DPRD DIY Sosialisasikan Perda DIY No 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga

Rabu (26/02) bertempat di Florys Hotel & Resto diadakan acara, Sosialisasi Pembangunan Ketahanan Keluarga, yang diprakarsai oleh Danang Wahyu Broto, anggota DPRD DIY. Dalam acara tersebut hadir juga Dekan dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Dr Y Sari Murti Widyastusi, SH, MHum dan Kepala Bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan DP3AP2 DIY, Nelly Tristiana sebagai narasumber.

Acara sosialisasi dibuka dengan seluruh peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjutkan dengan sambutan dari Danang Wahyu Broto. 

Dalam sambutannya, beliau memaparkan bahwa negara yang kuat berasal dari keluarga-keluarga yang kuat. Sedangkan dalam keluarga, bisa disebut yang paling dominan adalah perempuan. Kenapa? Perempuan beraktivitas sejak matahari terbit hingga matahari terbenam bahkan terkadang larut malam, sementara laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah yang dilakukan di luar rumah. Itu artinya, dalam keluarga yang paling dominan dalam mengelola segala sesuatunya di rumah adalah perempuan. Sedangkan di DIY banyak sekali kasus KDRT yang korbannya adalah perempuan.  

Dari situlah dibuat Perda, agar dengan itu pemerintah dapat menjangkau permasalahan ke tingkat keluarga dan mengarahkan keluarga untuk mulai membangun pertahanan dalam keluarga.

Selanjutnya materi diisi oleh Dr Y Sari Murti Widyastuti, SH, MHum yang menjelaskan lebih lanjut mengenai Perda No 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga. “Perda dihadirkan sebagai sebuah komitmen untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga,” kata beliau.  

Beliau juga mengatakan bahwa kualitas keluarga dimulai dari anggota keluarga sadar betul apa yang dibutuhkan dalam keluarga dari berbagai aspek baik fisik, sosial, dan emosional. Tercatat pada tanggal 6 November 2019 terdapat 54,6% atau sebanyak 639 korban KDRT, yang terdiri dari 572 korban perempuan dan 67 korban laki-laki. Selain itu korban KDRT kategori anak sebanyak 1132 korban. Kekerasan yang terjadipun meliputi kekerasan fisik, sosial, dan mental.

Keluarga dianggap tahan/kuat apabila:
1. Fisik: tercukupi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
2. Sosial: memiliki orientasi nilai agama, komunikasi, komitmen dalam pembagian peran, dukungan untuk maju, waktu kebersamaan keluarga, membina hubungan sosial dan mekanisme penanggulangan masalah.
3. Psikologis: mampu menanggulangi masalah nonfisik, pengendalian emosi.

Dalam Perda No. 7 Tahun 2018 terdiri dari 10 bab, antara lain:
1. Ketentuan Umum (Pasal 1-4)
2. Fungsi dan Tanggung Jawab Keluarga (Pasal 5-6)
3. Ketahanan Keluarga (Pasal 7-37)
4. Forum Koordinasi Ketahanan Keluarga (Pasal 38-39)
5. Peran Serta Masyarakat (Pasal 40-43)
6. Sistem Informasi Ketahanan Keluarga (Pasal 44)
7. Kerjasama (Pasal 45)
8. Pemantauan dan Evaluasi (Pasal 46)
9. Pendanaan (Pasal 47)
10. Penutup (Pasal 48)

Dari 10 bab di atas, bab III tentang Ketahanan Keluarga yang pasalnya lebih banyak dibandingkan dengan bab-bab yang lain. Dalam bab tersebut dibahas mengenai 8 fungsi keluarga yang antara lain: 
1. Fungsi keagamaan
2. Fungsi sosial budaya
3. Fungsi cinta kasih
4. Fungsi perlindungan
5. Fungsi reproduksi
6. Fungsi sosial dan pendidikan
7. Fungsi ekonomi
8. Fungsi pembinaan lingkungan.

Selanjutnya, “Pemerintah diharapkan mampu memprogramkan kegiatan agar mampu membangun ketahanan keluarga,” kata beliau menutup materinya.

Materi selanjutnya disampaikan oleh  Nelly Tristiana yang juga membahas mengenai permasalahan DIY terkait dengan ketahanan keluarga. Beliau membenarkan pernyataan  Danang Wahyu Broto bahwa negara yang kuat berasal dari keluarga-keluarga yang kuat. Dibentuknya Perda ini diharapkan menjadi kebijakan ramah keluarga, lingkungan kerja dan tempat tinggal ramah keluarga, dan keluarga tangguh. Untuk mewujudkan itu semua, ke depan semua desa memiliki konselor dari lulusan sarjana psikologi. Kelembagaan dibentuk sistem koordinasi ketahanan keluarga yang anggotanya meliputi lintas sektor.

Keluarga berkualitas, menurut beliau, adalah keluarga yang memiliki 4 positif, yaitu positive thingking, positive feeling, positive speaking, dan positive acting/doing. “Keluarga merupakan kompas yang membimbing kita,” kata beliau. Kalimat terakhir yang ia ucapkan untuk menutup materinya adalah, “Bahagia bukan karena ia memiliki banyak hal, tetapi karena ia tidak membandingkan miliknya dengan milik orang lain”.

Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Bagimu Negri.(*)

[Ika Vitasari Wahyuningtyas, pramusaji BPKB Purwosari]
0 Viewers

Post a Comment

0 Comments

The Magazine