GENTING, Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting; Model Partisipatif Berbasis Semangat Gotong Royong

Oleh: Sabrur Rohim, SAg, MSI (PKB Girisubo, pemred Cahaya Keluarga)

 

Mukadimah

RPJMD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah yang disusun untuk periode 5 tahun, sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah terpilih. RPJMD berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) dan juga memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). 

Salah satu butir RPJMD Kabupaten Gunungkidul untuk periode 2025-2029 adalah (2) Memastikan akses kesehatan untuk rakyat guna menciptakan manusia yang sehat jasmani dan rohani, dengan tujuan daerah (2.1) Terwujudnya peningkat kualitas kesehatan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sasaran daerahnya adalah (2.1.1) terwujudnya peningkatan sistem dan layanan kesehatan secara menyeluruh dan (2.1.2) terwujudnya masyarakat yang sejahtera, sementara salah satu indikatornya adalah (4.) prevalensi Stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita. (Prevalensi stunting adalah persentase jumlah anak balita yang mengalami stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak berada di bawah standar yang ditetapkan untuk usianya. Singkatnya, prevalensi stunting menunjukkan seberapa banyak anak balita dalam suatu populasi yang mengalami masalah pertumbuhan karena kekurangan gizi. – Red).

Demikian sebagian paparan yang disampaikan oleh Kepala Bappeda Gunungkidul, Mohamad Arif Aldian, SIP, MSi, dalam acara Rembuk Stunting Tingkat Kabupaten Gunungkidul yang diselenggarakan di Grha BMT Ummat, Wonosari, Selasa (27/5).

Lebih lanjut Aldian menyampaikan bahwa target prevalensi stunting di Gunungkidul adalah di kisaran 15.33% - 11.05%, sementara posisi sekarang (tahun 2025) di kisaran 19,7%.

 

Konvergensi

Stunting bukan sekadar permasalahan kurang gizi atau kesehatan semata, melainkan potret kompleks dari ketimpangan yang terjadi dalam siklus kehidupan. Dalam jangka panjang, stunting berdampak serius terhadap kecerdasan, produktivitas, dan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, sambung Aldian, penanganannya tidak bisa diserahkan hanya kepada satu sektor saja. Diperlukan pendekatan konvergensi, yaitu sinergi lintas sektor dan kolaborasi berbagai pihak untuk menanggulangi stunting secara komprehensif.

Konvergensi dalam konteks penanganan stunting berarti menyatukan berbagai intervensi spesifik dan sensitif, dari level kabupaten hingga ke tingkat desa/kalurahan dan keluarga. Intervensi spesifik, seperti pemberian makanan tambahan, imunisasi, dan layanan kesehatan ibu-anak, memang menjadi domain sektor kesehatan. Namun, intervensi sensitif yang berpengaruh lebih besar dalam jangka panjang—seperti penyediaan air bersih, sanitasi layak, rumah tangga layak huni (RTLH), edukasi/KIE gizi, kepemilikan asuransi kesehatan (BPJS), hingga pemberdayaan ekonomi keluarga—memerlukan keterlibatan aktif sektor lain. Di sinilah peran penting kementerian/lembaga non-kesehatan, pemerintah daerah, dunia pendidikan, organisasi masyarakat, tokoh agama, media, swasta, hingga keluarga.

Konvergensi juga menuntut peran koordinasi yang kuat dari pemerintah daerah, khususnya di tingkat kabupaten dan desa/kalurahan, sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa seluruh program dan kegiatan dari berbagai sektor memiliki arah dan tujuan yang sama, yaitu pencegahan dan penurunan angka stunting. Kegiatan seperti rembuk stunting, pendataan keluarga berisiko stunting, pemantauan pertumbuhan balita, serta pemicuan kesadaran masyarakat perlu dilakukan secara terintegrasi, tidak berjalan sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, Aldian mengajak semua pihak di Kabupaten Gunungkidul, semua lini dan sektor untuk terlibat dalam kerja konvergensi ini, sesuai dengan kapasitas dan ketugasannya masing-masing.




Tren Prevalensi Stunting di Gunungkidul: Hasil Kerja Bersama yang Belum Boleh Puas

Percepatan penurunan stunting menjadi salah satu prioritas nasional yang dicanangkan pemerintah dalam upaya membangun sumber daya manusia unggul menuju Indonesia Emas 2045. Di tingkat daerah, termasuk Kabupaten Gunungkidul, upaya tersebut direspons dengan berbagai langkah strategis dan kolaboratif.

Dalam paparan yang disampaikan di forum Rembuk Stunting tsb, Kepala DPMKPPKB Gunungkidul, Drs Sujarwo, MSi menunjukkan data bahwa prevalensi stunting di Gunungkidul mengalami fluktuasi dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2018, angka stunting tercatat sebesar 32,5%. Angka tersebut menurun signifikan menjadi 23% pada tahun 2019 dan terus menurun menjadi 20,6% di tahun 2021. Namun, tahun 2022 terjadi kenaikan kembali menjadi 23,5%. Setelah itu, terjadi penurunan menjadi 22,2% di tahun 2023, dan pada tahun 2024, angka ini kembali menurun ke posisi 19,7%.

Dari tren tersebut, terlihat bahwa Gunungkidul telah menunjukkan komitmen kuat dalam upaya penurunan stunting. Angka awal di tahun 2018 menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga balita di wilayah ini mengalami stunting, sebuah kondisi yang tentu sangat mengkhawatirkan. Penurunan drastis yang terjadi pada tahun 2019 merupakan sinyal positif bahwa intervensi yang dilakukan saat itu mulai menunjukkan hasil. Begitu pula pada tahun 2021, di mana angka stunting sempat mencapai titik rendah 20,6%.

Namun, tantangan masih sangat nyata. Kenaikan angka di tahun 2022 menjadi 23,5% menunjukkan bahwa penurunan stunting bukanlah pekerjaan sekali selesai. Banyak faktor dinamis yang mempengaruhi, mulai dari kondisi sosial ekonomi masyarakat, pandemi yang berdampak pada akses layanan dasar, hingga keberlangsungan program di lapangan. Penurunan kembali pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai 19,7% pada tahun 2024 patut diapresiasi, karena menunjukkan bahwa konsistensi dan perbaikan strategi mulai membuahkan hasil.

Pencapaian ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kerja keras berbagai pihak. Program percepatan penurunan stunting bukan hanya milik sektor kesehatan semata, melainkan menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah pusat melalui Kemendukbangga/BKKBN sebagai koordinator percepatan penurunan stunting telah mengarahkan pendekatan konvergensi lintas sektor, mulai dari penyediaan data keluarga berisiko stunting, pendampingan keluarga, pemberdayaan masyarakat, hingga advokasi dan edukasi yang melibatkan banyak mitra.

Di tingkat daerah (DIY, khususnya), peran pemerintah kabupaten, kapanewon, dan kalurahan sangat penting dalam menggerakkan sumber daya lokal. Penguatan peran Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), optimalisasi pendamping keluarga, serta pelaksanaan kegiatan seperti rembuk stunting, edukasi gizi, dan pemantauan tumbuh kembang anak menjadi bagian penting dari upaya konvergensi tersebut. Tak kalah penting, dukungan dari kader TPK (tim pendamping keluarga), tokoh masyarakat, dan organisasi keagamaan menjadi kekuatan sosial yang tak ternilai dalam menyampaikan pesan dan mengubah perilaku masyarakat. Dunia usaha dan perguruan tinggi pun telah turut berkontribusi melalui program CSR, penelitian, dan pendampingan terhadap program-program yang berjalan di masyarakat.

Namun, meskipun angka stunting di Gunungkidul telah menunjukkan tren penurunan, capaian 19,7% pada tahun 2024 masih belum memenuhi target nasional yang ditetapkan, yaitu di bawah 14% pada akhir tahun 2024. Ini artinya, perjuangan belum selesai. Penurunan memang terjadi, tetapi belum cukup signifikan untuk mencapai target yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Kita tidak boleh terlena atau berpuas diri atas capaian ini. Sebaliknya, angka tersebut harus menjadi pengingat bahwa masih ada anak-anak yang tumbuh tidak optimal, masih ada ibu hamil yang kurang energi kronis, dan masih ada keluarga yang belum mendapat dukungan maksimal dalam pengasuhan. Masih ada tugas untuk memastikan setiap anak mendapat akses gizi yang cukup, lingkungan yang bersih, layanan kesehatan yang mudah, serta kasih sayang dan pengasuhan yang baik.

Maka, meski kita patut mengapresiasi tren positif yang sudah ada, kita juga harus berani jujur bahwa pekerjaan rumah masih banyak. Capaian 19,7% belum cukup. Kegagalan mencapai target 14% harus menjadi refleksi untuk memperbaiki strategi dan memperkuat kolaborasi.

 

GENTING

Konvergensi dalam konteks penanganan stunting berarti adanya keterpaduan antarprogram, antarinstansi, dan antarpelaku di semua tingkatan—pusat hingga desa/kalurahan—yang bekerja menuju tujuan yang sama: menurunkan prevalensi stunting. Pemerintah menyadari bahwa stunting tidak bisa ditangani dengan pendekatan tunggal atau sektoral. Sebab, faktor penyebabnya begitu kompleks: mulai dari kurangnya asupan gizi, buruknya sanitasi, minimnya akses layanan kesehatan, hingga kondisi sosial ekonomi keluarga.

Dalam skema konvergensi, intervensi spesifik dan intervensi sensitif perlu digerakkan bersama. Intervensi spesifik seperti pemberian tablet tambah darah (TTD), imunisasi, pemantauan tumbuh kembang balita, dan layanan antenatal care adalah tugas sektor kesehatan. Namun, agar hasilnya maksimal, perlu dukungan intervensi sensitif seperti penyediaan air bersih, edukasi gizi, peningkatan penghasilan keluarga, dan pendampingan psikososial. Di sinilah masyarakat, lembaga sosial, dunia usaha, serta tokoh agama dan adat memiliki peran strategis.

Menurut Sujarwo, dalam semangat tersebut, lahirlah program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting) yang digagas oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)—yang nota bene didapuk sebagai leading sektor dalam program percepatan penurunan stunting tingkat nasional. Program ini diharapkan menjadi salah satu wujud nyata keterlibatan masyarakat dalam mendukung penanganan stunting secara gotong royong, menyentuh langsung keluarga-keluarga yang rentan, dan mendorong kesadaran kolektif bahwa stunting adalah masalah bersama.

Program GENTING hadir sebagai wujud nyata konvergensi yang melibatkan langsung peran serta masyarakat. Esensi dari GENTING adalah gerakan orangtua asuh—yakni individu, kelompok, komunitas, organisasi, atau lembaga yang secara sukarela dan sadar ingin membantu keluarga berisiko stunting, terutama ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK), anak-anak balita gizi kurang, dan keluarga dengan keterbatasan ekonomi.

Orangtua asuh dalam program ini tidak mengambil alih peran orang tua biologis, tetapi menjadi mitra yang mendampingi dan memperkuat fungsi keluarga dalam memberikan pengasuhan dan pemenuhan gizi anak. Bantuan yang diberikan bisa dalam bentuk pangan bergizi, akses layanan kesehatan, pendampingan psikososial, hingga edukasi tentang pengasuhan dan pola hidup sehat. Intinya, gerakan ini mengangkat nilai solidaritas sosial dalam penanganan stunting, demikian Sujarwo.

 

Model Partisipatif

GENTING tidak hanya merupakan program bantuan sosial biasa. Ia adalah gerakan moral dan sosial yang mempertemukan kepedulian dengan aksi nyata. Setiap pihak/sektor diajak menjadi bagian dari solusi: dari ASN, tokoh agama, pelaku usaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, hingga masyarakat umum. Mereka bisa berkontribusi sesuai kemampuan, kapasitas dan posisi masing-masing. Hal ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Panewu Anom Kapanewon Karangmojo, Handoyo, SIP, SPd, MM, dalam pertemuan pencanangan GENTING Karangmojo, 14 Mei silam, bahwa, "Tidak semua dari kita bisa menjadi dokter atau hali gizi, tetapi semua dari kita bisa menjadi orangtua asuh yang hadir memberi harapan, menyisihkan sedikit rezeki demi masa depan yang lebih cerah. Dengan menjadi orangtua asuh, kita semua menjadi pelita di tengah gelapnya kekhawatiran. Setiap paket gizi, setiap kunjungan pendampingan, setiap doa yang tulus dari kita semua, insya Allah akan mengubah hidup seorang anak.” 

Gambar: GENTING di Kapanewon Semin

Program ini sekaligus menjembatani kesenjangan yang sering kali terjadi antara layanan publik dan kondisi riil masyarakat. Sebab, tidak semua keluarga berisiko stunting terjangkau oleh program formal pemerintah. Dengan keberadaan orangtua asuh, ada dukungan tambahan yang bersifat fleksibel, personal, dan berkelanjutan.

 

Berbasis Lokal, Berdaya Tahan Sosial

Salah satu keunggulan GENTING, lanjut Sujarwo dalam acara Rembuk Stunting tsb, adalah kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang sesuai konteks lokal. GENTING tidak mengandalkan pendekatan satu arah dari atas ke bawah (top-down), melainkan mendorong partisipasi dari bawah ke atas. Publik/masyarakat diberi ruang untuk mengidentifikasi keluarga sasaran, menentukan bentuk dukungan, serta memantau keberlanjutan program. Pemerintah desa, tokoh masyarakat, kader kesehatan, dan pendamping keluarga (TPK) menjadi motor penggerak di tingkat akar rumput.

GENTING juga memperkuat nilai-nilai gotong royong yang selama ini menjadi kekuatan budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, gotong royong bukan hanya tentang membantu sesama, tapi juga tentang membangun ketahanan sosial. Ketika satu keluarga rentan dibantu oleh yang lain (person, instansi, koporasi), maka masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih kuat dan resilien terhadap krisis sosial maupun ekonomi.

Bahkan Sujarwo mengandaikan bahwa hubungan antara donator (orangtua asuh) dengan anak asuh (KRS) tidak sebatas ketika penyerahan bantuan (donasi), tetapi bisa berlanjut seterusnya. Orangtua asuh bisa tetap menjalin komunikasi tanpa terbatas waktu dengan KRS, menanyakan kondisi rumah tangga, kesehatan anggota keluarga, dan sebagainya. Jika dirasa perlu mendapat bantuan, donator bisa memfasilitasi. Sebab, sangat mungkin masalah yang dihadapi KRS bersifat jangka panjang dan tidak terbatas pada satu aspek. Misalnya, suatu KRS mendapat donasi pemenuhan gizi/vitamin (permakanan), tetapi di sisi lain ybs juga bermasalah dalam hal kepemilikan BPJS, akses air bersih, atau yang lain. Dalam hal seperti itu, jika memungkinkan donator bisa saja memberikan bantuan/donasi tambahan, atau bisa juga memfasilitasi bantuan kepada yang lain, atau dalam bentuk yang lain (tidak harus bersifat tunai, misalnya dalam bentuk permodalan untuk merilis usaha, dan semacamnya). “Jadi alangkah baiknya jika orangtua asuh bisa sekali-kali bersilaturahmi ke anak asuh (KRS), baik untuk sekadar ngaruhke, atau memonitor keadaan dari KRS tsb,” tegas Sujarwo.

 

Sasaran Program GENTING

Program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting) merupakan inisiatif strategis yang dicanangkan oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN dalam upaya mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia. Program ini lahir dari kesadaran bahwa penanganan stunting tidak bisa hanya bergantung pada peran pemerintah semata, tetapi memerlukan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam suatu gerakan bersama yang terstruktur, terarah, dan berkelanjutan. GENTING menjadi jembatan antara dua elemen penting: mereka yang mampu dan ingin membantu (orangtua asuh), dan mereka yang membutuhkan dukungan (anak asuh dalam keluarga berisiko stunting).

Gambar: GENTING di Kapanewon Gedangsari


1. Orangtua Asuh

Dengan pendekatan partisipatifnya, GENTING tidak membatasi siapa yang bisa menjadi orangtua asuh. Sebaliknya, program ini mendorong keterlibatan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dan kemampuan untuk turut serta mendampingi KRS, antara lain:

1)      Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kapanewon, hingga kalurahan, menjadi sasaran utama sebagai orangtua asuh. Dalam konteks Gunungkidul, melalui perangkatnya seperti Dinas Kesehatan, DPMKPPKB, Dinsos, Pemerintah Kalurahan, serta organisasi perangkat daerah lainnya, Pemkab dapat mengalokasikan program, sumber daya, bahkan anggaran untuk mendukung intervensi kepada keluarga berisiko stunting (KRS).

2)      BUMN dan BUMD
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah juga dilibatkan sebagai mitra strategis. Dengan kekuatan finansial dan jaringan yang mereka miliki, BUMN dan BUMD diharapkan dapat menjalankan peran orangtua asuh melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), baik dalam bentuk bantuan langsung maupun dalam penguatan ekonomi keluarga sasaran.

3)      BumDes/BumKal (Badan Usaha Milik Desa/Kalurahan)
Sebagai lembaga ekonomi desa, BumDes/Bumkal memiliki potensi besar dalam mendukung pengentasan stunting, misalnya dengan menyediakan paket gizi terjangkau, membuka lapangan kerja untuk ibu dari keluarga sasaran, atau memfasilitasi program ekonomi produktif berbasis keluarga.

4)      Individu atau Perorangan
GENTING membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berbagi dan peduli. Baik itu tokoh masyarakat, tokoh agama, pegawai, pensiunan, atau warga biasa, semua bisa menjadi orangtua asuh sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan tentu saja sesuai dengan kemampuannya, karena ini sifatnya sukarela.

5)      LSM dan Komunitas
Lembaga Swadaya Masyarakat dan komunitas lokal maupun nasional menjadi mitra penting dalam pelaksanaan GENTING. Mereka dapat melakukan pendampingan, edukasi, kampanye publik, serta memberikan bantuan konkret kepada keluarga sasaran.

6)      Korporasi Swasta
Dunia usaha swasta juga menjadi pilar penting dalam gerakan ini. Dukungan mereka bisa berupa bantuan logistik, pemenuhan gizi, sanitasi, edukasi, bahkan pendampingan psikososial bagi ibu dan anak akan sangat membantu mengentaskan KRS.

7)      Perguruan Tinggi dan Akademisi
Kalangan akademisi dapat berkontribusi dalam bentuk penelitian, pengembangan model intervensi, pelatihan kader, serta pendampingan berbasis data dan bukti ilmiah. Mahasiswa juga bisa dilibatkan melalui kegiatan pengabdian masyarakat.

8)      Media Massa dan Jurnalis
Peran media sangat strategis dalam menyebarluaskan informasi, mengedukasi masyarakat, dan membangun opini publik yang mendukung gerakan pencegahan stunting. Media juga dapat mengangkat kisah inspiratif dari para orangtua asuh maupun anak asuh.

Dengan melibatkan berbagai kalangan tersebut, program GENTING tidak hanya menjadi program bantuan sosial, tetapi juga gerakan kebangsaan yang memperkuat solidaritas dan tanggung jawab kolektif terhadap masa depan generasi bangsa.

 

2. Sasaran KRS

Di sisi lain, sasaran anak asuh dalam program GENTING ditujukan secara khusus kepada keluarga yang masuk dalam kategori risiko stunting (KRS). Pendekatan ini berbasis data dan selektif, agar bantuan dan pendampingan yang diberikan benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan. Adapun kelompok sasaran utama anak asuh dalam program ini, menurut Sujarwo, mencakup 4 sasaran utama sbb:

1)      Ibu Hamil
Ibu hamil, terutama yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK), menjadi prioritas dalam program ini. Kebutuhan gizi ibu selama kehamilan sangat penting untuk menjamin pertumbuhan janin dan mencegah lahirnya bayi dengan berat badan rendah, yang merupakan salah satu faktor risiko stunting.

2)      Ibu Menyusui
Ibu menyusui, terutama dalam enam bulan pertama pascamelahirkan, juga menjadi fokus. Mereka membutuhkan dukungan untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan pemberian ASI eksklusif, serta pemenuhan kebutuhan gizi bagi dirinya dan bayinya.

3)      Bayi Usia 0–23 Bulan (Baduta)
Masa 0–23 bulan dikenal sebagai periode emas pertumbuhan anak. Pada fase ini, pertumbuhan otak dan fisik terjadi sangat cepat. Intervensi gizi, stimulasi, dan sanitasi yang baik dalam masa ini akan sangat menentukan masa depan anak.

4)      Balita Usia 0–59 Bulan (Balita)
Selain fokus pada baduta, program ini juga mencakup anak balita hingga usia lima tahun (balita). Anak-anak dalam kelompok ini yang mengalami hambatan pertumbuhan masih memiliki peluang untuk diperbaiki status gizinya jika mendapat pendampingan intensif dan berkelanjutan.

 

 Gambar: GENTING di Kapanewon Girisubo

Indikator Keluarga Risiko Stunting (KRS) dalam Program GENTING

Selanjutnya, dari 4 sasaran di atas, identifikasi atas keluarga risiko stunting (KRS) dilakukan berdasarkan sejumlah indikator yang konkret dan terukur. Ada empat indikator utama yang menjadi rujukan untuk menentukan apakah sebuah keluarga masuk dalam kategori KRS atau tidak. Keempat indikator ini tidak hanya mencerminkan kondisi kesehatan fisik rumah tangga, tetapi juga mencerminkan risiko jangka panjang yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak, terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). 4 indikator tsb yakni:

1. Akses terhadap Air Bersih

Akses terhadap air bersih menjadi indikator pertama dalam menentukan status risiko stunting suatu keluarga. Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Tanpa ketersediaan air bersih, keluarga akan lebih rentan terhadap penyakit diare, infeksi saluran pencernaan, dan gangguan kulit, yang semuanya bisa berdampak pada status gizi anak.

Air yang digunakan untuk minum, memasak, dan mencuci harus memenuhi standar kesehatan. Dalam banyak kasus, keluarga yang tidak memiliki akses air bersih mengandalkan sumber yang tidak terlindungi seperti sungai atau sumur terbuka, yang rentan terkontaminasi. Anak-anak yang sering terpapar penyakit akibat sanitasi buruk memiliki risiko lebih tinggi mengalami gizi buruk dan, pada akhirnya, stunting.

2. Kepemilikan Jamban Sehat

Indikator kedua adalah kepemilikan jamban sehat atau toilet yang memenuhi syarat sanitasi. Jamban sehat merupakan fasilitas yang memungkinkan pembuangan tinja secara higienis sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar. Masih banyak keluarga di daerah pedesaan atau kantong kemiskinan yang tidak memiliki jamban sehat dan terpaksa melakukan buang air besar sembarangan (BABS).

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada pencemaran lingkungan, tetapi juga menjadi sumber penyebaran penyakit infeksi, terutama pada balita. Penelitian menunjukkan bahwa praktik BABS berkorelasi kuat dengan tingginya angka stunting, karena penyakit yang ditularkan melalui sanitasi buruk akan mengganggu penyerapan nutrisi pada tubuh anak. Oleh karena itu, keberadaan jamban sehat dalam rumah tangga menjadi syarat penting dalam menentukan tingkat risiko stunting.

3. Terhindar dari Empat Terlalu (4T)

Konsep "4 Terlalu" merupakan indikator ketiga dalam mengidentifikasi KRS, yaitu kondisi reproduksi yang berisiko terhadap kesehatan ibu dan anak. Empat Terlalu ini meliputi:

1)       Terlalu muda: Kehamilan pada usia kurang dari 21 tahun. Pada usia ini, kondisi tubuh perempuan belum sepenuhnya siap untuk kehamilan, sehingga lebih rentan mengalami komplikasi dan melahirkan anak dengan berat badan rendah.

2)       Terlalu tua: Kehamilan di atas usia 35 tahun meningkatkan risiko komplikasi saat persalinan dan risiko kelainan pada janin.

3)       Terlalu sering: Jarak kelahiran yang terlalu dekat (kurang dari 3 tahun) tidak memberikan waktu yang cukup bagi ibu untuk memulihkan kondisi tubuh dan memberikan ASI secara optimal.

4)       Terlalu banyak: Jumlah anak lebih dari dua dapat mengurangi kualitas pengasuhan dan pemberian gizi, terutama jika kondisi ekonomi keluarga terbatas.

Keluarga yang tidak terhindar dari satu atau lebih dari 4T ini dikategorikan sebagai memiliki risiko stunting yang lebih tinggi. Oleh karena itu, indikator ini menjadi penting dalam pemetaan intervensi program GENTING.

4. Kesertaan dalam Kontrasepsi Modern

Indikator keempat adalah kesertaan dalam program Keluarga Berencana (KB) melalui penggunaan alat kontrasepsi modern. Penggunaan kontrasepsi berperan penting dalam menjaga kesehatan ibu, merencanakan kehamilan yang sehat, serta mengatur jarak kelahiran anak. Keikutsertaan dalam KB juga menunjukkan bahwa keluarga memiliki kesadaran dalam mengelola reproduksi secara bertanggung jawab.

Keluarga yang tidak menggunakan kontrasepsi modern berpotensi menghadapi kehamilan tidak direncanakan, yang dapat berujung pada risiko 4T atau membebani kondisi sosial-ekonomi keluarga. Dalam jangka panjang, ketidaksiapan fisik dan mental orang tua akan berdampak langsung pada kualitas pengasuhan dan pemenuhan gizi anak. Kontrasepsi modern yakni: IUD, implan KB, suntik KB, pil KB, kondom, vasektomi, dan tubektomi.

Keempat indikator di atas tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur risiko stunting, tetapi juga menjadi acuan untuk menentukan bentuk dan intensitas intervensi yang diperlukan. Dalam konteks program GENTING, informasi ini digunakan untuk menghubungkan keluarga yang paling membutuhkan bantuan dengan orangtua asuh yang siap mendukung—baik dalam bentuk pangan bergizi, pendampingan edukasi, maupun akses layanan dasar.

Pemetaan berdasarkan indikator yang jelas dan terukur akan menjadikan GENTING dapat berjalan secara efisien dan tepat sasaran, selain supaya intervensi tidak hanya bersifat karitatif sesaat, tetapi  harus mampu mengubah kondisi keluarga secara struktural dan berkelanjutan.

Gambar: GENTING di Kapanewon Karangmojo

 

Empat Kapanewon Sudah Memulai

Program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting) mulai menunjukkan geliat pelaksanaannya di Kabupaten Gunungkidul. Dari total 18 kapanewon yang ada, saat ini baru 4 kapanewon yang telah memulai langkah konkret dengan mengimplementasikan program GENTING melalui berbagai bentuk intervensi kepada keluarga risiko stunting (KRS). Meskipun jumlahnya belum menyeluruh, namun keempat kapanewon ini telah menjadi contoh inspiratif bagaimana kepedulian masyarakat, sektor swasta, dan instansi pemerintah dapat berkolaborasi untuk mengatasi masalah stunting secara konvergen.

1. Kapanewon Semin: Babonisasi Berbasis Komunitas

Kapanewon Semin menjadi salah satu pionir pelaksanaan program GENTING di Gunungkidul. Di wilayah ini, intervensi telah menyasar 80 KRS, yang terdiri dari balita dan ibu hamil. Jenis intervensi yang dilakukan adalah babonisasi, yakni pemberian beberapa ekor ayam betina (babon) kepada keluarga sasaran untuk dipelihara. Telur dari ayam tersebut dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani bagi ibu hamil dan balita dalam keluarga tersebut.

Yang menarik, pendanaan program di Semin sepenuhnya berasal dari kelompok masyarakat lokal, yaitu Ikatan Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia (IPCTAI) wilayah Semin. Ini menjadi contoh nyata bagaimana komunitas bisa menjadi motor penggerak utama dalam program sosial berbasis kepedulian, tanpa harus selalu menunggu intervensi dari pemerintah pusat atau daerah.

2. Kapanewon Gedangsari: Ayam Petelur untuk Gizi Harian

Di Kapanewon Gedangsari, intervensi GENTING menyasar 30 keluarga risiko stunting, terdiri dari balita dan ibu hamil. Jenis intervensinya mirip dengan di Semin, yakni pemberian ayam petelur yang setiap hari menghasilkan telur untuk dikonsumsi langsung oleh anak atau ibu hamil penerima manfaat. Model ini memberikan efek berkelanjutan karena asupan protein bisa terus tersedia selama ayam dipelihara dengan baik.

Pendanaan program di Gedangsari berasal dari donatur individu, yakni seorang pengusaha lokal bernama Bapak Suronto, yang secara pribadi menunjukkan kepeduliannya terhadap masa depan anak-anak di wilayahnya.

3. Kapanewon Girisubo: Kolaborasi Lintas Sektor

Pelaksanaan program GENTING di Kapanewon Girisubo mencakup sasaran yang lebih luas, yakni 106 keluarga yang terdiri dari ibu hamil, ibu nifas, baduta (bayi usia 0–23 bulan), dan balita (usia 24–59 bulan). Program ini didukung oleh sinergi luar biasa dari berbagai pihak: 33 orang donatur individu, instansi formal, instansi swasta, dan elemen lintas sektor di seluruh wilayah Girisubo.

Intervensi yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing keluarga sasaran, dengan prinsip konvergensi lintas sektor yang mengedepankan kolaborasi dan keberlanjutan.

4. Kapanewon Karangmojo: Jambanisasi hingga Akses Air Bersih

Kapanewon Karangmojo juga telah melaksanakan program GENTING dengan menyasar 33 keluarga risiko stunting. Intervensi yang diberikan sangat komprehensif, meliputi:

  • Jambanisasi, atau pembangunan jamban sehat
  • Lantainisasi, yaitu pembuatan lantai pada rumah tangga kurang layak huni
  • Fasilitasi akses air bersih
  • Babonisasi, seperti di Semin dan Gedangsari

Pendanaan berasal dari berbagai sumber, antara lain individu, kelompok masyarakat, dan BUMD yang beroperasi di wilayah Karangmojo. Pendekatan multipihak seperti ini menegaskan bahwa program GENTING dapat menjadi wadah gotong royong yang fleksibel namun efektif.

Empat kapanewon yang telah memulai pelaksanaan GENTING telah memberikan gambaran bahwa keberhasilan program ini tidak harus selalu bergantung pada dukungan besar dari luar. Dengan kemauan, kepedulian, dan kerja sama lintas sektor, program bisa berjalan secara mandiri dan berkelanjutan. Untuk itu, diharapkan 14 kapanewon lainnya di Gunungkidul dapat segera menyusul, mengadopsi praktik baik dari kapanewon yang sudah berjalan, sekaligus mengembangkan inovasi sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal masing-masing.

GENTING bukan sekadar program bantuan, tapi gerakan kebersamaan untuk melindungi generasi masa depan dari ancaman stunting. Karena stunting bukan hanya soal tubuh yang pendek, tetapi tentang terhambatnya potensi manusia. Dengan bergerak bersama, Gunungkidul bisa menjadi contoh sukses konvergensi stunting berbasis komunitas yang menginspirasi daerah lain di Indonesia.(*)

0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine