran pencernaan, dan gangguan kulit, yang semuanya bisa berdampak pada
status gizi anak.
Air yang digunakan untuk minum, memasak, dan
mencuci harus memenuhi standar kesehatan. Dalam banyak kasus, keluarga yang
tidak memiliki akses air bersih mengandalkan sumber yang tidak terlindungi
seperti sungai atau sumur terbuka, yang rentan terkontaminasi. Anak-anak yang
sering terpapar penyakit akibat sanitasi buruk memiliki risiko lebih tinggi
mengalami gizi buruk dan, pada akhirnya, stunting.
2. Kepemilikan
Jamban Sehat
Indikator kedua adalah kepemilikan jamban sehat
atau toilet yang memenuhi syarat sanitasi. Jamban sehat merupakan fasilitas
yang memungkinkan pembuangan tinja secara higienis sehingga tidak mencemari
lingkungan sekitar. Masih banyak keluarga di daerah pedesaan atau kantong
kemiskinan yang tidak memiliki jamban sehat dan terpaksa melakukan buang air
besar sembarangan (BABS).
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada pencemaran
lingkungan, tetapi juga menjadi sumber penyebaran penyakit infeksi, terutama
pada balita. Penelitian menunjukkan bahwa praktik BABS berkorelasi kuat dengan
tingginya angka stunting, karena penyakit yang ditularkan melalui sanitasi
buruk akan mengganggu penyerapan nutrisi pada tubuh anak. Oleh karena itu,
keberadaan jamban sehat dalam rumah tangga menjadi syarat penting dalam
menentukan tingkat risiko stunting.
3. Terhindar dari
Empat Terlalu (4T)
Konsep "4 Terlalu" merupakan indikator
ketiga dalam mengidentifikasi KRS, yaitu kondisi reproduksi yang berisiko
terhadap kesehatan ibu dan anak. Empat Terlalu ini meliputi:
1)
Terlalu muda: Kehamilan pada usia kurang dari 21
tahun. Pada usia ini, kondisi tubuh perempuan belum sepenuhnya siap untuk
kehamilan, sehingga lebih rentan mengalami komplikasi dan melahirkan anak
dengan berat badan rendah.
2)
Terlalu tua: Kehamilan di atas usia 35 tahun
meningkatkan risiko komplikasi saat persalinan dan risiko kelainan pada janin.
3)
Terlalu sering: Jarak kelahiran yang terlalu dekat
(kurang dari 3 tahun) tidak memberikan waktu yang cukup bagi ibu untuk
memulihkan kondisi tubuh dan memberikan ASI secara optimal.
4)
Terlalu banyak: Jumlah anak lebih dari dua dapat
mengurangi kualitas pengasuhan dan pemberian gizi, terutama jika kondisi
ekonomi keluarga terbatas.
Keluarga yang tidak terhindar dari satu atau lebih
dari 4T ini dikategorikan sebagai memiliki risiko stunting yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, indikator ini menjadi penting dalam pemetaan intervensi
program GENTING.
4. Kesertaan dalam
Kontrasepsi Modern
Indikator keempat adalah kesertaan dalam program
Keluarga Berencana (KB) melalui penggunaan alat kontrasepsi modern. Penggunaan
kontrasepsi berperan penting dalam menjaga kesehatan ibu, merencanakan
kehamilan yang sehat, serta mengatur jarak kelahiran anak. Keikutsertaan dalam
KB juga menunjukkan bahwa keluarga memiliki kesadaran dalam mengelola
reproduksi secara bertanggung jawab.
Keluarga yang tidak menggunakan kontrasepsi modern
berpotensi menghadapi kehamilan tidak direncanakan, yang dapat berujung pada
risiko 4T atau membebani kondisi sosial-ekonomi keluarga. Dalam jangka panjang,
ketidaksiapan fisik dan mental orang tua akan berdampak langsung pada kualitas
pengasuhan dan pemenuhan gizi anak. Kontrasepsi modern yakni: IUD, implan
KB, suntik KB, pil KB, kondom, vasektomi, dan tubektomi.
Keempat indikator di atas tidak hanya berfungsi
sebagai alat ukur risiko stunting, tetapi juga menjadi acuan untuk menentukan
bentuk dan intensitas intervensi yang diperlukan. Dalam konteks program
GENTING, informasi ini digunakan untuk menghubungkan keluarga yang paling
membutuhkan bantuan dengan orangtua asuh yang siap mendukung—baik dalam bentuk
pangan bergizi, pendampingan edukasi, maupun akses layanan dasar.
Pemetaan berdasarkan indikator yang jelas dan
terukur akan menjadikan GENTING dapat berjalan secara efisien dan tepat sasaran,
selain supaya intervensi tidak hanya bersifat karitatif sesaat, tetapi harus mampu mengubah kondisi keluarga secara
struktural dan berkelanjutan.
Empat Kapanewon Sudah Memulai
Program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah
Stunting) mulai menunjukkan geliat pelaksanaannya di Kabupaten Gunungkidul.
Dari total 18 kapanewon yang ada, saat ini baru 4 kapanewon yang telah memulai
langkah konkret dengan mengimplementasikan program GENTING melalui berbagai
bentuk intervensi kepada keluarga risiko stunting (KRS). Meskipun jumlahnya
belum menyeluruh, namun keempat kapanewon ini telah menjadi contoh inspiratif
bagaimana kepedulian masyarakat, sektor swasta, dan instansi pemerintah dapat
berkolaborasi untuk mengatasi masalah stunting secara konvergen.
1. Kapanewon Semin:
Babonisasi Berbasis Komunitas
Kapanewon Semin menjadi salah satu pionir
pelaksanaan program GENTING di Gunungkidul. Di wilayah ini, intervensi telah
menyasar 80 KRS, yang terdiri dari balita dan ibu hamil. Jenis intervensi yang
dilakukan adalah babonisasi, yakni pemberian beberapa ekor ayam betina
(babon) kepada keluarga sasaran untuk dipelihara. Telur dari ayam tersebut
dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani bagi ibu hamil dan balita dalam
keluarga tersebut.
Yang menarik, pendanaan program di Semin sepenuhnya
berasal dari kelompok masyarakat lokal, yaitu Ikatan Persaudaraan Cinta Tanah
Air Indonesia (IPCTAI) wilayah Semin. Ini menjadi contoh nyata bagaimana
komunitas bisa menjadi motor penggerak utama dalam program sosial berbasis
kepedulian, tanpa harus selalu menunggu intervensi dari pemerintah pusat atau
daerah.
2. Kapanewon
Gedangsari: Ayam Petelur untuk Gizi Harian
Di Kapanewon Gedangsari, intervensi GENTING
menyasar 30 keluarga risiko stunting, terdiri dari balita dan ibu hamil. Jenis
intervensinya mirip dengan di Semin, yakni pemberian ayam petelur yang setiap
hari menghasilkan telur untuk dikonsumsi langsung oleh anak atau ibu hamil
penerima manfaat. Model ini memberikan efek berkelanjutan karena asupan protein
bisa terus tersedia selama ayam dipelihara dengan baik.
Pendanaan program di Gedangsari berasal dari donatur
individu, yakni seorang pengusaha lokal bernama Bapak Suronto, yang secara
pribadi menunjukkan kepeduliannya terhadap masa depan anak-anak di wilayahnya.
3. Kapanewon
Girisubo: Kolaborasi Lintas Sektor
Pelaksanaan program GENTING di Kapanewon Girisubo mencakup
sasaran yang lebih luas, yakni 106 keluarga yang terdiri dari ibu hamil, ibu
nifas, baduta (bayi usia 0–23 bulan), dan balita (usia 24–59 bulan). Program
ini didukung oleh sinergi luar biasa dari berbagai pihak: 33 orang donatur
individu, instansi formal, instansi swasta, dan elemen lintas sektor di seluruh
wilayah Girisubo.
Intervensi yang dilakukan disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing keluarga sasaran, dengan prinsip konvergensi lintas
sektor yang mengedepankan kolaborasi dan keberlanjutan.
4. Kapanewon
Karangmojo: Jambanisasi hingga Akses Air Bersih
Kapanewon Karangmojo juga telah melaksanakan
program GENTING dengan menyasar 33 keluarga risiko stunting. Intervensi yang
diberikan sangat komprehensif, meliputi:
- Jambanisasi, atau pembangunan jamban sehat
- Lantainisasi, yaitu pembuatan lantai pada rumah tangga kurang layak
huni
- Fasilitasi akses air bersih
- Babonisasi, seperti di Semin dan Gedangsari
Pendanaan berasal dari berbagai sumber, antara lain
individu, kelompok masyarakat, dan BUMD yang beroperasi di wilayah Karangmojo.
Pendekatan multipihak seperti ini menegaskan bahwa program GENTING dapat
menjadi wadah gotong royong yang fleksibel namun efektif.
Empat kapanewon yang telah memulai pelaksanaan
GENTING telah memberikan gambaran bahwa keberhasilan program ini tidak harus
selalu bergantung pada dukungan besar dari luar. Dengan kemauan, kepedulian,
dan kerja sama lintas sektor, program bisa berjalan secara mandiri dan berkelanjutan.
Untuk itu, diharapkan 14 kapanewon lainnya di Gunungkidul dapat segera menyusul,
mengadopsi praktik baik dari kapanewon yang sudah berjalan, sekaligus
mengembangkan inovasi sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal masing-masing.
GENTING bukan sekadar program bantuan, tapi gerakan
kebersamaan untuk melindungi generasi masa depan dari ancaman stunting. Karena
stunting bukan hanya soal tubuh yang pendek, tetapi tentang terhambatnya
potensi manusia. Dengan bergerak bersama, Gunungkidul bisa menjadi contoh
sukses konvergensi stunting berbasis komunitas yang menginspirasi daerah lain
di Indonesia.(*)
0 Comments